Walau Lapar Saya Tak Akan Berkhianat

Berargumentasi seolah-olah diplomatis sesungguhnya menunjukkan kematian pikiran dan jiwa yang tragis. Malahan ada yang mengeluarkan jurus jastifikasi sembari menyembunyikan rasa takut akan kehilangan kue-kue kekuasaan.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI

JANGANLAH karena uang dan jabatan membuat kita lari dari tujuan perjuangan. Janganlah karena takut kelaparan dan kemiskinan, membuat kita tercatat dalam sejarah sebagai manusia-manusia pengkhianat.

Ini bukan tentang kultus individu. Ini tentang membersamai dan setia terhadap cita-cita mulia, yakni Indonesia yang berdaulat dan berkeadilan. Bukan kebetulan seorang Anies Baswedan hadir menjadi seorang pemimpin otentik yang berkarakter dan berintegritas di saat negara dikuasai para bajingan dan psikopat.

Anies Baswedan tidak terbantahkan telah menjadi antitesis dari dominasi oligarki dan politik dinasti serta keblingernya elit poltik dalam karut-marut tata kelola negara selama ini.

Sebagai orang pergerakan yang bertumbuh dalam naungan pendidikan nasionalis dan agama, dan bahkan sejak usia dini menggeluti paham marhaenisme, marxisme, eksistensialisme dan lain-lain, dikenal menyandang aktivis GMNI yang kental dengan predikat Soekarnois, saya tetap menjadikan Islam sebagai pisau analisis untuk membedah persoalan kemanusiaan yang universal dibanding masalah kompleks Indonesia khususnya dan masalah internasional pada umumnya.

Begitupun saat menyikapi fenomena Anies Baswedan dan politik kontemporer di Indonesia. Melihat Anies Baswedan seperti mencermati satu titik mata air di tengah gurun tandus dan musim kemarau berkepanjangan.

Anies telah menjadi pengecualian di tengah pola mainstream kepemimpinan politik nasional yang distortif dan destruktif yang menghianati cita-cita kemerdekaan dan keinginan para pendiri bangsa. Anies telah menjadi tokoh kunci pembebasan rakyat, negara dan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan oleh bangsa asing maupun terlebih oleh bangsanya sendiri. Melawan kebodohan dan kemiskinan yang begitu terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan rezim terhadap rakyat.

Anies dan pejuang perubahan lainnya kerap terbentur tembok besar dari ketamakan strukural para elit politik. Melawan tirani konstitusi dan pseudo demokrasi yang begitu kuat, mungkin saja membuat tidak sedikit orang mampu menjaga kewarasan akalnya dan stamina pergerakannya. Satu-persatu dan mulai menggejala orang dan kelompok, baik dari partai politik maupun pegiat relawan mulai rontok. Gugur berjatuhan dalam kenistaan pandangan sempit nan licik.

Berargumentasi seolah-olah diplomatis sesungguhnya menunjukkan kematian pikiran dan jiwa yang tragis. Malahan ada yang mengeluarkan jurus jastifikasi sembari menyembunyikan rasa takut akan kehilangan kue-kue kekuasaan.

Seperti menggenggam bara api, gerakan dakwah yang sarat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, semakin kuat menggenggamnya semakin tak terkira panas membakar yang terasa. Api yang menyala-nyala dan berkobar siap melumat siapapun dan apapun itu, akan memperlihatkan siapa yang pejuang dan siapa yang pengkhianat.

Siapa yang konsisten dan istiqomah dalam amar ma’ruf nahi munkar akan teruji seiring waktu dan seberapa kuat ia mengalami dan mampu bertahan menghadapi penderitaan. Bukan lari dari medan perjuangan, berkilah dan melakukan pembenaran terhadap disorientasi nilai-nilai.

Saya tak akan begeser sedikitpun, tidak akan menghindar dari rasa takut, pada rasa lapar, pada penjara dan pada kematian sekalipun. Tak pernah sedikitpun berpikir akan meninggalkan Anies saat tengah berjuang untuk kemanusiaan dan keadilan di negeri ini. Saya tidak akan tergiur oleh godaan apapun, tidak oleh tawaran apapun. Tidak oleh uang atau kesenangan materi lainnya.

Bagi saya menderita dan kematian sekalipun jauh lebih mulia ketika kita setia kepada keyakinan Ketuhanan dan kemanusiaan. Belajar dari rakyat Palestina dan dari perjuangan nenek moyang kita meraih kemerdekaan, saya tidak akan mundur sedikitpun berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Walau lapar saya tak akan berkhianat. (*)