Gerakan Menegakkan Benang Basah: Napas-napas Terakhir Penulis Novel Mengiringi Sekaratnya Penerbit Buku

Siapa tahu kelarisan luar biasa buku ini yang tercipta akibat kenekatan Penulisnya, membuahkan sebuah Lembaga Penerbit Baru yang siap berkorban untuk para Penulis dan Penerbit Idealis. Setidaknya Lembaga Penyandang Dana Penulis dan Penerbit.

Oleh: Indra Adil, Pengarang Novel "The Lady Di" Conspiracy, Sutan The President, Cipinang Undercover

Prolog

HARI Jum'at tanggal 20 Oktober 2023 yang baru lalu, Penulis mengunjungi sahabat lama Ir. Dudun Rusmana, mantan profesional ahli ternak yang kini bermukim di Pelabuhan Ratu menghabiskan sisa-sisa hari tuanya bersama satu-satunya puteri yang masih duduk di SMP kelas 1.

Miris, mendapatkan dirinya yang kini menunggu penerbit yang bersedia menerbitkan 6 karya novel Silat Sundanya yang Penulis anggap luar biasa kualitas karya-karyanya itu. Tetapi ia lahir sebagai pencerita buku Novel Silat (Sunda) pada waktu yang sama sekali tidak tepat, saat di mana buku berbasis kertas sedang menuju kehancurannya. Tepatnya... lahir salah waktu!

Pendahuluan

Novel pernah mengalami "Masa Keemasan" dalam era Milenial ini sejak terbitnya buku HARRY POTTER pertama yang berjudul "Harry Potter and the Philosopher's Stone" (di Indonesia diterbitkan dengan judul "Harry Potter dan Batu Bertuah") pada tanggal 26 Juni 1997.

Sejak saat itu buku-buku novel berbagai jenis dengan berbagai tema merajai penerbit-penerbit dan tokobuku-tokobuku seluruh dunia termasuk Indonesia. Total terjual di seluruh dunia, buku pertama novel Harry Potter mencapai 120 juta kopi lebih dalam 80 bahasa dunia. Kemudian seluruh serial Harry Potter yang difilmkan oleh Warner Bross mendapatkan predikat "Box Office".

Jadi buku-buku Harry Potter mendapatkan predikat Best Seller sekaligus Box Office dalam film-filmnya. Sebuah predikat yang tak mungkin dicapai lagi oleh buku-buku novel manapun di era mendatang dan tak pernah disandang oleh buku-buku novel sebelumnya.

Dan Brown yang muncul di Awal Abad Baru sekaligus Awal Milenium Baru dengan Novel Besarnya "Da Vinci Code", terbit tahun 2003, mengalahkan Jk Rowling (pengarang Harry Potter) dengan 200 jutaan kopi terjual dalam 54 bahasa dunia, tetapi cukup berjarak dengan penjualan seluruh serial novel Harry Potter yang total terjual 450 juta kopi di seluruh dunia.

Hanya novel Da Vinci Code yang menjadi "Best Seller" dunia dari Novel Triloginya Dan Brown, "Da Vinci Code, Angel and Demond dan Solomon Key". Selebihnya hanya menjadi "Best Seller" di tempat kelahirannya, Amerika Serikat. Masa keemasan novel dunia (termasuk Indonesia dengan Lasykar Pelanginya) berlangsung hingga tahun 2015-an, dan setelah itu masa redup hingga mati suri saat ini melanda seluruh pengarang/penulis dan Penerbit novel di seluruh dunia.

La haula wala quata illa billah...

Anatomi Penerbitan

Banyak orang tidak memahami Anatomi Penerbitan, setidaknya Anatomi Penerbitan di Indonesia. Penulis akan menguraikan secara garis besarnya.

Di dalam Dunia Penerbitan Buku, terdapat 3 Unsur Utama Pendukung yang saling memiliki ketergantungan yaitu Penulis, Penerbit dan Tokobuku. Dari ketiga Unsur Utama tersebut posisi terlemah berada pada Penulis, dan posisi terkuat berada pada Tokobuku. Penerbit berada di tengah persis seperti posisi keberadaannya dalam struktur. Posisi di tengah ini menunjukkan juga posisi terjepitnya dalam "percaturan buku" dunia khususnya Indonesia.

Mengapa demikian?

