Negara Diacak-acak Presiden Bandit dan Parpol Kartel
Pertarungan politik saat ini tidak terlepas dari adanya keinginan kepentingan politik dan keinginan membangun imperium kekuasaan. Tidak heran jika publik sering menyaksikan praktik pelanggaran hukum itu semua hanya wajah perebutan kekuasaan.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PROF Daniel M Rosyid, mengeluarkan catatan bahwa: "Organisasi paling berbahaya di dunia ini bukan Al Qaeda, ISIS, apalagi HTI atau FPI, tapi partai politik. Sejak UUD 1945 diganti UUD 2002, partai politik terbukti makin berbahaya, karena mampu mempermainkan politik sebagai kebajikan publik, termasuk Pilpres".
Prof. Ward Berenschot, Gurubesar Perbandingan Antropologi Politik Universitas Amsterdam dan Peneliti Senior KiTLV Universitas Leiden, bahkan menyampaikan bahwa 52% anggota DPR sebagai kartel berkolaborasi dengan Taipan Oligarki.
Penunjuk arah politik bahkan presiden dan hampir semua partai di Indonesia sudah tenggelam dalam kendali Oligarki. Sistem politik multipartai yang membentuk partai kartel yang bersenyawa dengan kekuasaan adalah salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya kekacauan politik ini.
Presiden tidak akan berani melakukan politik dinasti yang ugal-ugalan seandainya partai politik itu masih berperan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Semua sudah dalam satu kolam yang keruh hanya memburu kepentingan masing-masing saling mengait satu sama lain.
Presiden dan partai kartel menciptakan sistem kerja sama yang mampu menjaga dan mengatur negara sesuai dengan kepentingan kelompoknya masing-masing.
Menyatunya presiden bandit dan partai kartel telah menghilangkan sistem checks and balances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi mapan sebuah pemerintahan negara.
Fungsi pengadilan diacak-acak, Mahkamah Konstitusi sampai berani keluar dari kehormatannya sebagai penjaga konstitusi, larut terlibat dalam rekayasa politik dinasti.
Presiden bandit dan partai politik kartel adalah partai yang menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan posisinya dalam sistem politik, beroperasi seperti kartel.
Pengertian tersebut merujuk kepada eksploitasi kekuaasan untuk kepentingan kolektif. Argumen mengenai terjadinya kartelisasi adalah kepentingan penguasa dan partai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel. Sibuk luar biasa berbagi peran memburu proyek-proyek bersama para taipan oligarki.
Partai kartel sesekali berputar putar tampil sebagai oposisi padahal sebenarnya saling bekerja sama.
Kepentingan penguasa dan parpol di Indonesia seperti terdiskoneksi dengan rakyat. Makanya tidak heran apabila presiden dan parpol di Indonesia sangat pragmatis, hedonis dan tidak ideologis.
Pertarungan politik saat ini tidak terlepas dari adanya keinginan kepentingan politik dan keinginan membangun imperium kekuasaan. Tidak heran jika publik sering menyaksikan praktik pelanggaran hukum itu semua hanya wajah perebutan kekuasaan.
Rintihan, kritik dan macam macam bentuk protes rakyat, agar rezim kembali ke jalan yang benar sesuai panduan konstitusi UUD 1945, semua kandas dan sia-sia.
Sejak berlakunya UUD 2002, presiden dan partai politik telah morfosa menjadi bandit poltik dan ekonomi, tragis dan mengerikan justru berubah fungsi sebagai drakula yang setiap saat memangsa rakyat, sebagai santapan perilaku politiknya. Ironis tetapi itulah fakta yang terjadi saat ini. (*)