Jilatokrasi, Sistem Politik Kreasi Jokowi

Para penguasa eksekutif dan parpol-parpol korup yang mempraktikkan jilatokrasi, baik sebagai objek maupun subjek, akhirnya akan menjadi fossil peradaban. Mereka akan terkubur di bawah tumpukan sampah, limbah dan kotoran jilatokrasi itu sendiri.

Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News

KALAU para ketua umum (ketum) partai enggan menjilat, maka mereka akan ditodong dengan ancaman masuk penjara. Kok bisa masuk penjara? Karena kasus-kasus hukum para ketum itu akan direaktivasi, dihidupkan kembali.

Jadi, ada ketum yang menjilat kekuasaan agar dapat cuan sekaligus jabatan. Dan ada ketum yang ditodong agar mendukung kehendak para penguasa bejat.

Inilah sistem demokrasi yang berkembang di era Presiden Joko Widodo. Namanya: ”jilatokrasi”, yaitu “demokrasi jilat dan todong”.

Ada banyak contoh konkret. Misalnya, mantan Ketum PPP Romy Romahurmuzy. Menjelang pilpres 2019, Romy mempraktikkan jilatokrasi dalam skala tertinggi. Demokrasi jilat yang boleh dikatakan sempurna. Penjilatan terbaik di era Reformasi ini.

Menuju pilpres pada 2024, jilatokrasi dipraktikkan banyak ketum. Untuk kategori jilat termasuklah pimpinan PSI dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto.

Kalau Romy disematkan predikat “penjilat terbaik”, maka Pak Prabowo sangat pas dijuluki “penjilat femomenal”.

Kita pantas salut dengan jilatan Pak Prabowo. Dia istiqomah menjilat sejak masuk kabinet Jokowi. Pak Prabowo tidak peduli dengan komentar siapa pun. Juga kelihatan tidak risih. Tentunya hal ini memerlukan mental baja. Di sini keistimewaan Pak Prabowo.

Jilat habis beliau memang dahsyat hasilnya. Entah pura-pura entah serius, sampai-sampai Jokowi mengeluarkan pernyataan “2024 iliran Pak Prabowo”. Dan itu dibuktikan Jokowi. Prabowo sekarang, konon, berada di posisi terkuat sebagai bakal calon presiden. Dia didukung banyak parpol. Selain Gerindra, ada PKB, PAN, dan Golkar.

Jilatan yang tak kalah pamor dilakukan oleh pimpinan PSI. Belum lama berselang, pendiri partai anak-anak muda ini, Grace Natalie, mengatakan sikap PSI pada pilpres 2024 “menunggu arahan Pak Jokowi”.

Yang dikatakan Grace itu tentulah berbau penjilatan. Dapat dipahami mengapa pimpinan PSI harus menjilat. Mereka tak mampu tumbuh berdikari. Perlu asuhan dan perawatan dari para penguasa.

Kemudian untuk kategori todongan, antara lain ada Zulkifli Hasan (PAN) dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin (PKB). Mereka ini tersandera kasus korupsi. Para penguasa memainkan kasus ini untuk menodong Zulhas – panggilan untuk Zulkifli Hasan – dan Cak Imin.

Jadi, jilatokrasi adalah sistem politik yang tumbuh sebagai “rumput liar” yang penuh duri dan getah beracun. Yang terjebak ke dalam aliran ini dipastikan akan mati perlahan ketika regenerasi bangsa ini secara alamiah akan membersihkan praktik-praktik usang dan tercela itu.

Para penguasa eksekutif dan parpol-parpol korup yang mempraktikkan jilatokrasi, baik sebagai objek maupun subjek, akhirnya akan menjadi fossil peradaban. Mereka akan terkubur di bawah tumpukan sampah, limbah dan kotoran jilatokrasi itu sendiri.

Proses menuju perbaikan tidak akan bisa dihentikan. Arus perubahan kini semakin kuat. Ini terjadi karena jilatokrasi adalah perbuatan cabul yang mengabaikan semua standar moralitas kemanusiaan dan kepancasilaan.

Jilatokrasi adalah penyakit yang menyebabkan Indonesia sakit parah. Seluruh rakyat akan bangkit serentak untuk menghancurkan sistem politik kreasi Jokowi itu. (*)