Cita-Cita Bangsa, Agama, dan Kampanye
Mereka lebih memilih membangun pencitraan untuk merebut kekuasaan ketimbang merenungi pikiran dan tindakannya dalam memimpin itu apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan agama yang mereka yakini.
Oleh: Suroto, Pengamat Sosial
MALAM ini saya sengaja melakukan semacam tetirah berjalan kaki malam menyusuri Kota Jakarta. Malam yang begitu syahdu. Tiang lampu kota yang berjejer tegak berjarak rapi di sepanjang jalan seperti memberi isyarat hidup yang harus tegas sebagai orang kota.
Kursi-kursi panjangnya yang dipenuhi orang yang sedang duduk dan berbaring terlihat seperti anak-anak yang sedang melepas lelah di pangkuan Ibukota. Dalam hati saya, mungkin mereka kelelahan setelah seharian penuh bermain, berkejaran dengan waktu.
Suasana Jakarta malam hari ini tentu jauh berbeda dengan malam di kampung saya sesungguhnya. Tidak ada saut suara Kodok dan Cengeret Nong, atau kelap-kelip Kunang dan juga bau Kepik yang khas. Tapi menurut saya sama-sama syahdunya.
Saya juga sesekali singgah di kursi taman itu. Di bawah lampu yang cukup terang saya duduk dan membaca buku yang beberapa hari ini saya ingin segera habiskan halamannya. Sesekali saya juga selingi dengan menghisap keretek yang saya nyala matikan sesuai kebutuhan mengusir dingin saat malam.
Malam ini saya juga merasa bahagia mendapatkan kenalan seorang teman mengobrol. Sebagai teman yang sepertinya sedang sama-sama santai menikmati malam.
Dia seorang pemuda paro baya. Misman namanya. Dia mengaku sebagai Alkamsi, anak kampung sini. Rumahnya dekat di daerah Menteng tempat kami duduk-duduk.
Entah bagaimana, dari obrolan mengalir, Misman lalu bercerita tentang hidupnya. Hidup sehari-hari ditemai istri dan dua anaknya yang masing masing masih duduk di Sekolah Dasar yang ditopang penghasilan berjualan Cilok. Semacam bakso tapi terbuat dari Aci dibumbui. Saya juga tidak begitu paham ketika dia menjelaskannya kepada saya apa isinya makanan Cilok itu.
Dia tidak mengeluh sebagai penjual Cilok, tapi dia membuka pembicaraan yang jujur dan bahkan terasa sangat intelek. Dia terlihat sangat kecewa dengan perangai para pemimpin di republik ini. Mengapa mereka itu intinya tidak menjalankan cita-cita para pendiri republik, leluhur yang dulu telah berjuang habis-habisan korbankan harta, air mata, dan bahkan nyawa demi kemerdekaan anak cucunya. Dia juga katakan mengapa masih saja terus ada korupsi, kolusi, dan nepotisme padahal sudah ada reformasi.
Saya menimpali pernyataan-pernyataan dia seperlunya. Saya katakan bahwa mental pemimpin-pemimpin bangsa kita itu masih diselimuti mental feodalisme. Mereka sebagian itu memang lebih suka pada slogan tapi miskin tindakan ketika bicara demokrasi, kepentingan rakyat banyak.
Mereka itu adalah pewaris sistem kolonialisme. Itu mengapa Bung Karno katakan kelak kita akan mengalami kesulitan yang lebih berat karena harus berhadapan dengan pemimpin bangsa sendiri yang pikirannya tetap lakukan eksploitasi pada rakyatnya sendiri.
Mereka itu masih berpikir cupet dan penuh basa-basi ketika bicara soal demokrasi. Sesungguhnya mereka tidak serius berdemokrasi. Di benak pikiran mereka itu aji mumpung saja ketika diberikan kepercayaan rakyat.
Saya katakan, ketaatan yang tak terucap dari gestur tubuh mereka itu kepentinganya adalah tunduk pada yang memiliki kuasa lebih tinggi dari dirinya, yaitu kepada para elit kaya. Kepada mereka itulah sesungguhnya para pemimpin republik ini mengabdi.
Saat kampanye itu hanya seperti buih-buih busa mulut. Lain perkataan lain perbuatanya. Giliran jadi tindakan yang dilakukan itu demi kepentingan diri dan keluarganya semata. Ya nepotisme, ya kolusi dan korupsi.
Misman lalu menimpali balik, dia seperti sedang mempertanyakan kadar keimanan dalam beragama para pemimpin tersebut. Dia sebut calon-calon Presiden misalnya. Mengapa mereka itu begitu akan mencalonkan diri musti terlihat alim dan naik haji atau umroh.
Saya terhenyak, baru saya sadari apa yang dikatakan Misman memang selama ini benar adanya. Lalu saya katakan jika soal cita-cita bangsa yang gagal ini juga dikarenakan cara beragama para pemimpin yang gagal.
Mereka lebih memilih membangun pencitraan untuk merebut kekuasaan ketimbang merenungi pikiran dan tindakannya dalam memimpin itu apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan agama yang mereka yakini.
Saya katakan bahwa mereka itu tidak punya cita-cita jangka panjang untuk bangsanya. Itulah yang menyebabkan mereka begitu mudah kehilangan kecintaan dan kesetiaan pada bangsa dan negara ini. Mereka pada akhirnya hanya pedulikan terhadap soal pemuasan nafsu sesaat bagi dirinya dan keluarganya.
Lalu Misman mulai bertanya kepada saya, sebaiknya ketika Pemilu mendatang itu bagaimana menyikapi para pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Saya memilih tak memberikan jawaban.
Malam semakin larut, obrolan kami telah terasa sangat panjang. Lalu dia berpamitan pulang. Saya masih merenung sejenak di kursi trotoar. Keretek di tanganku sudah lama mati rupanya. Lalu saya nyalakan dan saya teruskan perjalanan. Menghampiri malam yang sesekali terasa gelap tanpa penerangan. (*)