Catatan dari Istana: Siapa Bilang Megawati Bukan Pendendam? (Bagian Ketiga)
Saat TK menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), ia justru mendatangi ruangan Tamsil Linrung yang menjadi anggota MPR/DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Saat itu, TK menelepon dan mau ke ruangan Tamsil.
Oleh: Mangarahon Dongoran, Pemimpin Redaksi Freedom News
SEKALI lagi, dalam berpolitik Megawati Soekarnoputri mestinya mengikuti jejak Bung Karno, sang ayah. Bagaimana sang Proklamator tetap bersahabat dengan Bung Hatta meski keduanya sudah berseberangan dalam politik.
Tidak hanya dengan Bung Hatta. Bung Karno juga tetap memperlihatkan persahabatan dan rasa hormatnya terhadap Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka. Kebetulan kedua "musuhnya" itu orang Sumatera Barat. Yang satu proklamator sekaligus politikus dan yang satu ulama lurus.
Tanda tidak ada dendam dalam hati Soekarno terhadap Hamka ini terlihat ketika ia memintanya menjadi imam shalat jenazah jika ia meninggal dunia. Hal itu juga permintaan keluarga Soekarno.
Permintaan itu disampaikan lewat Presiden Soeharto melalui ajudannya, Mayor Jenderal Suryo pada 16 Juni 1970, setelah Bung Karno menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Angkaran Darat (RSPAD), dan jenazahnya sudah dibawa ke Wisma Yaso.
Sebagai ulama lurus, Hamka menerima permintaan Bung Karno itu. Ia pun bergegas menuju Wisma Yaso yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala, di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pertama itu pun menjadi imam shalat jenazah. Tidak ada rasa dendam, padahal atas perintah Bung Karno-lah, Hamka ditangkap dan dipenjara selama dua tahun empat bulan. Bung Karno dan Hamka sama-sama ingin memperlihatkan kepada rakyat Indonesia supaya menjauhi sifat dendam.
Membaca dua hal itu, mestinya Megawati memperlihatkan sikap sebagai negarawan. Ia juga harus menyontoh sikap politik yang ditunjukkan suaminya, Taufik Kiemas (almarhum).
Kok membawa nama Taufik Kiemes? Ya, karena putra Palembang ini mampu merangkul lawan politiknya. Ini dilakukan TK, demikian almarhum dipanggil, terhadap Tamsil Linrung dan kawan-kawan yang melakukan aksi penolakan terhadap Megawati sebagai presiden. Tamsil dan kawan-kawan melakukan berbagai manuver, termasuk menggalang aksi unjuk rasa ABM atau Asal Bukan Megawati, menjelang Pilpres 2004.
Ketika TK menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), ia justru mendatangi ruangan Tamsil Linrung yang menjadi anggota MPR/DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Saat itu, TK menelepon dan mau ke ruangan Tamsil.
Oleh Tamsil sebenarnya dijawab, "Saya yang harus ke ruangan Abang (Taufik Kiemas-red.)." Tidak disangka, tiba-tiba TK sudah berada di depan pintu ruangan Tamsil.
Pertontonkan Balas Dendam
Perlakuan seperti itulah yang mestinya dicontoh Megawati. Bukan malah memertontonkan arogansi dan balas dendam, seperti juga yang dilakukannya terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan juga Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.
Cara dendam terhadap kedua tokoh itu berbeda. Saya akan menuliskan perseteruannya dengan SBY yang sempat bermimpi, dia, Megawati, dan Jokowi naik dalam satu gerbong kereta api.
Mimpi tersebut, adalah sebuah keinginan yang sudah lama dari SBY. Hanya saja, dengan Megawati bukan mimpi, melainkan bertemu ketika SBY masih presiden. Jalan mempertemukan keduanya itu sebenarnya sudah diupayakan SBY, namun Mega tetap mutung.
Selama 10 tahun kepemimpinan SBY, Megawati tidak pernah sekali pun hadir dalam peringatan HUT RI (Hari Ulang Tahun Republik Indonesia) di Istana Merdeka. Sebaliknya sejak Joko Widodo memimpin pada 2014, selalu dihadiri presiden kelima itu.
Bahkan, sejak 2004 sampai berakhirnya SBY sebagai presiden, keduanya hanya bersalaman tujuh kali. Itu pun dalam suasana dingin, tanpa kata-kata, kecuali saat pemakaman Taufik Kiemas, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 9 Juni 2013.
