Aparat Bejat, Rakyat Sekarat dan Negara Butuh Syariat

Pemerintahan dzalim, ulama yang menyesatkan, intelektual pelacur dan masyarakat yang telah cenderung jahiliyah. Menjadi mimpi buruk wajah Indonesia dalam tidur panjang. Tidak lagi bisa dibedakan antara tidak sadar dan dalam kematian.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI

SETELAH sekian lama, siapa yang bisa menjamin Pancasila dan UUD 1945 dapat menjadikan Indonesia sebagai negara kesejahteraan? Kalau memang bisa, kapan? Haruskah menunggu sampai kiamat?.

Indikasi menjadi negara gagal, sejatinya sudah terjadi sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Jum’at, 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Melalui pertarungan alot dalam pembahasan dasar negara dalam sidang BPUPKI kedua, yang diputuskan pada 22 Juni 1945. Lahirlah Piagam Jakarta yang merumuskan Pancasila.

Sayangnya, tujuh kata dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini disinyalir menjadi permulaan bencana kebangsaan, ketika Indonesia lebih memilih prinsip-prinsip demokrasi yang rancu ketimbang aspek historis dan filosofis kelahiran Indonesia yang notabene ini berasal dari rahim dan berakar pada entitas umat Islam.

Alasan dan pertimbangannya, karena bangsa Indonesia memiliki keragaman agama. Dan, bahkan dikhawatirkan jika syariat Islam tetap dicantumkan ada wilayah yang masyarakatnya mayoritas non Islam akan memisahkan diri dari NKRI.

Atas potensi ancaman atau ultimatum yang demikian, semua pimpinan dan anggota sidang BPUPKI sepakat menetapkan sila pertama Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya dihapus agar NKRI tidak bubar, kira-kira seperti itulah kejadiannya. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin itu dinegasikan dan tidak berlaku, upaya menggerusnya menjadi mainstream siapapun rezim yang berkuasa.

Menarik membahas ini, karena dari sinilah ujung pangkal persoalan substansi dan esensi negara bangsa Indonesia tak akan pernah usai hingga hari ini dan kedepannya. Mulai dari hukum yang diterapkan hingga distorsi kekuasaan, Indonesia tak pernah sepi dari pergolakan.

Mulai dari tahun 1945, 1948, 1955, 1965, 1974, 1984, 1996, 1998, 1999, 2019, 2021 hingga yang teranyar pada tahun 2024, negara mengalami degradasi dan terus eskalatif pada serusak-rusaknya penyelenggaraan pemerintahan.

Jika bukan konflik vertikal antara aparat dengan rakyat, maka terjadi konflik horizontal sesama anak bangsa, yang tentu saja ditenggarai ada intervensi aparat. Ada demokrasi atau tidak, penguasa itu cenderung tiran, otoriter dan diktator, setidaknya terbiasa menghidupkan KKN dan politik dinasti.

Penguasa telah menjadi hukum itu sendiri, rakyat sebaik-baiknya korban yang nikmat dan terus dieksploitasi. Kapitalisme yang menumpang pada liberalisasi dan sekulerisasi terus menikmati panggung kejayaannya.

Demokrasi yang haus darah terus dipuja, syariat Islam semakin tenggelam di kalangan umat Islam sendiri. Struktur dan kultur sosial masyarakat semakin kuat membentuk konstruksi pragmatis dan transaksional.

Piagam Jakarta yang menentukan arah perjalanan negara bangsa Indonesia pun hingga kini dan kemungkinan keraguan pada masa depannya. Menyisakan masalah fundamental dan prinsip bagi latar dan tujuan berdirinya negara bangsa Indonesia. Bukan sekedar pergulatan pemikiran tentang negara kesatuan atau federals.

Para Pendiri Bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan kelemahannya, tanpa disadari mewariskan bahaya laten berupa potensi negara gagal dan lenyap dari muka bumi pada generasi penerusnya.

