Konferwil NU Membangun Harapan Baru Menyambut Kebangkitan Kedua NU
Pandangan Martin Van Bruinessen bahwa NU lahir dari ekosistem jemaah yang konservatif, tetapi berpotensi besar melahirkan gerakan yang progresif bisa diwujudkan jika para peserta Konferwil mempunyai mata batin yang kuat perihal siapa sosok yang pantas memimpin PWNU Lampung.
Oleh: DR. H Bustami Zainudin, SPd, MH, Anggota MPR RI – DPD RI Dapil Lampung, MABINAS PB PMII, Mantan Mukhtasyar PCNU Way Kanan Lampung
KONFERENSI Wilayah (Konferwil) XI Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Lampung digelar pada 29 dan 30 Juli 2023 di Kota Metro. Konferwil ini adalah Konferwil NU yang istimewa karena sebagai Konferwil pertama yang digelar pada abad kedua NU.
Selain mengagendakan evaluasi dan penyusunan program, penataan organisasi, tentu pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah akan banyak menyita perhatian peserta Konferwil dan publik Lampung.
Dalam memilih Rais dan Tanfidziyah PWNU Lampung tentu banyak membutuhkan kalkulasi dan pertimbangan yang matang dan komprehensif. Tidak atas kalkulasi untung rugi semata. Namun juga membutuhkan ketajamanan "istikharah" dan "ikhtiyarah" yang bersambung dengan cita-cita mulia para pendiri NU.
Sebagai sebuah hajatan demokrasi, Konferwil PWNU Lampung merupakan momentum penyegaran kembali roda organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang selama periode 2018-2023 dipimpin oleh duet KH Muhsin Abdillah sebagai Rais Syuriah dan Prof KH Muhammad Mukti sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung.
Dalam momentum lima tahunan ini berbagai lapisan pengurus (jam'iyah) dan warga (jama'ah) NU turut memikirkan sekuat tenaga untuk menyukseskan Konferwil. Terutama unsur kepanitiaan, baik yang ada di level Pengurus Wilayah maupun pengurus NU di tingkat cabang yang menjadi tempat penyelenggaraan Konferwil, akan berjibaku segenap jiwa raga agar Konferwil NU benar benar terlaksana sesuai rencana dan agenda.
Seluruh elemen NU, baik jajaran pengurus, panitia, dan warga NU solid dan saling membantu dan bahu membahu agar Komperwil bisa tergelar dengan baik. Sebab, bagi warga NU, Konferwil adalah harapan baru (new hope) untuk memiliki pemimpin baru dalam menahkodai NU di masa yang akan datang.
Terlebih pada tahub 2026 NU akan memasuki fase baru yang dikenal dengan istilah kebangkitan kedua (an nahdlah ats tsaniyah), maka rancang bangun penguatan ke-NU-an yang progresif harus disusun oleh pengurus wilayah NU periode 2023 – 2028.
Dalam kaitan ini untuk menyiapkan berbagai strategi dan langkah taktis penguatan NU diperlukan figur pimpinan NU yang cakap menggerakkan roda organisasi secara sinergis diberbagai level kepengurusan, mulai tingkat pengurus wilayah hingga ranting ataupun anak ranting.
Sebab, selama ini NU distigmatisasi sebagai organisasi yang hanya bisa berkumpul, tapi tidak bisa berbaris.
Oleh karena itu, tata kelola organisasi NU yang sinergis ini harus menjadi pekerjaan besar yang perlu digarap serius oleh pimpinan wilayah baru NU. Sehingga, pimpinan baru NU harus mempunyai kecakapan merapatkan barisan warga NU, baik pada level organisasi (jam'iyah) maupun pada level kelompok penganut (jama'ah).
Konsolidasi pergerakan ini penting dilakukan agar keberadaan NU bisa menjadi organisasi yang dikelola secara sistemik dan masing masing pengurus ataupun jemaah NU saling bersenyawa untuk membesarkan NU.
Persenyawaan pikiran dan gerakan ber-NU ini penting diperhatikan dan dioptimalisasi oleh pimpinan wilayah baru NU agar di tubuh organisasi NU tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan yang bisa berdampak pada penyalahgunaan kebijakan. Apalagi selama ini, disadari atau tidak, barisan NU yang tersebar di berbagai kantong massa terkandang berjalan secara sendiri sendiri.