SBY memimpin upacara pemakaman tersebut. Selesai pemakaman, SBY kemudian mengucapkan belasungkawa langsung kepada Mega sambil menyalaminya.
Mengapa Megawati dendam terhadap SBY? Bahkan, sampai upacara kenegaraan di Istana Merdeka tidak pernah dihadirinya? Padahal, ia selalu diundang – termasuk undangan kepada mantan presiden dan wakil presiden lainnya yang masih hidup. Jika sudah meninggal dunia, pihak Istana mengundang keluarga.
Selama SBY menjadi presiden, yang selalu hadir dalam acara peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sebagai mantan presiden. Sedangkan BJ Habibie hanya sekali-sekali hadir, karena lebih banyak tinggal di Jerman.
Biasanya, undangan kenegaraanseperti itu tertulis, "Presiden Republik Indonesia (nama presiden yang sedang berkuasa) mengundang: ...dst). Jadi, jelas ketika SBY menjadi presiden, maka dialah yang mengundang Megawati.
Pertanyaan Usang
Mengapa Megawati tidak pernah menghadiri upacara peringatan HUT RI di Istana Merdeka? Jika dikatakan sibuk, itu mengada-ada, karena undangan dikirimkan tidak mendadak. Oke, Megawati berhak hadir atau tidak hadir dalam acara seremonial di Istana. Akan tetapi, acara tersebut cukup sakral dan mestinya diikuti, bukan mengadakan acara serupa dan waktu yang sama di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Panjang ceritanya mengapa Megawati seperti itu. Ringkasnya, kekesalan yang berujung dendam politik itu terjadi karena SBY menjadi Calon Presiden pada 2004. Padahal, ketika itu ia masih menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Kabinet Gotong Royong.
Megawati tersinggung karena SBY tidak meminta izin kepadanya sebagai presiden. Sedangkan SBY merasa tidak perlu minta izin, karena masih dalam proses. Hanya saja, tiba-tiba SBY mengundurkan diri pada 11 Maret 2004 atau menjelang Pilpres.
Kemudian disusul M. Jusuf Kalla yang mundur sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Keduanya kemudian berpasangan dan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2004-2009 dalam pemilihan langsung yang pertama kali diselenggarakan.
Hubungan Megawati dan SBY pun merenggang menjelang Pilpres 2004. Saat itu, antara Januari hingga Februari 2004, SBY beberapa kali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Misalnya, soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal, SBY saat itu menjabat sebagai Menko Polkam.
SBY pun curhat tidak diundang Presiden Megawati dalam rapat kabinet. Curhatannya itu kemudian dibalas Taufik Kiemas sebagai, "Jenderal kekanak-kanakan.” Maklum SBY adalah perwira tinggi TNI AD dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Letjen) Purnawirawan. Kemudian menjadi Jenderal TNI (HOR) Purnawirawan.
Perseteruan antara Megawati dan SBY semakin membara. Puncaknya, ketika SBY terpilih menjadi Presiden keenam RI. Di atas kertas mestinya Megawati yang menjadi presiden karena perolehan suara PDIP menempati urutan kedua setelah Partai Golkar. Sedangkan Partai Demokrat yang mengusung SBY menempati ururan kelima, setelah PKB dan PPP.
Meski hubungan retak, namun SBY tetap berusaha memperbaikinya. Belum juga genap setahun menjabat sebagai presiden, SBY mengundang Megawati ke Istana untuk memperbaiki hubungan itu. Namun, Megawati mengutus Panda Nababan ke Istana dan dititipkan lima buah pertanyaan.
Jika kelimanya dijawab SBY, maka Megawati akan bersedia menemui SBY. Namun, SBY tak mau menjawabnya. Karena menurut informasi yang diperoleh wartawan Istana Kepresidenan, ia tidak mau menjawab pertanyaan itu karena semuanya sudah usang alias peristiwa lama.
Tak hanya itu, SBY juga merasa tersinggung, karena yang diundang adalah Megawati, tetapi yang muncul Panda. SBY menginginkan supaya Megawati yang hadir. Ia ingin berdialog dan berbicara empat mata, mendiskusikan masa depan bangsa, bukan mengungkit persoalan yang sudah lewat.
SBY maunya move on dalam menatap masa depan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)