OPINI: Ketahanan Pangan di Balik Program Makan Siang Gratis
Jakarta, FreedomNews - Program makan siang gratis pasangan calon presiden Prabowo-Gibran bisa berkontribusi bagi peningkatan ketahanan pangan nasional dan pemerataan ekonomi. Salah satu syarat mendasarnya adalah mengutamakan lokalitas. Lokalitas di sini artinya kebijakan yang ada harus bersifat bottom up, melibatkan masyarakat sekitar dan tidak tersentralisasi di pusat.
Ujungnya, pengetahuan akan keragaman pangan lokal akan terjaga serta efek pengganda ekonomi setempat, terutama petani dan pelaku UMKM akan bergeliat. Program makan siang gratis bisa memenuhi empat pilar ketahanan pangan, setidaknya bagi siswa. Sebagaimana diketahui, ketahanan pangan memiliki empat pilar yakni ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan dan pemenuhan terhadap tiga pilar di awal (World Food Summit, 1996).
Makan siang gratis dipastikan akan menjadikan ketersediaan pangan terpenuhi dengan sendirinya. Hal ini akan menjadi sesuatu yang given bagi siswa karena disediakan oleh pemerintah. Pilar kedua akses pangan. Program makan siang gratis memberikan kemutlakan bagi siswa penerima manfaat akan akses pangan.
Bagaimana pun kondisi ekonominya, apabila bersekolah di sekolah yang menjadi sasaran penerima program makan siang gratis, siswa akan mendapatkan akses pangan di sekolahnya, setidaknya satu kali makan pada hari sekolah.Ketersediaan dan akses pangan tidak lengkap tanpa pilar ketiga, pemanfaatan pangan.
Pemanfaatan pangan merujuk bagaimana konsum-si pangan dilakukan dengan baik dan benar sehingga bisa memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Pemanfaatan pangan harus bisa mendukung tubuh melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik.
Pilar ketiga ini belum tentu terwujud dalam program makan siang gratis. Kondisi ini bisa terjadi apabila makanan yang disajikan untuk penerima program tidak bernutrisi. Setidaknya diperlukan pengawasan ketat akan sajian makanan yang akan dihidangkan kepada para siswa.
Pelibatan ahli gizi mutlak dilaksanakan agar ketercukupan standar gizi bisa dipenuhi. Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 28/2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia, kebu-tuhan makanan bagi usia sekolah SD (7—12 tahun) berada pada rentang 1.650 kalori per hari sampai 2.000 kalori per hari.
Sedangkan asupan protein berada pada rentang 40 gram sampai 55 gram per hari. Perinciannya adalah anak-anak usia 7—9 tahun asupan kalori per hari adalah 1.650 kalori dan 40 gram protein. Kemudian anak perempuan rentang usia 9—12 tahun membutuhkan 1.900 kalo-ri dan 55 gram protein. Sedangkan untuk anak laki-laki kalorinya lebih tinggi 100 kalori yakni 2.000 kalori per hari dan asupan prote-innya lebih rendah 5 gram, yakni 50 gram per hari. Makan siang gratis setidak-nya harus memenuhi seper-tiganya.
Ketahanan pangan tidak paripurna apabila ketiga pilar di atas tidak dipenuhi secara bersamaan dan sepanjang waktu. Dipenuhi secara bersamaan artinya seseorang mampu secara finansial bisa membeli makanan yang tersedia. Selain itu makanan yang dibeli atau dikonsumsi memi-liki nutrisi yang baik bagi tubuhnya.
Program makan memenuhi semua pilar keta-hanan pangan tersebut. Kebijakan makan gratis akan menjadi alat pemerata-an ekonomi apabila meme-nuhi unsur lokalitas. Hal ini sangat bisa diimplementasikan di era otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini. Pemerintah pusat sebagai pengarah sedangkan pemerintah daerah dan bah-kan sekolah sebagai eksekutor. Bisa dibayangkan apabila penyuplai bahan baku pro-gram makan siang gratis ada-lah petani ataupun kelompok tani setempat.
KERAGAMAN PANGAN
Setali tiga uang dengan kebijakan lokalitas tersebut di atas, keragaman pangan lokal bisa dirawat. Ujungnya, keragaman pangan lokal bisa mengurangi resiko pasokan pangan akibat guncangan global dan atau masalah iklim. Salah satu contohnya adalah asupan karbohidrat dalam menu uji coba makan siang gratis di Tangerang.
Dari empat menu yang ada, tiga menu asupan kar-bohidrat berasal dari beras (dua nasi dan satu lontong). Sedangkan satu lainnya berbasis kentang. Aplikasi di daerah lain harus disesu-aikan dengan dengan kera-gaman pangan lokal. Apabila sebuah daerah menjadi peng-hasil singkong, asupan karbo bisa bersumber dari bahan dasar singkong semisal oyek atau tiwul.
Keragaman ini bisa mengurangi gejolak harga beras, terutama pada masa-masa tidak ada panen raya bagi daerah non-pengha-sil beras.Bagi daerah penghasil jagung, nasi jagung bisa menjadi salah satu sumber asupan karbohidrat. Sedangkan daerah penghasil sagu, menu utama karbohi-dratnya bisa bersumber dari bahan sagu.
Pastinya besaran porsi untuk masing-masing sumber karbohidrat tersebut disesuaikan dengan asupan kalori yang dibutuhkan. Sedangkan untuk protein hewani, daerah laut atau pantai jangan dipaksakan dengan asupan ikan lele atau gabus. Begitupun daerah pegunungan, siswanya tidak dipaksakan untuk makan lauk ikan bandeng.
Aplikasi keragaman pangan pada menu makan siang gratis sekolah akan merawat kera-gaman pangan baik di leveloff farm (produsen) dan juga on farm (konsumen). Dampak positifnya, pengetahuan akan keragaman pangan lokal akan terjaga. Selain itu, multiplier ekonomi setempat, terutama petani dan pelaku UMKM akan bergeliat. (dtf/opin)