Kekerdilan jiwa dan pikiran dari para penikmat kemerdekaan, kentara ketika nasionalisme dan patriotisme mulai hilang dari banyak pemimpin dan rakyat dari sebuah negeri yang lama terjajah.

Pilihan negara demokrasi yang menggusur syariat Islam harus dibayar mahal rakyat, negara dan bangsa Indonesia untuk waktu yang tak terbatas. Akomodasi terhadap kepentingan minoritas hanya berdasar pada formalitas eksistensi SARA dan harapan eksklusif untuk perlindungan hukum dari institusi negara.

Tanpa nilai-nilai, kebijaksanaan dan spiritualitas yang tinggi telah menjadi cikal-bakal kerapuhan sebuah negara bangsa. Buktinya banyak suku yang terpinggirkan, terusir dan terbuang, sementara ada suku yang dominan dan hegemoni.

Ada juga agama yang mayotitas dihina dan dinistakan, namun ada agama minoritas yang superior dan over protektif.

Pancasila sesungguhnya tidak menjadi perekat dari kemajemukan dan kebhinnekaan. Menjaga SARA di satu sisi, sementara menjadi rasis di lain sisi. Sejak diberlakukan sebagai falsafah bangsa dan dasar negara, Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi justifikasi dan previllege bagi kehadiran tirani minoritas terhadap mayoritas. Tak luput di dalamnya bangsa asing, oligarki, dan para penjilat kekuasaan.

Membangun stereotif syariat Islam dan spirit Islamophobia bahkan dilakukan secara terstrukur, sistemasis dan masif dalam bingkai global. Justru menjadi pembatas dan penghalang untuk berlakunya syariat Islam yang kental dengan keteraturan, disiplin, kedamaian dan kemaslahatan.

Dalam kancah dunia internasional, Islam dan syariatnya itu disematkan sebagai entitas radikal dan teroris, di Indonesia yang mayoritasnya muslim senantiasa diperangkap dengan ancaman yang bisa membubarkan NKRI.

Tudingan pada kecurigaan atau kekhawatiran kalau tak mau disebut keji, fitnah dan kebencian yang mendalam terhadap syariat Islam, tanpa disadari seiring itu menyuburkan praktik-praktik asusila, amoral dan kebiadaban bagi jalannya peradaban manusia.

Mirisnya, perlakuan menyakitkan terhadap Islam dan umatnya dilakukan tidak sedikit oleh kalangan sendiri, dari sesama yang mengaku muslim, yang terus terpapar pada hedonisme dan penyakit Wahn.

Indonesia sudah terlalu lama dikelola oleh sistem yang bersumber pada pemikiran manusia yang penuh kelemahan, kesalahan dan syahwat. Merasa nyaman terus dipimpin oleh penguasa yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pajangan sekaligus komoditi.

Ya, umat Islam di republik ini telah menjadi pasar bagi ekonomi, politik, hukum dan budaya yang potensial bagi keuntungan non Islam. Rakyat, negara, dan bangsa Indonesia terlanjur menahun bergantung pada napas yang menghirup udara materialisme. Ketuhanan Yang Maha Esa sekalipun, tetap terpinggirkan dan agama telah menjadi sekedarnya dan basa-basi.

Pemerintahan dzalim, ulama yang menyesatkan, intelektual pelacur dan masyarakat yang telah cenderung jahiliyah. Menjadi mimpi buruk wajah Indonesia dalam tidur panjang. Tidak lagi bisa dibedakan antara tidak sadar dan dalam kematian.

Pejabat dan pengusaha dari buah ideologi kapitalis dan komunis rentan khianat dan kerap menjadi penjahat. Aparatnya bejat dan rakyatnya sekarat, negara sepertinya darurat memberlakukan syariat Islam. Mungkinkah? Wallahualam bishawab.

Syariat Islam membebaskan manusia dari penjara keakuannya dan keangkuhan negara. (*)