Antara Forno dan Pra-No-Wow

Kemudian bagaimana jika para calon pemimpin dalam kontestasi baik Pileg maupun Pilpres para kandidatnya ternyata memiliki rekam jejak "penggemar Film Forno" itu? Atau jangan-jangan anda sendiri juga memiliki selera yang sama.

Oleh: Ozzy Sulaiman Sudiro, Ketum KWRI/Sekjen Majelis Pers

WABAH Forno-grafi adalah persoalan gunung es atau penyakit masyarakat terkait aspek sosiologis yang berujung pada nilai moralitas seseorang.

Hal ini merupakan fenomena sosial sepanjang zaman, mulai dari Romawi kuno hingga era milenial. yang mau tidak mau, atau suka tidak suka akan tumbuh dan berkembang pada setiap individu, masyarakat atau lebih ekstrimnya pada sebuah bangsa yang sedang membangun dirinya dengan menerapkan sistem ekonomi pasar karena demand-nya begitu besar.

Apalagi diera "Gatget" digitalisasi, arus informasi yang begitu cepat deras berseliweran hanya melalui genggaman Handphone saja.

Menyikapi hal seperti itu kita tidak perlu menggongong-gonggong atau berkeok-keok dalam memberantas fornografi secara total.

Namun alangkah arif dan baiknya jikalau kita mau mencoba memahami fenomena ini dengan pikiran-pikiran jernih.

Tentu kita sepakat bahwa fornografi wajib kita waspadai dan sebisa mungkin dibendung dalam penyebaranya sesuai ruang etika dan kepatutan.

Lalu pertanyaan besarnya, sejauh mana peran negara dalam upaya mereduksi film-film atau content yang berbau fornografi, baik secara regulasi maupun literasi di tengah arus informasi global secara masif dan sistemik.

Apakah sudah efektif, apakah sudah berhasil, tentu jawabannya sangat belum memuaskan. Karena sebagian besar mereka juga para "Penikmat" film forno itu, mulai dari politikus, Eksecutif, Legislatif, yudikatif, Cendikiawan intelektual bahkan para tokoh bangsa, pelajar dan mahasiswa?

Kita bukan pesimis, tapi itu realita dan fakta. Apalagi content semacam ini seperti jamur di musim hujan, alias gugur satu tumbuh seribu.

Kemudian pertanyaannya, mana yang harus kita waspadai, apakah fornografi itu sendiri atau cermin sosial masyarakat kita yang sudah berpikir ke arah forno, apalagi bagi sebagian besar ahli pikir dan para tokoh pemimpin besar "Conon" katanya air mani adalah air otak yang mengalir seiring libidonya dalam berpikir dan berimajinasi sebagai bentuk peralihan syahwatnya juga hiburan semata, saat ini tanpa disadari sudah memasuki pandemi oleh virus forno yang sudah kronis di kalangan semua lini.

Tentu ini peran dan tanggung jawab kita bersama semua pihak, anak bangsa tanpa pengecualian, dengan rumus menjalankan Pra = upaya pencegahan. No = untuk tidak memulai, dan Wow = atas Fornografi itu.

Ini dimulai dari elemen masyarakat untuk berjuang dan menanamkan edukasi kepada tingkat skala kecil yaitu keluarga tentang penyakit masyarakat bahaya fornografi di kalangan anak muda di bawah umur yang sudah menjadi korban kebiadaban dan merusak moral generasi penerus bangsa.

Kemudian bagaimana jika para calon pemimpin dalam kontestasi baik Pileg maupun Pilpres para kandidatnya ternyata memiliki rekam jejak "penggemar Film Forno" itu? Atau jangan-jangan anda sendiri juga memiliki selera yang sama.

Tentu hanya orang berpikir waras dan memiliki akal sehat yang bisa menjawabnya. (*)