Orasi Kebangsaan: Tiga Tahun Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)

Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus tetap diupayakan. Capaian itu bisa diukur dari beberapa indikator, seperti: Kebebasan Sipil (Civil Liberty); Hak-Hak Politik (Political Right); dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).

Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer Universitas Nasional (UNAS)

KOALISI Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merupakan sebuah gerakan yang dideklarasikan pada Agustus 2020. Bagi saya, KAMI pasti berkaitan dengan aktivitas politik.

Saya ingin kita melihat sejarah. Pertama; kata KAMI mengingatkan saya pada Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, singkatannya juga KAMI. Sebuah kelompok mahasiswa anti-komunis yang dibentuk setelah peristiwa 30 September 1965.

Organisasi tersebut dan sejenisnya seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) menjadi oposisi bagi Presiden Sukarno.

Kedua; kelompok oposisi seperti KAMI yang dibentuk pada 2020 ini juga mengingatkan saya pada Kelompok Petisi 50, yang lahir 40 tahun lalu, tepatnya pada 1980. Keberadaan KAMI 2020 ini hampir sama dengan Petisi 50. Pada saat itu Presiden Soeharto berusia 59 tahun. Soeharto sedang kuat-kuatnya membangun kekuasaan yang otoritarian. Saat KAMI berdiri, usia Presiden Joko Widodo juga 59 tahun. Sama seperti usia Presiden Soeharto saat berdirinya Petisi 50 pada 1980.

Kepemimpinan Jokowi pada 2020 juga mendapatkan rapor terburuk berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Ideks demokrasi Indonesia tercatat menduduki peringkat 64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.48. Pada 2020 itulah Indeks Demokrasi (IDI) Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.

Artinya indeks demokrasi Indonesia di era Presiden Jokowi lebih buruk daripada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal Jokowi berasal dari kalangan sipil dan SBY berasal dari kalangan militer. Biasanya pemimpin berlatar militer dianggap lebih otoriter. Ternyata sipil juga bisa lebih otoriter. Jadi tergantung individu yang bersangkutan.

EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim. Pertama: demokrasi penuh (full democracies). Demokrasi penuh merupakan negara-negara dengan kebebasan sipil dan kebebasan berpolitik tidak hanya dihormati, namun juga diperkuat budaya politik yang kondusif dan matang, sehingga prinsip-prinsip demokrasi dapat berjalan dengan baik.

Kedua: Demokrasi belum sempurna (flawed democracy). Indonesia masuk dalam kategori ini. Kategori tidak mulus pada aspek-aspek proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil yang dinilai di bawah standar.

Ketiga: Rezim hibrida (hybrid regimes). Rezim hibrida adalah negara-negara yang terdapat tindak kecurangan dalam pemilu reguler serta keberadaan negara dirasa sedikit menghalangi rakyatnya untuk mendapatkan demokrasi yang adil dan bebas.

Keempat: Rezim otoriter (authoritarian regimes). Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter, yaitu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Sistem rezim otoriter ini kebanyakan menentang demokrasi, sehingga kebanyakan kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melewati sistem demokrasi pemilihan umum.

Kembali pada kesamaan Petisi 50 dengan KAMI. Ada jejak suara kritis para jenderal dan tokoh nasional. Dibutuhkan orang-orang yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintahan layaknya Jenderal Besar AH Nasution, dan Letjen Marinir Ali Sadikin. Di KAMI ada pula Jenderal Gatot Nurmantyo. Terlepas apa motif di belakangnya, setidaknya publik berharap ada yang berani mengambil sikap sebagai oposisi terhadap pemerintah.

Mengapa perlu ada oposisi terhadap pemerintah? Mari kita lihat pada masa pemerintahan Joko Widodo jilid kedua pada 2019-2024. Pada awal pembentukan kabinet, publik dibuat terkejut saat Presiden Jokowi menggandeng Partai Gerindra dalam koalisi pemerintahan.

Di sini Presiden Jokowi menunjukkan pandangan politik yang kontradiktif. Seolah-olah demokrasi Indonesia mengharamkan pelembagaan oposisi.

Oposisi kembali tereduksi, hanya menyisakan Demokrat, PKS, dan PAN dengan kekuatan politik di parlemen hanya mencapai 148 kursi. Tidak berimbang dengan koalisi pemerintah yang sudah menyentuh 427 kursi dalam parlemen. Bahkan pada 2019 sudah ada tanda-tanda PAN tak akan tahan menjadi oposisi. Betul saja pada 2021, PAN sudah masuk dalam koalisi pemerintahannya Jokowi. Sehingga oposisi hanya menyisakan Demokrat dan PKS.

Jadi reduksi terhadap oposisi juga terjadi pada rezim Jokowi. Sama seperti era Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno dan Orde Baru Presiden Soeharto.

Ketika masa Sukarno dan Soeharto, reduksi oposisi mempunyai tendensi spesifik mengarah pada koersi dengan intervensi langsung terhadap berbagai pihak. Sehingga kekuatan oposisi semakin terfragmentasi dalam berbagai unit terkecil yang tidak memiliki daya tekan terhadap pemerintah.

Berbeda dengan rezim Jokowi, reduksi oposisi ditampilkan dalam pola kooptasi. Menempatkan mantan lawan politik dalam kabinet sebagai implikasi transaksi non-pragmatik. Setelah itu barulah intervensi secara sembunyi agar tidak terlihat cawe-cawe terhadap sejumlah partai politik.

Padahal pelembagaan oposisi merupakan ruh dari demokrasi. Mestinya partai politik yang kalah dalam pemilu harus mempunyai resistensi dalam menghadapi kekuatan kooptasi penguasa. Mereka harus menjaga jarak, seperti juga media massa dan kaum akademisi. Objek liputan pers maupun penelitian dan kajian kaum akademisi adalah kekuasaan. Menjadi kontrol sosial atau anjing penjaga demokrasi.

Partai oposisi yang mendapatkan suaka dari penguasa akan menjadi partai yang kehilangan kebebasan, mereka harus memakai topeng kekuasaan yang dikehendaki pemerintah. Di sinilah kita membutuhkan kehadiran KAMI untuk memainkan lakon sebagai oposisi.

Oposisi menjadi salah satu sarana bagi masyarakat dalam membangun konstruksi dasar bagi demokrasi. Dalam realitas politik, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi.

Pemerintah seperti itu sesungguhnya justru lebih dekat dengan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis. Indonesia, sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi, hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat.

Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus tetap diupayakan. Capaian itu bisa diukur dari beberapa indikator, seperti: Kebebasan Sipil (Civil Liberty); Hak-Hak Politik (Political Right); dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).

KAMI yang berisi para intelektual dan tokoh nasional juga harus mengawal setidaknya lima aspek agar Indeks Demokrasi Indonesia tidak semakin turun. Pertama; rasa aman dan nyaman di lingkungan masyarakat untuk mempunyai kebebasan dalam berkumpul, berpendapat dan berkeyakinan.

Kedua; masih banyaknya demonstrasi maupun pemogokan yang dilakukan dengan kekerasan. Ketiga; rendahnya peran partai politik. Keempat; rendahnya peran peradilan sehingga masih terjadi penghentian penyelidikan yang kontroversial.

Kelima; banyaknya kritik dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokrasi yang membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh terhadap kebijakan yang ditetapkan.

Terakhir. Selamat ulang tahun ketiga bagi KAMI. Teruslah membangun kesadaran masyarakat akan arti oposisi. Hal ini penting agar muncul kesadaran yang lebih tepat dan kualitas demokrasi di Indonesia semakin membaik.

Salam Kebangsaan. (*)