Penerbit adalah pihak yang berhubungan langsung dengan Penulis/Pengarang maupun Tokobuku. Pihak yang seharusnya memikirkan kepentingan Penulis sekaligus Tokobuku, tetapi tidak demikian yang terjadi. Penerbit terbantu dengan lepasnya Tokobuku sebagai pihak yang harus diperhatikan kepentingannya, tetapi justru semakin berat bebannya karena harus memikirkan kepentingan dirinya sendiri yang justru mendapat tekanan berat dari Tokobuku. Di samping harus memikirkan juga posisi Penulis yang ikut terjepit, padahal secara struktural berada di tepi.

Lho...?

Satu-Satunya Penyandang Dana

Penerbit adalah satu-satunya pihak yang mempertaruhkan modalnya dalam percaturan penerbitan buku, yang tidak diderita oleh Penulis maupun Tokobuku. Penerbit adalah pemasok modal satu-satunya dalam berjalannya dunia kangouw persilatan buku. Penerbit harus mengeluarkan biaya pengetikan ulang, editing naskah, disain buku termasuk disain cover, pencetakan buku dan promosi yang semuanya membutuhkan dana dan mutlak bebannya secara keseluruhan harus disandang oleh penerbit.

Penulis cukup mengarang dan menuliskannya, setelah itu menyetorkan hasil tulisannya kepada penerbit. Tidak perlu menyetor uang sekecil apapun. Apalagi Tokobuku. Tokobuku pada masa-masa yang lalu dan mungkin sampai masa-masa yang akan datang, tidak pernah keluar uang sepeser pun untuk terbitnya sebuah buku.

Penulis setidaknya ada modal buat menulis, entah mesin ketik di masa-masa lalu, atau sekarang setidaknya sebuah laptop atau sekecilnya sebuah HP dan kuota. Tokobuku tidak keluar uang sepeser pun bahkan untuk membeli buku yang akan dijual...? Karena buku dititipkan dengan cara konsinyasi. Artinya bila buku terjual Tokobuku dapat untung, bila tak terjual buku bisa dikembalikan kepada penerbitnya.

Dan tahukah pembaca sekalian, berapa Tokobuku meminta prosentase dari harga jual akhir buku? Tak kurang dari 40 %. Lebih dari itu bisa, itulah Tokobuku Besar yang memiliki puluhan Outlet di seluruh Indonesia. Tinggallah Penerbit gigit jari bila bukunya tidak laku. Tahukah pembaca berapa Penerbit menghitung keuntungannya dari nilai jual? Tak pernah lebih dari 20 %, karena bila lebih dari itu buku hampir dipastikan tidak laku, karena harga jual akan terlalu mahal.

Bastard...!

Hitungan Nilai Harga Jual Buku

Mari kita preteli hitung-hitungan nilai biaya penerbitan sebuah buku.

  1. Biaya Penyempurnaan Naskah 3 %
  2. Biaya Pencetakan Buku 30 %
  3. Royalti Untuk Penulis 8 -13 %
  4. Biaya Penitipan di Tokobuku 40 %
  5. Keuntungan Penerbit 14 -19 %

Keuntungan Penerbit berkejaran dengan Royalti Penulis. Bila Royalti Penulis 8 %, Keuntungan Penerbit bisa mencapai 17 %, tapi bila Penulis Handal yg royaltinya sampai 13 %, maka keuntungan Penerbit bisa terdistorsi menjadi hanya 14 %, sementara Tokobuku tanpa risiko rugi mendapat keuntungan tetap 40 %. Luar biasa tidak adilnya bukan? Tapi begitulah realitanya, Tokobuku pegang kendali.

Akibat dari hal di atas, maka Penerbit terpaksa menentukan Harga Jual paling kecil 3 x lipat biaya cetak, atau bahkan bisa terjadi 4 x lipat biaya cetak untuk memperbesar keuntungan. Tetapi risikonya, harga buku menjadi mahal dengan konsekwensi pembeli menjadi semakin terbatas.

Kini Tak Ada Penerbit Mau Menerbitkan Novel, Kecuali Penulis Bersedia Turun Modal

Kini di era Digital ini, hampir tak ada Penerbit yang mau menerbitkan Novel dengan dana sendiri, di mana situasi pasar tergerus oleh buku online. Kini unsur spekulasinya lebih besar risiko buruknya katimbang risiko baiknya. Tak ada lagi Penerbit berani membiayai buku dengan jumlah besar.

