Negara Berdasarkan Pancasila Itulah Khilafah Model Indonesia
Ingat! Perjuangan umat Islam dalam sejarah Indonesia telah mencatat resolusi jihad umat Islam untuk mempertahankan negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan heroik perang 10 Nopember 1945 yang mengorbankan ribuan suhada. Jangan biarkan negeri ini mendekati kehancurannya.
Oleh: Ir Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
KHILAFAH telah menjadi momok di negeri ini. Ia seakan menjadi endemi, musuh bersama yang harus dilawan dan dimusnahkan. Hari ini, tenaga, pikiran, bahkan uang rakyat terkuras untuk urusan khilafah yang, sengaja atau tidak, ditempelkan pada kelompok radikal.
"Logika akal sehat, bukan khilafah yang harus menjadi musuh bersama kita, tetapi hadirnya individualisme, liberalisme, kapitalisme inilah yang menghancurkan Republik Indonesia.”
Padahal, sejarah sebelum negara Indonesia ada Kerajaan Islam Mataram, dan di situ ada khilafah. Gubernur DIY sekaligus Sultan Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X sudah mengatakan bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Khilafah Turki Utsmani.
Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa. Ini ditandai dengan penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan La Ilaha Illa Allah dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasul Allah. Hingga kini (kedua bendera itu) masih tersimpan baik di Keraton Jogja.
“Terus, akhirnya Indonesia anti-khilafah sebagai bentuk negara. Kudunya (harusnya) bahasanya jangan begitu. (Kamu bisa bilang), kami tidak setuju pada tafsir HTI terhadap konsep khilafah, tapi jangan khilafahnya yang kamu salahkan. Kalau khilafah yang disalahkan, bisa murtad kita terhadap Allah,” tegas Emha Ainun Najib alias Cak Nun.
Ia juga bertanya-tanya, sejak kapan khilafah dimaknai sebagai sistem negara? Padahal saat konsep tersebut diturunkan, dunia ini belum mengenal negara, melainkan hanya kerajaan. Kesalahan umat Islam menafsirkan makna ‘khilafah’ itu, menurut Cak Nun, sangat berbahaya.
Ironis sekali. Sekarang ini, khilafah sudah menjadi stempel (radikal) bagi siapa saja yang mendukungnya. Pemerintah pun menjadikan Khilafah sebagai musuh negara, karena dianggap ini akan menghancurkan sistem bernegara di Indonesia. Pemahaman yang jauh dari kebenaran.
Kajian kami di Rumah Pancasila: Justru negara berdasarkan Pancasila itulah model Khilafah yang ditanamkan oleh pendiri negeri ini. Para pejuang itu tidak menjadikan Islam sebagai bendera yang harus dikerek ke atas, tetapi ‘api Islam’ yang dimasukan dalam Pancasila. Ini buah pemikiran yang luar biasa.
Khilafah dasarnya tauhid dan sistemnya majelis. Sedang negara berdasarkan Pancasila dasarnya Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa (Tauhid), sistemnya MPR (majelis).
Khilafah menjalankan Syariah Islam, sedang di negara berdasarkan Pancasila Syariah Islam dijalankan, mulai dari pendidikan seperti pendidikan dengan model Syariah dari TPQ sampai perguruan tinggi ada.
Pun kehidupan muamalah, juga diatur kawin-cerai, bagi waris, waqof, bahkan ada Pengadilan Agama Islam. Soal ibadah, pemerintah ikut mengatur haji-umroh, hari-hari besar Islam juga diatur sesuai syariah. Ekonomi yang sedang berkembang ekonomi syariah, lembaga keuangan syariah. Lalu ada yang bertanya: Bagaimana dengan qisas, hukum potong tangan, penggal kepala? Itu domain pemerintah, bukan urusan umat.
Jadi, jelas negara berdasarkan Pancasila itu adalah khilafah model nusantara. Kita tidak perlu membenturkan Pancasila dengan khilafah. Harusnya pemerintah membangun narasi yang lebih pada persatuan bangsa. Bukan sibuk membuat stigma Islam dengan Khilafah, lalu dianggap radikal bahkan teroris, dan tidak boleh ada di bumi nusantara. Ini semua kerja sia-sia.
Harusnya para petinggi negeri ini membaca sejarah dan melakukan dialog, kajian-kajian strategis yang membangun narasi keutuhan, bukan pecah-belah pada umat (Islam). Karena cara stigma, islamophobia jelas membuat bangsa ini tidak utuh, bertentangan dengan persatuan Indonesia.
