Gibran Cawapres Haram?
Besok bukan hal yang mustahil jika kemudian muncul fatwa dari lembaga keagamaan bahwa jika memilih pasangan yang menjadikan Gibran sebagai Cawapres maka hukumnya adalah haram. Ini karena ia merupakan produk dari sebuah kejahatan yang bernama nepotisme.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
GIBRAN Rakabuming Raka telah ditetapkan oleh KPU sebagai Cawapres pasangan Prabowo Subianto. Penetapannya mendapat reaksi, baik berupa aksi unjuk rasa maupun opini di media. Bahkan di Surakarta Gibran bersama Almas Tsaqibbirru digugat ke PN Surakarta.
Gugatan perbuatan melawan hukum. Gibran diloloskan MK dengan putusan kontroversial oleh majelis hakim yang diketuai pamannya Anwar Usman.
Majelis Kehormatan MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie telah memutuskan bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat. Anwar terselamatkan oleh vonis yang hanya memberhentikan dirinya dari jabatan Ketua MK.
Semestinya menurut UU Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan MK sanksi atas pelanggaran berat adalah "diberhentikan dengan tidak hormat". Lucunya atas putusan ringan tersebut Anwar Usman masih juga ngeyel untuk melawan.
Pasal 17 ayat (6) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa atas pelanggaran Pasal 17 ayat (5), maka Putusan hakim dinyatakan tidak sah dan hakim/panitera dapat dikenakan sanksi administrasi dan pidana.
Pasal 17 ayat (5) nyata-nyata telah dilanggar oleh Anwar Usman.
Mengingat ayat (5) dan ayat (6) merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, maka sudah sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berakibat hukum meloloskan putera Jokowi Gibran Rakabuming Raka tersebut selayaknya dinyatakan tidak berlaku.
Ketika pernyataan tidak berlaku akibat Putusan tidak sah harus dilakukan melalui pemeriksaan ulang majelis hakim MK, maka ayat (7) mengatur bahwa "Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda".
Kini tiga konklusi yang dapat diambil dari skandal atau tragedi hukum memalukan dan memilukan ini, yaitu:
Pertama, Anwar Usman dan Gibran serta Joko Widodo telah melakukan perbuatan Nepotisme yang merupakan kejahatan pidana bersanksi penjara maksimal 12 tahun (video UU Nomor 28 tahun 1999 Pasal 22). Ketiganya harus diseret ke meja hijau.
Kedua, atas pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK, maka "pelanggaran berat" Anwar Usman sangat berpengaruh terhadap Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang diperiksa dan diadili oleh majelis hakim yang diketuai oleh Anwar Usman.
Ketiga, MK dengan komposisi baru yang diketuai oleh Suhartoyo tidak bisa tidak harus melakukan pemeriksaan kembali atas kasus batas usia pencapresan yang dinilai kontroversial tersebut. Gibran harus dibatalkan sebagai Cawapres karena dinilai tidak memenuhi syarat. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah Putusan yang tidak sah.
Putusan MKMK yang menyatakan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK adalah berlebihan dan di luar kewenangan MKMK untuk memutuskan. Hakim MK mestinya bisa mengabaikan Putusan di luar kewenangan MKMK tersebut.
Bahwa Gibran memiliki keinginan untuk meningkatkan karier politiknya tentu sah-sah saja, tetapi jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak benar atau dengan memanipulasi hukum, maka perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan curang atau haram.
Barang halal yang diperoleh dengan curang maka menggunakan atau memanfaatkannya dipastikan menjadi haram. Oleh karenanya siapapun yang menawarkan dan memilih barang haram maka ia jatuh pada perbuatan haram.
Besok bukan hal yang mustahil jika kemudian muncul fatwa dari lembaga keagamaan bahwa jika memilih pasangan yang menjadikan Gibran sebagai Cawapres maka hukumnya adalah haram. Ini karena ia merupakan produk dari sebuah kejahatan yang bernama nepotisme.
Diawali dengan paman Usman sebagai hakim yang "langsung atau tidak langsung" berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau diadilinya. Gibran adalah keponakan Anwar dan putera dari Jokowi.
Hubungan haram, saudara-saudara! (*)