Presiden Limbung Negara Sakit

Terlalu nestapa suasana sakral dijadikan ajang hura-hura dan ditandai pidato norak yang terkesan tidak menghormati suana sakral yang harus diperingati dengan suasana hidmat, ketika di malam hari hampir semua rakyat di kampung kampung telah melakukan peringatan dengan sakral.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PRESIDEN Joko Widodo apakah sedang mengalami sindrom narsisistik megalomania? Terekam dan terbaca dalam pidato kenegaraan seperti merasa kebijakan negara saat ini sudah benar serta mengaku diri sebagai satu-satunya penyelamat bangsa dan negara.

Ketika keadaan terus memburuk – lebih buruk dari jaman penjajahan, seharusnya sebagai presiden malu kepada rakyat yang masih hidup serba susah dan miskin. Dan, bahkan saat ini terasa negara masuk dalam sistem penjajahan gaya baru.

Bagaimana mungkin seorang pembohong akan bicara tentang peradaban, keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Negara dalam kondisi gelap menjadi permainan para bandit, bandar, badut politik dan ekonomi. Negara hidup dikendalikan para taipan oligarki dan terjadinya kerakusan korupsi tanpa kendali.

Kekuatan asing bebas menguasai kekayaan alam sementara negara hidup dari hutang yang terus menumpuk dan makin membesar.

Kuat dugaan presiden sedang sakit, tidak lagi bisa menguasai diri, mengerti dan merasakan bahwa pidato kenegaraan didengar oleh seluruh masyarakat Indonesia, dan bahkan dalam dan luar negeri.

Sebagian masyarakat sampai pada kesimpulan, sebagian isi pidato kenegaraan hanya ilusi yang diperparah dengan watak lama pidato pencitraan. Dianggapnya bahwa dia masih memiliki magis menyulap sebagai orang sederhana, suci, membawa aura kebenaran dengan pidato ecek-ecek seperti orang sakit.

Sebagai rakyat jelata apa salah kalau menyarankan presiden segera periksa diri kepada psikolog apakah kira-kira sedang menderita narsisistik megalomania. Kalau iya ini bisa membawa bahaya yang luar biasa

Suasana perayaan HUT ke-77 RI tahun lalu di Istana Merdeka terjadi peristiwa aneh suasana sakral berubah menjadi jogedan oleh beberapa pejabat negara, berjingkrak-jingkrak seperti dasa dengan nyanyian "Gede Roso – Wong Edan Ojo Didandingke".

Tahun ini muncul kembali suasana sakral ditenggelamkan jogedan dengan lagu jauh dari suasana perjuangan. Munculnya lagu "Rungkad" dengan berbagai macam penafsiran, maka rakyat spontan menduga-duga ada maksud lain berbau norak.

Dalam lagu, kata rungkad digunakan untuk menggambarkan liriknya yang penuh kekecewaan, sakit hati, dan penyesalan. Jadi, apa sih sebenarnya, artinya rungkad? Kata "rungkad" dalam bahasa Sunda berarti runtuh, roboh, tumbang, ambruk, hancur, dan tercerabut sampai akarnya.

Rentetan peristiwanya berbarengan setelah presiden tidak memperhatikan kaidah muatan berapa pentingnya pidato kenegaraan menjadi ajang keluh-kesah karena kerap dihina dibilang bodoh, tolol hingga plonga-plongo.

Terlalu nestapa suasana sakral dijadikan ajang hura-hura dan ditandai pidato norak yang terkesan tidak menghormati suana sakral yang harus diperingati dengan suasana hidmat, ketika di malam hari hampir semua rakyat di kampung kampung telah melakukan peringatan dengan sakral.

Tidak maksud mengurangi rasa hormat sebaiknya presiden dengan para pembantunya yang telah melakukan perbuatan norak segera tes sedang mengalami sindrom narsistik. Tentu dengan harapan semua dalam keadaan sehat dan normal. (*)