Jadi? Bukan khilafah yang menjadikan ancaman bagi bangsa ini, sebab khilafah telah menginspirasi Pancasila. Mengapa begitu? Karena Khilafah itu bicara tentang Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Bukankah manusia diciptakan Allah sebagai Khalifahtulloh dengan tugas memimpin sekaligus menjaga alam raya.
Amandeman Merusak Segalanya
Pancasila juga bicara tentan Tuhan, Manusia dan Alam semesta. Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa bicara tentang Tuhan, tentang sifat sifat Tuhan bukan dzat Tuhan. Kemanusiaan Yang Adil dan beradab juga bicara tentang manusia harus bisa Adil. Jika manusia Indonesia bisa adil maka akan mampu membangun peradaban. Persatuan Indonesia juga bicara tentang alam semesta, tentang persatuan tanah air.
Nah, sekarang ini, semua fondasi itu hancur. Bagi para pemerhati Pancasila dan pembela Pancasila, sangat paham bahwa amandemen UUD 1945 sudah menyingkirkan Pancasila, sehingga tidak lagi menjadi dasar negara. Diubahnya sistem MPR menjadi sistem presidensial, jelas bertentangan dengan Pancasila. Ironi bukan?
Mengapa? Pancasila sebagai dasar Negara, itu sistemnya permusyawaratan perwakilan sehingga kedaulatan rakyat dijalankan oleh MPR, maka di MPR itulah duduk utusan-utusan golongan atas nama kedaulatan rakyat. Kemudian disusunlah politik yang dikehendaki rakyat, lalu disebut GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Setelah GBHN tersusun, kemudian dipilih presiden untuk menjalankan GBHN. Maka presiden adalah mandataris MPR. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya. Kalau ada presiden sebagai petugas partai, itu adalah pelanggaran terhadap konstitusi.
Sistem presidensial adalah sistem individual liberalisme, kekuasaan diperebutkan dengan kalah-menang, banyak-banyakan suara, pertarungan, maka lahir mayoritas yang menang, minoritas yang kalah. Ini sangat berbahaya, tidak dikehendaki oleh pendiri negeri ini.
Sistem ini jelas bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa? Sebab, Bhinneka Tunggal Ika itu sistem keterwakilan, bukan keterpilihan.
Hari ini kita masuk model demokrasi liberal, banyak-banyakan suara, maka minoritas tidak akan pernah terwakili. Ini demokrasi liberal. Padahal Bhineka Tunggal Ika, itu semua elemen bangsa harus terwakili. Sebab negara didirikan untuk semua, bukan untuk golongan apalagi untuk oligarki yang kaya raya.
Pemilu kali ini, juga praktik dari demokrasi liberal. Bisa kita rasakan, bagaimana hilangnya Pancasila. Bahkan bangsa ini menjadi munafik, karena Pancasila yang basisnya kebersamaan, kolektivisme, tolong menolong, gotong royong, musyawarah perwakilan, tetapi faktanya justru liberal basisnya individualisme, pertarungan, kalah menang, kuat-kuatan, banyak-banyakan suara.
Pancasila itu bukan kekuasaan diperebutkan dengan suara terbanyak, kalah-menang, kuat-kuatan. Pancasila itu bukan sistem presidensial yang basisnya individualisme.
Pancasila itu permusyawaratan keterwakilan, onok rembuk yo dirembuk, begitulah istilah para pejuang kita. Maka, kekuasaan menghalalkan segala cara, berbohong, tidak jujur, curang itu jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Penulis sendiri tidak bisa membayangkan, jika negeri tercinta ini pada akhirnya harus di-Balkan-kan. Artinya, skenario amandemen UUD 1945, jelas akan berujung dengan pecahnya Indonesia.
Ingat! Perjuangan umat Islam dalam sejarah Indonesia telah mencatat resolusi jihad umat Islam untuk mempertahankan negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan heroik perang 10 Nopember 1945 di Surabaya yang mengorbankan ribuan suhada. Jangan biarkan negeri ini mendekati kehancurannya.
Sadarlah, bangsa ini tengah di persimpangan jalan. Tak ada lagi rasa senasib dan sepenangunggan sesama anak bangsa. Semua itu akibat dari individualisme, liberalism, kapitalisme yang kini sudah mencengkeram jagat politik kita.
Jadi? Logika akal sehat, bukan khilafah yang harus menjadi musuh kita, tetapi dengan hadirnya individualisme, liberalisme, kapitalisme inilah yang menghancurkan Republik Indonesia. Sadarlah! (*)