Jokowi Bisa Jadi Kuntilanak
Keserakahan Jokowi sepertinya sulit diingatkan, apalagi di hentikan, ditambah berat korupsi merambah luas di semua lini aparatur negara, keadaan perampasan tanah dimana mana. Kesan makin kuat Jokowi hanya sebagai pemimpin boneka.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
LAGI-lagi Joko Widodo seperti tidak menyadari, ketika rakyat sudah berisik, di sana-sini muncul sumpah serapah bahwa Jokowi memang serakah.
Ketika politik keluarga (dinasti) merajalela dengan vulgar, selalu menggunakan nalar dan dalil bahwa undang undang tidak melarang, ketika anak dan menantunya dimudahkan untuk meraih jabatan politik sebagai walikota/bupati dan iparnya sebagai penjaga gawang di MK.
Tampaknya keserakahan belum berakhir ketika mencoba Kaesang Pangarep terdengar isu akan dinobatkan sebagai Walikota Depok, atret karena banyak kendala dari masyarakat yang menyerang betapa serakahnya presiden ini.
Berbelok arah muncul rekayasa menjadi ketua umum salah satu partai, sekalipun skalanya kecil, tetapi konon memiliki modal finansial besar.
Bersamaan dengan sangat besar rekayasa judicial review mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden dari batasan minimal 40 tahun menjadi 35 tahun, menyerat kuasa Ketua MK yang posisinya sebagai ipar presiden akan mengalami kegagalan.
Konon berharap-harap agar salah satu anaknya sebagai putra mahkota bisa nempel sebagai wakil presiden.
Kondisi Jokowi yang tidak terkendali bisa dikenali, kita pinjam puisi "Wiji Thukul":
Jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa;
Kalau rakyat bersembunyi, dan berbisik-bisik, ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar;
Bila rakyat berani mengeluh, itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa, tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam;
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka akan ada perlawanan;
Ketika ancaman penguasa sangat besar terhadap siapapun yang berbeda pandangan dengan presiden Jokowi, sekalipun sering berputar putar tidak terlibat tetapi perangkat hukum begitu buas menyergapnya.
Muncul meluas bisik-bisik rakyat di media sosial bahwa: Jadi orang adil itu tak gampang, jadi serakah lebih leluasa. Apalagi punya kekuasaan, setir sana, setir sini sesuka hati.
Tapi tak selamanya keserakahan leluasa, yang pertama melibas adalah kebencian, caci maki rakyat yang menerus. Penguasa yang tidak adil, akan membuat tiang gantungan untuk dirinya sendiri. Matinya sangat sakit diantara umpatan keburukan. Telah membuat dosa untuk orang lain, akan menyiksa dirinya sendiri.
Keserakahan Jokowi sepertinya sulit diingatkan, apalagi di hentikan, ditambah berat korupsi merambah luas di semua lini aparatur negara, keadaan perampasan tanah dimana mana. Kesan makin kuat Jokowi hanya sebagai pemimpin boneka.
Kapan bisa dihentikan, bisa jadi setelah Jokowi mengakhiri atau turun dari jabatannya sebagai presiden. Ini artinya semua sudah terlambat.
Anak, menantu, ipar bisa bernasib buruk sebagai "Kuntilanak" nyungsang kesana-kemari minta ampun sudah tertutup. Pilihannya tinggal menepi di jeruji besi atau lari ke alam ghaib sebagai "Kuntilanak", menetap di hutan atau pekuburan. (*)