Menghadirkan Sang Ratu Adil Dengan Meng-AMIN-kan Indonesia

Menyongsong hadirnya perubahan untuk Indonesia yang berkeadilan, ada baiknya mereka yang menjadi barisan perubahan untuk tetap waspada dari upaya-upaya jahat dan kotor kekuasaan yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

SEBUAH persembahan yang tak banyak diprediksi oleh masyarakat Indonesia bahkan terkesan sebuah skenario "langit", tiba-tiba di Surabaya, pada Sabtu, 2 September 2023, di Hotel Majapahit, muncul deklarasi pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diakronimkan menjadi AMIN.

Hadirnya pasangan Anies dan Muhaimin ini mengingatkan kita pada cerita-cerita rakyat lahirnya Sang Ratu Adil. Sebuah kehadiran yang tidak diduga-duga, untuk menyelamatkan rakyat dari keterpurukannya.

Hadirnya sang Ratu Adil ini, dipercaya bahwa telah terjadi massa di mana bangsa Indonesia mengalami suasana sulit dan akan hadir suasana yang adil, makmur dan mensejahterakan.

Dalam ceritanya, zaman ini diawali dengan adanya massa "goro-goro", hilangnya keadilan, rakyat dinistakan, penguasa dan kerabatnya menjalankan kepemimpinan yang rakus merampas tanah-tanah rakyat, harga harga bahan pokok yang melambung dan suasana berbangsa yang terpecah- belah. Penguasa tak lagi punya malu, memperkaya diri sendiri, tak peduli dengan kondisi rakyatnya.

Kehadiran pasangan ini, Anies – Muhaimin seolah menegaskan ramalan Joyoboyo bahwa Ratu Adil sang juru selamat dengan Herucakra adalah kunci utama yang sangat berpengaruh bagi rakyat.

Risalah Jayabaya menunjukkan kehadiran Ratu Adil dengan lambang “Tunjung Putih semune pudhak sinumpet” (seorang berhati suci yang masih disembunyikan identitasnya oleh kegaiban Tuhan).

Pada zaman ini disebut sebagai zaman Kala Bendhu di mana pada zaman ini banyak orang mengejar kepentingan pribadi dan banyak dikuasai angkaramurka.

Keadaan ini akan hilang dengan bergantinya zaman menjadi zaman Kala Suba, yang merupakan zaman kegembiraan rakyat. Zaman Kala Suba dikenal dengan munculnya Ratu Amisan yang juga disebut Sultan Heru Cakra. Sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pangeran Diponegoro (1801-1900). Tokoh Pangeran Diponegoro dikenal sebagai Ratu Adil yang melawan penjajah Belanda.

Belajar dari sejarah perang, kekalahan Pangeran Diponegoro, di mana penjajah Belanda selalu berlaku licik dan penuh tipu daya, sehingga perjuangan mewujudkan keadilan bisa digagalkan oleh Sang Angkara Murka, Penjajah Belanda.

Pasangan AMIN dan koalisi pengusungnya serta rakyat yang mendambakan perubahan harus selalu waspada akan tipu daya dan kelicikan kekuasaan. Maka tak ada salahnya kita merenungkan kembali nasehat yang berasal dari falsafah Jawa yang diberikan oleh Ronggo Warsito, "eling lan waspodo".

Falsafah ini dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Falsafah yang mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup.

Falsafah Jawa ini muncul dan mulai dikenal setelah tercantum dalam karya Rangga Warsita dalam salah satu bait tembang sinom Serat Kalatida.

Secara khusus, dua baris terakhir tembang tersebut, yakni "begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada", seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.

Menyongsong hadirnya perubahan untuk Indonesia yang berkeadilan, ada baiknya mereka yang menjadi barisan perubahan untuk tetap waspada dari upaya-upaya jahat dan kotor kekuasaan yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Menyiapkan barisan yang kuat dan teguh adalah kunci utama, perbanyak jaringan, perbanyak kawan dan jangan menambah musuh. Mari kita bangun sebuah semangat "menang tanpo ngasorake". (*)