DPR Harus Buka Ruang Pemakzulan untuk Melawan Rezim Otoriter
Biarlah elemen rakyat yang akan berada di samping atau mungkin di depan dari proses itu. Kebersamaan akan menjadi satu kekuatan untuk memulihkan demokrasi yang telah dicuri oleh Jokowi, kroni dan oligarki. Mereka adalah para penganiaya dan pembunuh reformasi.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
REZIM Joko Widodo di akhir masa jabatan bukan semakin demokratis melainkan semakin semena-mena dan membagi buta. Tidak peduli lagi dengan etika, moral bahkan aturan Konstitusi. Orientasi politiknya hanya untuk melanggengkan dan mengamankan kekuasaan. Anak-anaknya ditempatkan sebagai jembatan perpanjangan kekuasaan. Otoritarian sedang dipertontonkan di panggung kepura-puraan demokrasi yang bernama Pilpres.
Pilpres adil dan jujur diprediksi hanya slogan. Ada pasangan yang dicanangkan harus menang dengan segala upaya. Lolosnya ananda Gibran Rakabuming Raka melalui disain MK yang diketuai pamanda Anwar Usman adalah awal dari permainan curang tersebut.
Partai-partai sudah terbukti tidak berkutik menahan disain pelolosan Gibran. Ini adalah sinyal akan terjadinya kecurangan berkelanjutan.
Pilpres yang lebih terjamin akan sehatnya kompetisi ialah jika Jokowi tidak cawe cawe, artinya dia konsisten dan netral. Namun netral atau tidak cawe-cawe itu sama sekali tidak terlihat indikasinya hingga saat ini. Justru tampak tampilan sikap semena-mena bahkan brutal dalam memperjuangkan misi pelanggengan kekuasaan.
Satu-satunya jalan untuk itu adalah bahwa Pilpres harus tanpa Jokowi. Artinya Jokowi mesti segera dimakzulkan. Konstitusi telah mengatur tentang faktor sebab dan mekanismenya. Konstitusi telah membuka ruang bagi pengamanan pelaksanaan demokrasi termasuk Pilpres agar bisa dijalankan dengan baik. Ketika demokrasi terancam, maka penghalang mesti dihilangkan. Dan Jokowi adalah penghalang itu.
DPR meski selama ini diragukan statusnya sebagai wadah perjuangan rakyat, namun sekarang ini sangat dibutuhkan. Untuk langkah darurat dan penyelamatan. Negara benar-benar dalam keadaan bahaya. Konfigurasi kekuatan partai politik di DPR diyakini pada akhirnya akan bermuara pada hati nurani. Nurani kebenaran, demokrasi dan kesadaran hukum. Nurani bagi tegaknya keadilan.
Rezim Jokowi adalah rezim otoriter yang hanya bisa diingatkan dan dilawan oleh rakyat. Elemen formal kekuatan politik harus bergerak bersama rakyat dalam menembus barikade variasi kendala. DPR hendaknya mulai membuka ruang bagi pemakzulan. Jokowi adalah perusak kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, bahkan kedaulatan negara. Kedaulatan ekonomi pun telah diporak-porandakan.
Sekurangnya lima partai di parlemen potensial untuk menahan kemungkinan kecurangan yang bisa dilakukan oleh squad Jokowi. PKS, Nasdem, PKB, PDIP dan PPP. Modal ini dinilai cukup untuk membuka pintu pemakzulan. Partai-partai lain yang "tersandera" harus secepatnya membebaskan diri.
Biarlah elemen rakyat yang akan berada di samping atau mungkin di depan dari proses itu. Kebersamaan akan menjadi satu kekuatan untuk memulihkan demokrasi yang telah dicuri oleh Jokowi, kroni dan oligarki. Mereka adalah para penganiaya dan pembunuh reformasi.
Rezim otoriter harus dilawan dan lawan terkuat untuk mengalahkannya adalah rakyat. Lembaga perwakilan rakyat menjadi pembuka pintu untuk itu. Pemakzulan Jokowi merupakan suatu keniscayaan agar terjamin Pilpres dan Pileg yang jujur dan adil.
Ketika rakyat mulai berteriak "kami muak" maka solusinya adalah "pemilu tanpa Jokowi". Artinya segera makzulkan. Lalu, tunggu apa lagi? (*)