Adab vs Ilmu
Saya hanya ingin mengingatkan kita semua agar lebih berhati-hati dalam mendengar, memahami, apalagi menyimpulkan pendapat orang lain. Bahkan, ketika kesimpulan kita cenderung melihatnya sebagai hal yang “salah”, tutupi itu dengan “husnuz dzhonn” (perkiraan positif).
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Diaspora Indonesia dan Imam di Kota New York
ADA kehebohan di tanah air yang rupanya saya tidak terlalu ikuti. Maklum akhir-akhir ini perhatian saya lebih terfokus kepada peristiwa tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina. Bahkan, sejujurnya saya hampir kehilangan fokus pada setiap hal yang saya lakukan ketika pikiran saya tertuju kepada situasi saudara-saudara kita di Gaza sekarang ini. Hati merasakan kepedihan itu. Seringkali airmata berurai tanpa sadar ketika melihat berbagai berita, khususnya di media sosial.
Baru kemarin hari saya ditanya oleh seseorang: “Ustadz, ikuti berita tentang Ustadz Adi Hidayat?”
Saya jawab: “Saya dalam beberapa hari terakhir tidak mendengar dan juga tidak menonton video-video beliau. Ada apa?” tanya saya.
“Oh beliau dihujat habis-habisan. diserang dan dituduh, bahkan difitnah oleh banyak orang,” jelasnya.
Mendengar itu saya terkejut. Seingat saya Ustadz Adi Hidayat adalah Ustadz yang hampir tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapapun dan pihak manapun. Beliau itu Kader Muhammadiyah, diterima di kalangan Nahdhiyyin, dan dekat dengan semua pihak, termasuk juga teman-teman yang dikenal sebagai “salafiyun”.
Saya tidak bertanya lagi kepada teman itu. Yang saya lakukan adalah segera menelusuri berita-berita, baik media massa maupun YouTube. Pastinya publik figur seperti beliau akan mudah ditelusuri jika ada isu dengannya. Dan benar, memang telah bertebaran berita dan video tentang Ust. Adi Hidayat dianggap salah, bahkan lebih jauh dianggap menghina Al-Quran, dan karenanya ada yang sempat melemparkan kata “kufur” kepada beliau.
Melihat itu semua saya tidak saja terkejut. Bahkan sejujurnya sedih dan agak gerah dengan perilaku sebagian yang gampang menyalahkan, apalagi menuduhnya dengan tuduhan keji “menghina Al-Quran”. Bagi saya di nama “Adì Hidayat” itu terpatri keilmuan Al-Qur’an. Dan, karenanya menuduh beliau menghina Al-Quran itu adalah paradoxical statement atau pernyataan yang paradoks.
Saya kemudian melihat lebih jauh di mana sesungguhnya masalahnya. Ternyata apa yang dianggap kesalahan, bahkan penghinaan yang mengantar kepada “takfir” itu ada pada penerjemahan nama surah Al-Qur’an; As-Syu’araa (para penyair). Intinya Ustadz Adi Hidayat pernah menyebut kata “musik” sebagai terjemahan dari kata “Syu’araa”, nama surah itu.
Saya kemudian tersadarkan bahwa selama ini kata atau masalah “musik” memang menjadi salah satu masalah yang sering dijadikan sebagai “alat menyalahkan” dan “menghakimi” orang dalam keislaman. Bahwa ketika seseorang itu memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan orang yang mengharamkannya maka keislaman orang tersebut tidak benar, dan dia dianggap kurang dalam beragama.
Melihat perdebatan itu saya menjadi agak geli. Karena saya juga termasuk Imam (Ustadz) yang dianggap “less appropriate” (kurang pantas) sebagai ustadz karena masalah musik ini. Saya berpandangan bahwa musik itu adalah seni. Dan seni (estetika) itu adalah bagian integral dari kehidupan manusia.
Jadi sebagaimana banyak hal dalam kehidupan, termasuk media dan informasi (khususnya dunia online), apalagi media sosial, adalah hal yang sesungguhnya netral. Tergantung kepada “substansi, cara dan tujuan” dari pemakaiannya.
Kalau ternyata musik itu substansinya (lirik dan ritmenya) justeru mengingatkan kita kepada Allah maka apakah hal itu diharamkan? Sebagaimana dunia internet dengan segala kebaikan dan keburukan yang ada padanya ditentukan oleh pemakainya. Bagaikan pisau, bisa dipakai memotong sayuran atau memotong leher sendiri.
