UGM Terlambat Hadir dan Mikir
Sun Yat Sen mengatakan, Indonesia adalah bangsa yang tak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
SETELAH UGM tidur panjang, terasa hadir kembali bermula dari beredarnya hasil sebuah diskusi di Fakultas Hukum UGM, disimpulkan ada lima mitos palsu yang harus dibongkar dalam era pemerintahan Joko Widodo.
Yakni: satu, Jokowi adalah orang baik. Kedua, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memegang jabatan publik. Ketiga, mitos pemimpin muda. Keempat, perlunya pemimpin tegas, dan sekaligus “gemoy” untuk menarik pemilih dari generasi Z. Kelima, Presiden netral dalam Pilpres dan Pileg 2024. Senin, 27 November 2023, menanggapi hasil diskusi di Fakultas Hukum UGM.
Memantik komentar dari kerinduan keberanian UGM yang selama ini terkesan, tidur dan diam tidak berkutik, di bawah tekanan dan pengaruh rezim Jokowi.
Prof Daniel M Rosyid, guru besar dari ITS Surabaya, bergumam bahwa Universitas Gajah Mada terlambat lagi, lebih dari 10 tahun. Banyak kampus negeri hanya menjadi kaki tangan penguasa, gagal menjadi whistle blower atau simpul peringatan dini deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak saja sejak reformasi, bahkan sejak Orde Lama.
Sudah sepuluh tahun terakhir ini, politik praktis makin merasuki kampus. Senat Akademik semakin losing touch dengan dunia etika. Majelis Wali Amanah makin losing grip dengan amanat penderitaan rakyat.
Gaung bersambut, DR. Sri Bintang Pamungkas aktivis kawakan sepanjang masa, tak kuasa menahan nalar analisa kritiknya yang biasa muncul tepat pada momentumnya bahwa selain terlambat 10 tahun, Gajah Mada sebagai sumber ilmuwan kok baru bisa bikin analisis seperti ini.
Bahkan, lebih tajam mengatakan analisis ini miskin pandangan dan dasar berpikir. Sebab salah memilih pemimpin tidak hanya terjadi di masa Jokowi tetapi pada masa-masa sebelumnya.
Semua kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kita semua bangsa Indonesia yaitu:
Pada saat-saat genting kita terlalu permisif, gampang memaafkan, dan bahkan lebih fatal sering menghindar dari masalah yang sedang membelit dan membahayakan "biarin saja – usah ikut-ikutan, kita netral saja".
Takut kepada penguasa sekalipun dzalim, bego, bodoh, dan ugal-ugalan, jangan melawan, takut resiko tidak kebagian, resiko benturan dan akibat tekanan lainnya.
Bahkan berdalih agama cepat menyerah bahwa semua kejadian telah menjadi takdirnya. Sebagai kawulo alit (rakyat kecil) harus manut mituhu (taat total) kepada penguasa.
Analisa di atas mengingatkan kita peringatan lama bahwa sebagian bangsa Indonesia masih berjiwa terjajah persis seperti yang dikatakan Gubernur Jenderal De Jonge pada tahun 1930-an masih juga berkata, Belanda akan menjajah 300 tahun lagi. Lemahnya mentalitas bangsa ini yang mudah dipecah-belah adalah “bangsa yang paling lunak di dunia”.
Sun Yat Sen mengatakan, Indonesia adalah bangsa yang tak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat “a sheet of loose sand”. Bagaikan pasir yang meluruk dan rapuh. Tiada keteguhan, sehingga mudah ditiup ke mana-mana.
Apakah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak punya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan ibarat "A sheet of looses sand". Saat ini anehnya mental penindas justru munculnya dari penguasa yang bermental jongos dan budak dan boneka Oligarki dan kekuasaan besar dari luar dirinya.
Pemunculan pikiran dari UGM tersebut yang mulai berani mengritik pemerintah sekalipun selama ini terkesan terlambat hadir dan mikir, semoga menjadi awal kebangkitan perubahan di Indonesia. (*)