Ana Kere Akan Terlempar dari Bale

Politik dinasti, yang selama ini berlaku bagi Raja dan keturunannya, ternyata si Kere dan begitu juga kerandhahnya ikut-ikut melestarikan, hanya demi sebuah pengakuan akan sebuah eksistensi yang mengerikan.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

LITERATUR Jawa, sanepan "Ana Kere Munggah Bale", itu sanepan Jawa kuno yang terus hidup dalam ranah budaya Jawa, maknanya pun makin bervariasi sekalipun pakem induknya tetap tidak berubah.

Kere, di sini dimaknai bukan hanya manusia yang miskin harta benda, namun lebih parah, miskin intelektual, miskin adab dan tatakrama. Bahkan dalam ilmu politik modern, manusia yang kapasitas, kapabilitas dan integritasnya minus.

Bale, pada sistem kerajaan (monarki) adalah tempat terhormat bagi masyarakat terhormat, bagi para bangsawan kerajaan.

Sangat tidak mungkin pada waktu itu bale agung ditempati para abdi dalem (rakyat biasa). Kecuali saat ada pisowanan agung toh posisinya tetap sebagai abdi dalem.

Hanya dalam perkembangannya, dikaitkan dengan manusia yang tuna segalanya, diberi atau pun mendapatkan kekuasaan. Tidak kuat derajat menjadi mabuk kepayang. Berhalusinasi menjadi raja dengan segala tingkah anehnya.

Menggunakan bale agung sebagai tempat pernikahan dengan kebesaran memakai pernik-pernik simbol kerajaan, dari pakaian, kuluk dan aksesoris lainnya.

Si Kere akan menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya, artinya bale sebagai panggung terhormat, disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Aji mupung: mumpung ana, lan mumpung kuasa.

Sanepo Jawa, ketika si Kere dipersilakan pilih jeneng (sebagai satria atau negawaran) atau pilih jenag (kamukten harta). Si Kere menjawab pilih jeneng, dengan gayanya kesatria santun – pura-pura tidak sombong, jujur, padahal mengejar Jenag, berdasar fakta empirik perilaku dan tabiatnya yang brangasan.

Tiba-tiba menjadi kaya tak tahu dari mana sumber kekayaannya didapat, bergaya arogan, sombong dan merasa kekuasaan itu mutlak menjadi miliknya.

Sesuai dengan watak aslinya sebagai Kere, menggunakan aji mumpung berkuasa, tidak kuat menyembunyikan watak aslinya yang serba minim, berubah menjadi orang mabuk dan kesurupan.

Kata DR. Mulyadi Opu Tadampali: "bukan hanya minim etika publik yang ditabrak tapi juga akan menabrak tempat di atasnya – norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalar etik".

Lakunya dhedhemitan atau membo-membo badhar (melonjak-melonjak meniru-niru lagak cara hidup orang besar atau orang kaya, yang kurang baik permak agar kelihatan baik.

Lebih mengerikan lagi, si Kere mengajak anak-anak, menantu dan cucunya manggung, sebuah pencitraan politik, agar publik mau mengakui, derajat si Kere ini terhormat dan hebat.

Anak-anaknya yang faktanya bodoh dan memuakkan dianggap hebat. Ke mana-mana anak, menantu dan cucunya diajak dan dipertontonkan ke publik, seolah-olah sebagai manusia hebat.

Politik dinasti, yang selama ini berlaku bagi Raja dan keturunannya, ternyata si Kere dan begitu juga kerandhah-nya ikut-ikut melestarikan, hanya demi sebuah pengakuan akan sebuah eksistensi yang mengerikan.

"Ana kere munggah bale" jadi tontonan orang banyak. Karena, bale memang bukan tempat bagi si Kere dan kerandhah-nya. Itulah si Kere yang setiap hari tampil seolah sebagai bangsawan dan negarawan. (*)