Dilema Kualitas Pendidikan Kesehatan Indonesia

Para tenaga kesehatan diposisikan sebagai buruh yang bekerja di rumah sakit tanpa perlindungan hukum dari serikatnya. Semakin berat beban pelayan kesehatan, dan semakin berdampak negatif-lah pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Oleh: Hisnindarsyah, Dokter Spesialis Kelautan, Anggota Tim Advokasi, Hukum dan Kebijakan Regional IDI Jatim, Anggota P2KB IDI Pusat

PELAYANAN kesehatan yang mumpuni dan efektif adalah hal paling mendasar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meski demikian, sampai saat ini tampaknya praktisi medis masih berkutat dengan masalah kualitas, baik dalam hal pengetahuan teoritis maupun dalam praktik.

Kualitas layanan terutama keselamatan pasien (pasient safety) merupakan standar penting dari outcome suatu layanan kesehatan.

Pertanyaan, bagaimana mencapai kualitas pelayanan yang mengedepankan keselamatan pasien dengan sistem pendidikan kesehatan yang menjamur di mana-mana?

Quality control outcome dari pendidikan kesehatan sangat penting karena terkait dengan harkat hidup orang banyak.

Kurang tepatnya dalam pemberian obat, penanganan yang lambat, atau malah terlalu terburu-buru, komunikasi yang berjalan satu arah adalah sebagian kecil keluhan masyarakat saat mengunjungi tempat pelayanan kesehatan.

Anggapan praktisi kesehatan cenderung berorientasi pada keuntungan, yang nyaris menafikan sisi humanistik, mempersulit posisi praktisi medis dalam bertindak. Apalagi regulasi yang baru, sangat jelas menerapkan sanksi pada penanganan medis yang belum tentu merupakan kesalahan profesi medis.

Ingat, medicine science is the art. Ilmu kesehatan itu seni. Sehingga, hal ini bukan melulu kesalahan para praktisi kesehatan tersebut, tapi lebih pada kesalahan sistem yang telah mengakar.

Titik awal dari permasalahan ini bisa dirujuk pada bagaimana para praktisi mendapatkan pendidikan awal, menengah dan tambahan yang menjadi modal untuk mereka berkiprah saat memberi layanan pada masyarakat nantinya.

Masa pendidikan profesi medis yang memang bertujuan untuk mendidik dan menciptakan individu-individu yang kompeten dan berkualitas. Harapannya, outcome tenaga medis yang dihasilkannya pun akan sesuai dengan fungsinya sebagai penyedia layanan kesehatan optimal.

Sayangnya, pendidikan kesehatan sendiri sudah mulai menjadi industri. Dengan target mencetak tenaga kesehatan sebanyak-banyaknya, maka institusi pendidikan kesehatan pun begitu menjamur di mana-mana. Seolah mencetak profesi medis, sama seperti memproduksi mobil dan motor. Maka, dampaknya adalah kompetensi institusi maupun lulusannya pun wajar jika dipertanyakan.

Indonesia memang memerlukan banyak tenaga kesehatan dengan jumlah anggota masyarakat yang mencapai 270 juta jiwa yang tersebar hingga pelosok nusantara.

Walaupun begitu, tidak berarti hal ini bisa dikapitalisasi, kemudian menjadikan kesehatan sebagai industrialisasi mulai dari hulu ke hilir dengan target profit yang sedang di-framing untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis yang besar.

Lingkaran kapitalisme pun tercipta dengan sendirinya: mahasiswa pendidikan kesehatan harus merogoh kantong terlalu dalam, bahkan sampai berhutang untuk mendapatkan ilmu karena biaya pendidikan yang sangat tinggi.

Setelah lulus, mereka akan bekerja nyaris seperti pekerja rodi, berpraktik kejarsetoran, semata untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Walhasil, pelayanan yang diberikan kepada pasien tidak maksimal, pemberian obat jadi ala kadarnya, dan ditambah pula dengan target untuk mencapai keuntungan rumah sakit yang tak luput dari kapitalisme, yang mengorbankan hak-hak tenaga medis.

Apakah hal ini tidak bisa diregulasi oleh pemerintah? Sungguh tak dinyana, regulasi yang baru-baru ini disahkan malah condong memberikan tempat bagi kapitalisme untuk bercokol. Organisasi profesi dibredel aktivitas dan kegunaannya, yang sebenarnya berfungsi untuk menjamin mutu dan kualitas para tenaga kesehatan.

Para tenaga kesehatan diposisikan sebagai buruh yang bekerja di rumah sakit tanpa perlindungan hukum dari serikatnya. Semakin berat beban pelayan kesehatan, dan semakin berdampak negatif-lah pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Belum lagi dengan pengizinan masuknya tenaga kesehatan asing ke Indonesia yang birokrasinya dipermudah, namun kontrol kualitasnya sangat lemah. Bukannya anti asing, tetapi permasalahan pelayanan kesehatan yang sudah rumit dengan pelbagai istilahnya akan semakin kacau dengan efek gegar budaya.

Sesungguhnya memang permasalahan ini sangat dilematis. Indonesia membutuhkan banyak tenaga kesehatan, namun banyak tidak seharusnya mengabaikan kualitas. Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat dan pengayom kebutuhan serta keamanan rakyat harus sangat berhatihati dalam membuat keputusan pendirian pendidikan kesehatan.

Segala sesuatu harus dipikirkan matang-matang, rasional dan meminimalisasi isu-isu yang tidak berdasar. Kembalikan permasalahan pada ahlinya agar masalah tersebut menemukan jalan keluar yang tepat. Agar ritme regulasi dan kualitas mutu layanan kesehatan, seirama dan indah rasanya.

Salam nalar sehat hati nurani kuat. (*)