Pandangan saya ini bersifat “common sense” berdasarkan kepada ruh ajaran Islam dan realita kehidupan manusia. Karennya dalam perjalanan sejarah manusia musik justeru biasa dipakai sebagai “jalan dakwah” dan juga hiburan pada konteks yang sesuai. Bukankah Rasulullah biasa mengajak isterinya melihat hiburan setelah lebaran dengan iringan gendang? Dari Rumi, hingga ke penyanyi Muslim masa kini seperti Sami Yusuf dan lain-lain, musik justeru menjadi alat dakwah.
Musik yang biasanya identik dengan “nyanyian” sebenarnya oleh Rasulullah dimaksudkan sebagai “suara yang indah” didengar. Ritme suara memiliki daya tarik (magnetic) yang kemudian berdampak secara positif para kejiwaan manusia.
Dalam konteks inilah Rasulullah SAW menekankan pentingnya membaca Al-Qur’an dengan suara yang berseni (indah iramahnya). Hadits menyebutkan: “barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah (taghanna) maka dia bukan dariku” (hadits Abu Daud).
Sesungguhnya kata musik sendiri dalam bahasa Arab tidak ada. Kata “musik yang kemudian di-Arabkan menjadi “muusiiqa” berasal dari kata “Yunani”. Karenanya Arab tidak mengenal kata musik. Keindahan ritme suara oleh orang-orang Arab justeru diekspresikan dalam bentuk “syair-syair”. Hal ini yang kemudian menjadi nama salah satu surah dari Al-Quran, sekaligus tantangan pertama Al-Quran kepada mereka. Karena Al-Quran hadir dengan gubahan ritme bahasa dan suara yang indah.
Saya tidak bermaksud membahas tentang musik kali ini. Biarlah itu jadi obyek perdebatan di kalangan ulama dan para ahli yang lebih mumpuni dan kredibel. Salah satunya yang saya kenal saat ini adalah Ustadz Adi Hidayat. Saya mengkategorikan beliau sebagai guru. Walau mungkin secara umur lebih muda dari saya sendiri.
Justeru yang ingin saya ingatkan adalah pentingnya adab atau etika dalam berinteraksi dengan ilmu-ilmu keislaman. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan: adab itu harus hadir sebelum ilmu”. Di antara adab-adab keilmuan yang terpenting adalah “tawadhu’” (rendah hati). Termasuk di dalamnya tidak merasa lebih tahu dari orang lain. Sebab jika itu terjadi berarti telah terjadi pelanggaran keilmuan dan keislaman yang nyata dengan “kibriya” (keangkuhan).
Apalagi perasaan lebih tahu itu kemudian terpakai untuk menyalahkan pandangan orang lain. Saya katakan pandangan atau pendapat karena menterjemahkan kata “syu’ara” dengan musik tidak menambah dan mengurangi kata itu.
Hanya mengungkapkan pendapat tentang makna atau artinya. Dan selama itu opini atau pendapat maka pastinya akan tetap dihargai salah sekalipun. Bukankah berijtihad dan salah masih tetap diganjar satu pahala?
Yang lebih runyam lagi adalah ketika apa yang dianggap kesalahan Saudara itu dikaitkan dengan suatu tuduhan yang besar (buhtaan adzim). Tuduhan kepada Ustadz Adi Hidayat sebagai “menghina Al-Quran” jelas dimaknai sebagai “kekufuran”. Dan ini sangat serius.
Mengkafirkan seseorang yang beriman, bahkan benar kesalahannya sekalipun, tidak dibenarkan (haram). Lebih bahaya lagi tuduhan kufr itu tidak benar, maka yang terjatuh dalam kekafiran adalah sang penuduh.
Saya hanya ingin mengingatkan kita semua agar lebih berhati-hati dalam mendengar, memahami, apalagi menyimpulkan pendapat orang lain. Bahkan, ketika kesimpulan kita cenderung melihatnya sebagai hal yang “salah”, tutupi itu dengan “husnuz dzhonn” (perkiraan positif).
Dia salah menurut saya. Tapi boleh jadi benar karena pemahaman saya tentang dia dan opininya juga sifatnya manusiawi. Bisa juga salah dan bisa benar. Maka pada akhirnya biarlah Allah yang menghakimi: “bukankah Allah adalah sebaik-baik Yang Menghakimi”.
Lebih dari itu kita sudah muak dengan perpecahan yang seringkali disebabkan oleh hal-hal yang tidak mendasar. Anggaplah Ustadz Adi Hidayat bersalah dalam hal ini.
Tidakkah jauh lebih banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai “common ground” (pijakan bersama) dari berbagai pendapat beliau tentang agama ini. Bahkan tidakkah lebih layak diapresiasi dan dihargai ketimbang menyalahkan apalagi mengkafirkan?
Mari dewasa dalam perbedaan. Ukhuwah dan persatuan kita adalah mutiara yang hilang dari umat saat ini. Temukan kembali. Semoga! (*)