Kepercayaan Tanpa Syarat

Saat ini, ke mana perginya kepercayaan tanpa syarat itu? Sejak kapan pemimpin-pemimpin yang menginspirasi meninggalkan kita? Sejak kapan cinta dan pengorbanan untuk negara menjadi canda dan bahan ketawa?

Oleh: Radhar Tribaskoro, Aktivis KAMI

DALAM sebuah podcast Anies Baswedan bercerita perihal Imaduddin Abdulrahim. Bang Imad, begitu beliau biasa dipanggil, menjawab pertanyaan Anies tentang mengapa ia memilih menjadi insinyur listrik padahal terbukti ia adalah seorang agamawan tangguh yang terkenal dengan buku "Kuliah Tauhid".

Jawabannya adalah sebuah kisah. Bang Imad mengisahkan bagaimana dirinya mengikut ayah dan orang-orang kampungnya berjalan 6 jam mendatangi peresmian Bendungan Asahan. Peresmian itu akan dilakukan oleh Wapres Mohammad Hatta. Mereka berharap bisa bertemu dengan tokoh Proklamator itu.

Dalam peresmian itu, Bung Hatta menyampaikan pentingnya tenaga listrik. Ia kemudian mengimbau anak-anak muda untuk menjadi insinyur-insinyur listrik dan membangun negerinya.

Pidato Hatta itu menjadi semacam moment of truth untuk seorang Imaduddin muda. Setelah itu ia hanya mempunyai satu cita-cita untuk diperjuangkan: menjadi insinyur listrik. Ia meraih cita-citanya itu dengan bersekolah di Departemen Elektro ITB.

Anies Baswedan takjub. Bagaimana bisa, hanya dengan kata-kata saja, seorang politikus bisa membangunkan energi begitu besar dari seorang anak desa. Begitu besarkah penghargaan orang kepada seorang politikus bernama Mohammad Hatta. Anies takjub, mungkin karena hal semacam itu sudah langka terjadi saat ini.

Anies menyebut momen "transfer energi" itu dengan "kepercayaan tanpa syarat". Imaduddin kecil mendengar permintaan Bung Hatta, menerimanya begitu saja, dan kemudian melaksanakannya dengan sepenuh hati.

Peristiwa yang sama terjadi pada seorang pemuda berpuluh tahun sebelumnya, di Madiun. Pemuda itu kakek saya. Ia berjalan kaki 200 km dari Madiun hanya karena ingin melihat langsung seorang pemuda cerdas dari Bandung yang akan berpidato di Semarang. Pemuda Bandung itu bernama Soekarno. Pidatonya pun mentransfer energi sangat besar sehingga bisa menggerakkan kakek saya untuk menjadi bagian dari pergerakan yang sedang dibangun pemuda Bandung itu.

Kakek saya tidak sempat bertegur-sapa dengan pemuda Bandung itu, tetapi ia tidak pernah bisa melupakan kata-katanya. Ia menyimpannya dalam hati, berusaha mewujudkannya, walau untuk itu ia harus keluar masuk penjara dan menelantarkan anak istrinya.

Begitu kuatnya hubungan antara seorang pemimpin dengan rakyatnya. Bayangkan apa yang bisa dilakukan 280 juta orang yang bersatu dan siap berkorban sesuai arahan pemimpinnya?

Saat ini, ke mana perginya kepercayaan tanpa syarat itu? Sejak kapan pemimpin-pemimpin yang menginspirasi meninggalkan kita? Sejak kapan cinta dan pengorbanan untuk negara menjadi canda dan bahan ketawa?

Jaman memang telah berubah, siapa yang bisa menolak perubahan? Tentu saja banyak orang akan menolak perubahan. Saya adalah salah satu orang dari sekian banyak orang yang akan menolak perubahan bila perubahan itu malah membuat kita semakin dangkal, membuat rakyat semakin tertindas, menjadikan ketidak-adilan tambah merajalela.

Dengan cara itu, kita menghargai Bung Karno dan Bung Hatta yang telah menginspirasi jutaan orang mengenyahkan penjajahan beratus tahun atas negeri tercinta. Kita ingin pemimpin-pemimpin yang bisa kita percayai tanpa syarat itu kembali. Mungkinkah? (*)