Bangsa Sengsara
Sadarlah wahai saudaraku, bangsaku. Kekuatanmu telah dipecah-belah. Saatnya bersatu melawan para pengkhianat bangsa. Kaum reformis tak lebih baik dari Orba. Mereka hanya follower belaka. Do it brother, Now or never.
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
SIAPA hari ini yang tidak mengeluh kesulitan pangan, pekerjaan, sandang, dan papan? Hampir semua mengeluh, tapi tak mau mengungkapkannya. Mungkin gengsi, harga diri tinggi.
Mari kita putar lamunan kita pada awal 1998. Kaum yang mengklaim reformis menuduh Soeharto sang diktator. Kekuasaannya mencapai 32 tahun, jika tidak dihentikan, ia bisa berkuasa seumur hidup. Oleh karenanya langkah Soeharto harus dihentikan.
Maka proses penjatuhan Soeharto pun didiskusikan. Orasi, brosur, pamflet, dan buku-buku disebar. Isinya tentang Korupsi, Kolusi, Nepotisme Soeharto dan kroninya.
Soeharto dituduh menumpuk kekayaan. Hartanya tersebar di dalam negeri hingga ke luar negeri. BUMN dikangkangi, PNS dikebiri, waktu itu ABRI dikuasai dan Yayasan-yayasan dialihfungsi.
Masyarakat jadi paham. Hati mereka terhenyak. Kesadaran terbangun. Dan marah. Mahasiswa lalu bergerak. Demonstrasi di mana-mana. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah luntur, telah terkikis habis.
Kejadian ini terus berlangsung secara sporadis di beberapa wilayah, utamanya di Jakarta, Medan, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dan Makassar.
Puncaknya masyarakat dan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR-RI. Mereka mendesak Ketua MPR untuk mencabut mandat terhadap Soeharto. Harmoko sang Ketua MPR anak manis piaraan Soeharto balik kanan berpihak pada mahasiswa.
Pada saat yang bersamaan 17 menteri di bawah provokasi Ginandjar Kartasasmita mundur dari Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya Soeharto jatuh menyatakan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Ia membacakan teks yang disusun oleh Yusril Ihza Mahendra yang kini juga sebagai kaum reformis.
Mahasiswa bersorak-sorai. Masyarakat bergembira. Aneka polah dipertontonkan untuk merayakan kemenangan, mirip anak SMA lulus ujian sekolah yang bajunya dipilox. Sang diktator telah mundur.
Langkah berikutnya undang-undang diubah, era baru telah datang, politisi bagi-bagi kekuasaan.
Kini era reformasi tengah berjalan. Presiden berganti, kabinet bergiliran, gubernur dan bupati bergantian. Mereka menikmati kekuasaan. Saking nikmatnya, hasrat berkuasa makin merajalela. Ada Presiden ingin berkuasa lagi, meski konstitusi membatasi.
Mereka lupa amanat penderitaan rakyat. Rakyat kini tak mendapatkan keuntungan apapun dari proses reformasi. Apa apa yang dulu ditentang di zaman Orba, kini ditiru oleh kaum reformis. Apa yang dulu diharamkan sekarang dihalalkan.
Korupsi yang dulu jadi musuh, sekarang jadi sahabat sejati. Kolusi yang dulu dibenci, sekarang dipuji. Nepotisme yang dulu dihujat, sekarang ini dijiplak. Anak dan menantu serta kerabat bisa menjabat.
Apa yang didapat oleh rakyat dari proses reformasi? Tidak ada. Rakyat makin sengsara. Rakyat terkena prank penguasa. Jika dulu masih ada subsidi, sekarang gigit jari. Jika dulu masih ada sekolah gratis buat orang miskin, sekarang justru dihujat, siapa suruh kamu miskin.
Mau pintar? Bayar! Sadis....
Dulu seorang penjual bubur bisa naik haji. Boro-boro ke tanah suci. Sekarang penjual bubur tak bisa jualan lagi. Gas mahal, beras mahal, listrik mahal, lapak mahal.
Jika dulu anak petani, nelayan dan buruh masih bisa sekolah, sekarang mereka disuruh duduk manis di rumah menunggu BLT datang. Ngalap berkah. Proses pembodohan terus berjalan.
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya. Namun jiwa rakyat telah dininabobokkan oleh uluran tangan dzalim penguasa. Ia menjadi pengendali jiwa-jiwa kerdil, mengharap pemberian dan belas kasihan .
Otak mereka dicuci untuk selalu nrimo bahwa negara sudah ada yang mengurusi, jangan banyak mimpi. Ketakutan disebar, kekhawatiran diumbar: jangan sampai Indonesia jadi negeri bar-bar seperti negara-negara yang mengalaminya.
Stempel Kadrun disematkan. Akibatnya sebagian masyarakat jadi apatis, lemah dan tak berdaya. Mereka ikut membenci saudaranya sendiri yang dibuat oleh gerombolan buzzer bayaran pengadu- domba di bawah kendali penguasa.
Sadarlah wahai saudaraku, bangsaku. Kekuatanmu telah dipecah-belah. Saatnya bersatu melawan para pengkhianat bangsa. Kaum reformis tak lebih baik dari Orba. Mereka hanya follower belaka. Do it brother, Now or never.
Wahai Ketua MPR, Anda gak lebih gentleman ketimbang Harmoko. Wahai para menteri, Anda tak lebih cerdas dari Ginanjar Kartasasmita.
Wahai rezim penguasa, nikmatmu tak akan lama, apalagi jika kau peroleh dari darah rakyat. Wahai rakyat, perubahan dan persatuan untuk keadilan tak akan datang hanya dengan berpangku tangan.
Jika cara-cara normal tak memungkinkan , gunakan cara-cara abnormal, keduanya sama-sama konstitusional. Dan atas ridha Allah pendzalim akan termakan atas kedzalimannya. Insya' Allah anak cucu cicit kita tidak sengsara. Aamiin.... (*)