Kini buku diterbitkan tanpa menggunakan Pencetakan Offset yang mengharuskan volume buku berjumlah ribuan, melainkan cukup menggunakan mesin Printer, yang bisa melayani Pencetakan Buku dalam jumlah puluhan bahkan satuan, tetapi tentu saja harganya berlipat, setidaknya 2-3 x lipat harga buku berbasis cetakan offset. Mana ada yang mau beli novel dengan harga termurah 200 ribu rupiah dengan penampilan Standart atau Soft Cover.

Selamat tinggal Novel...

Menegakkan Benang Basah

Penulis baru saja menyelesaikan Novel Terbaru yang berdasarkan Kisah Nyata yang dialami Penulis. Judul Novel Kisah Nyata tersebut adalah "Cipinang Undercover". Persis seperti sudah diduga, Penerbit enggan menerbitkan novel dengan biaya puluhan juta rupiah tanpa jaminan dipastikan terjual di atas 50 % bila dicetak 1.000 buku saja, jumlah terendah bagi Pencetakan Buku menggunakan Mesin Offset. Penerbit menawarkan penerbitan cicilan, artinya buku akan dicetak sesuai pesanan.

Persis seperti yang sudah dilakukan sahabat Penulis yang Penulis singgung di Prolog di atas. Dia berhasil menerbitkan salah satu judul buku (dari 6 judul yang ada) dengan cara cicilan, yaitu buku Cerita Silat Sunda dengan judul: "Asmara dan Prahara di Tatar Sunda". Tahukah berapa biaya buku yang ia terbitkan dengan cara cicilan?

Karena keterbatasan dana yang ia miliki, ia hanya mampu menerbitkan 50 buku dengan biaya sekitar 5 juta rupiah. Artinya biaya cetak per satu buku jatuhnya 100 ribu rupiah! Itu buku dengan ketebalan hanya 380-an halaman. Berapa mau dijual kalau lewat toko buku? Sementara Tokobuku pasti mengutip rabat 40 %? Tak masuk akal sehat bisa dijual kepada masyarakat umum lewat Tokobuku mana pun.

Mati saja kau...!

Kini Penulis menghadapi hal yang sama. Tak ada Penerbit yang mau memodali novel Penulis tersebut di atas kecuali Penulis memodali sendiri. Opsi lain yang ditawarkan kepada Penulis adalah dengan menerbitkan cara cicilan seperti di atas, yang sudah kita bahas tak mungkin dijual dengan cara-cara konvensional ke masyarakat luas.

Seperti biasa, jiwa preman Penulis tertantang dan tidak mau menyerah tanpa perlawanan memadai. Kini Penulis telah tetapkan, setidaknya Penulis harus mampu membiayai pencetakan untuk 1.000 buku, bila tak mampu untuk 3.000 buku. Layar telah dikembangkan, tak mungkin digulung sebelum sampai tujuan atau sebelum perahu tergulung ombak.

Oleh karena itu, agar Penulis tidak tergulung ombak, Penulis sangat berharap kepada rekan-rekan seprofesi (aktifis), sahabat-sahabat se-alumni, penggemar-penggemar buku berbasis kertas, simpatisan-simpatisan Penerbit dan Percetakan yang telah gulung tikar akibat terlanda teknologi dan terlanda keserakahan Kapitalis Globalis, untuk mendukung Gerakan Menegakkan Benang Basah ini, dengan turut berpartisipasi mempromosikan Novel Kisah Nyata ini ke seluruh masyarakat melalui berbagai media yang ada. Dan tentu saja partisipasi untuk turut membeli serta turut memilikinya.

Siapa tahu kelarisan luar biasa buku ini yang tercipta akibat kenekatan Penulisnya, membuahkan sebuah Lembaga Penerbit Baru yang siap berkorban untuk para Penulis dan Penerbit Idealis. Setidaknya Lembaga Penyandang Dana Penulis dan Penerbit.

Artinya terjadi mu'jizat pada perkembangan buku berbasis kertas tersebut akibat kelarisan "Cipinang Undercover", dan mu'jizat ini terjadi dalam bentuk bangkitnya semangat Penulis dan Penerbit untuk turut terjun kembali ke dalam kancah pergulatan perbukuan berbasis kertas.

Siapa tahu...?

Jakarta, 23 Oktober 2023. (*)