Antar kelompok yang dilingkupi oleh napas ke-NU-an terkadang pula berseberangan, baik dengan jemaah maupun dengan jam'iyah NU.
Semisal, dalam merespon beberapa persoalan sosial-keagamaan, sosial politik, dan persoalan lain yang sudah ditetapkan garis kebijakannya oleh pengurus NU, baik dilevel wilayah maupun cabang, tetapi tidak memperoleh respon yang seragam.
Bahkan, ada beberapa kelompok yang justru mengakomodasi dan mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi kemasyarakat lain yang secara idiologis cukup berseberangan dengan NU.
Dalam hal program tumpang tindih, sulit bersenyawa, dan cenderung bergerak secara parsial, ke depan harus dapat diatasi oleh pimpinan wilayah NU yang baru. Langkah ini penting dilakukan agar semua lapisan warga NU bisa terjaga dan terpanggil untuk membenahi berbagai aspek penunjang yang mampu melandasi keberdayaan NU ditengah percaturan regional, nasional, ataupun internasional.
Apalagi diera kebangkitan kedua NU, semua warga NU mempunyai berbagai impian untuk menguatkan posisi NU melalui pendirian berbagai jenis layanan publik, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan bidang bidang lainya.
Maka, dalam mengelola NU, pimpinan wilayah yang baru tidak sekedar melandasi ruang gerak organisasi NU sebagai jenis perkumpulan seadanya (taken for granted). Akan tetapi, bagaimana perkumpulan ini dikelola secara manajerial agar menghasilkan sebuah gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Dalam artian, pertama, cara terstruktur berkaitan dengan model penataan organisatoris secara koordinatif dan sinergis dari level wilayah hingga ranting dan menguraikan garis instruksi kepemimpinan yang bisa dilaksanakan di setiap jenjangnya dan jemaah yang tersebar diberbagai pesantren serta majelis berdasarkan azas kepatuhan dan kepatutan yang proporsional.
Kedua, secara sistematis berkaitan dengan model konsolidasi gerakan keagamaan yang sistemik agar pemikiran dan pandangan ulama yang syarat dengan nilai nilai kerahmatan dan ke-aswaja-an 'ala annahdliyah bisa dijadikan sebagai motivasi sosial bagi jemaah NU dalam mengawal perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, secara masif berkaitan dengan gerakan idiologis dalam mengimplementasikan ajaran keislaman ala NU yang berbasis pada kearifan sehingga karakteristik NU sebagai organisasi yang akomodatif terhadap tradisi dan responsif terhadap perkembangan jaman betul-betul dilaksanakan dengan baik serta selalu berupaya melakukan perbaikan kearah yang lebih baik lagi dan seterusnya.
Untuk menyikapi harapan baru bagi masa depan NU, tentu sebuah organisasi membutuhkan penyegaran kepemimpinan.
Dari sekian sosok yang selama ini sudah mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin NU, para peserta Konferwil perlu menimbang mana di antara sosok yang dianggap paling loyal mengemban amanah kebangkitan kedua NU dan membawa NU sebagai organisasi yang responsif dengan perkembangan jaman dan perubahan sosial.
Pandangan Martin Van Bruinessen bahwa NU lahir dari ekosistem jemaah yang konservatif, tetapi berpotensi besar melahirkan gerakan yang progresif bisa diwujudkan jika para peserta Konferwil mempunyai mata batin yang kuat perihal siapa sosok yang pantas memimpin PWNU Lampung.
Sebab, memilih ketua NU tidak hanya membutuhkan kalkulasi untung rugi. Tapi, juga membutuhkan ketajaman istikharah dan ikhtiyarah yang bersambung dengan cita cita mulia para pendiri NU.
Selamat berKonferwil, dengan pengalaman panjang dan kematangan berorganisasi, didukung oleh modal sosial, jema'ah yang begitu besar, penulis sebagai kader sekaligus warga NU, merasa yakin dan optimis, Konferwil PWNU Lampung akan berjalan lancar dan sukses, siap menyambut kebangkitan kedua NU. Tabikpun… (*)