Rempang: Sebuah Catatan Buram Kekerasan Negara Terhadap Anak

Rakyat Rempang kini mulai melawan, anak-anak pun sudah mulai menampakkan wajah kebencian terhadap perilaku kekerasan aparat terhadap bapak, ibu, dan kerabat mereka. Jangan biarkan anak-anak ini tersemai dendam akibat perlakuan negara yang salah.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademsii, Ketua ICMI Jatim Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan

PULAU Rempang, Batam, merupakan sebuah pulau yang tenang dan damai. Pulau ini dihuni oleh sekitar 50.000 orang, yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Rempang adalah rumpun Bangsa Melayu. Kehidupan masyarakat di Rempang masih terbilang sederhana. Namun, mereka hidup rukun dan saling membantu.

Warga Rempang juga dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan terbuka. Dengan suasana dan lingkungan yang dikelilingi oleh laut yang jernih dan pantai yang berpasir putih, Rempang adalah “surga” yang tersembunyi.

Keindahan alam yang bagaikan surga, terasa semakin lengkap dengan kekayaan alam yang dimiliki. Konon berdasarkan hasil penelitian, Rempang memiliki kandungan kekayaan alam yang beragam di antaranya perairan yang jernih dan dikelilingi oleh pasir putih. Rempang sangat menggiurkan untuk dikembangkan sebagai wisata bahari.

Tanahnya yang subur, cocok untuk pertanian dan perkebunan. Di Rempang terdapat berbagai jenis tanaman, seperti padi, jagung, sayuran, dan buah-buahan. Selain itu, Pulau Rempang juga memiliki hutan yang masih relatif lestari. Hutan di sekitar Rempang memiliki potensi untuk pengembangan wisata alam.

Kandungan alam yang dimiliki, berdasarkan hasil penelitian, Rempang memiliki potensi mineral, seperti batubara, pasir, dan batu gamping. Kekayaan perairan di antaranya adalah ikan: tongkol, cakalang, kerapu, rumput laut, mangrove, dan lain-lain.

Sedangkan daratan yang banyak dijadikan lahan pertanian dan hutannya mengandung kekayaan tanaman seperti Padi, Jagung, Sayuran, Buah-buahan, Pohon bakau, Pohon kelapa, Pohon nipah, Pohon meranti. Kandungan alam di sekitar Rempang juga memiliki potensi untuk pengembangan ekonomi dan pariwisata.

Namun, pengembangan itu harus dilakukan secara berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian lingkungan, serta kesejahteraan masyarakat setempat.

Prahara mengusik ketenangan mereka, termasuk di dalamnya anak-anak. Pada 7 September 2023, suasana di Rempang berubah drastis. Tampak ratusan aparat keamanan dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP mendatangi Rempang, melakukan pengukuran lahan untuk proyek Rempang Eco City.

Kedatangan aparat keamanan ini disambut dengan penolakan dari warga Rempang. Warga Rempang menolak untuk digusur dari tanah mereka. Penolakan warga Rempang ini kemudian berujung pada bentrokan antara warga dengan aparat keamanan. Dalam bentrokan itu, beberapa warga dan aparat keamanan mengalami luka-luka. Kejadian ini menimbulkan kepanikan. Warga Rempang khawatir akan kehilangan tanah dan tempat tinggal mereka.

Menurut data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Riau, pada tahun 2023 terdapat sekitar 30.000 anak di Pulau Rempang, Batam. Dari jumlah tersebut, sekitar 22.000 anak bersekolah, yang tersebar di jenjang pendidikan SD sebanyak 14.000 anak, SMP 5.000 anak, dan SMA 3.000 anak. Ada sekitar 8.000 anak yang belum bersekolah.

Masih berdasar data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Riau, pada tahun 2023 terdapat 1.200 anak di Pulau Rempang, Batam, yang mengalami penelantaran pendidikan. Angka ini terdiri dari anak-anak yang tidak bersekolah, anak-anak yang putus sekolah, dan anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sebuah Ironi

Sebagai negara yang sudah merdeka selama 78 tahun, pemerintah mempunyai mandate konstitusi sebagaimana diatur dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan, menciptakan perdamaian, ketertiban dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bahkan, sejak tahun 1990 Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA), 26 Januari 1990. Ratifikasi ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. KHA adalah sebuah perjanjian hak asasi manusia (HAM) yang menjamin hak-hak anak. KHA terdiri dari 54 pasal yang mengatur tentang hak anak dalam berbagai bidang, seperti hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, hak pendidikan, dan hak partisipasi.

Ratatifikasi KHA oleh Indonesia merupakan komitmen pemerintah untuk melindungi hak-hak anak di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi komitmen itu, antara lain:

Mengadopsi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Mendirikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Membangun berbagai lembaga perlindungan anak di tingkat pusat dan daerah; Meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang hak anak.

Namun sayangnya jumlah kekerasan terhadap anak tak kunjung menurun, bahkan pada tahun 2022, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, pada 2022 terdapat 5.282 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan.

Angka ini terdiri dari berbagai bentuk kekerasan, seperti: Kekerasan fisik, yaitu tindakan yang menimbulkan cedera atau kerusakan fisik pada anak, antara lain memukul, menampar, menendang, mengikat, dan lain-lain; Kekerasan emosional, yaitu tindakan yang menyebabkan anak merasa tertekan, takut, atau malu, seperti menghina, memarahi, mengancam, dan lain-lain;

Kekerasan seksual, yaitu tindakan yang mengeksploitasi anak secara seksual, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain-lain; Penelantaran, yaitu tindakan yang dengan tidak memberikan kebutuhan dasar anak, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan lain-lain.

Dari jumlah tersebut, 3.746 kasus merupakan kekerasan fisik, 4.162 kasus merupakan kekerasan emosional, 9.588 kasus merupakan kekerasan seksual, dan 1.269 kasus merupakan penelantaran.

Pembangunan, Mengutamakan Pertumbuhan

Karakter pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan adalah karakter pembangunan yang berfokus pada peningkatan output dan produktivitas ekonomi. Pembangunan jenis ini menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai tujuan utama pembangunan.

Karakter pembangunan ini lebih menekankan pada pendekatan Neo Kapitalistik. Pendekatan ini menekankan pada peran pasar dan perusahaan swasta dalam perekonomian, tetapi juga mengakui pentingnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi pasar. Karakter pembangunan ini lebih menekankan pada: Kepemilikan swasta.

Sumber daya ekonomi dikuasai oleh individu atau perusahaan swasta. Jadi pasar bebas. Harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Persaingan. Perusahaan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan.

Efisiensi. Perusahaan berusaha untuk meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan. Juga, Inovasi. Perusahaan berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan untuk menciptakan produk dan layanan baru. Sehingga berdampak pada adanya Efisiensi. Pasar bebas dapat mendorong perusahaan untuk menjadi lebih efisien dalam produksi dan distribusi barang dan jasa.

Pertumbuhan ekonomi. Persaingan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui inovasi dan ekspansi. Kemajuan teknologi. Inovasi dapat meningkatkan standar hidup masyarakat.

Namun, sayangnya pendekatan ekonomi neo-kapitalistik di Rempang melupakan aspek-aspek yang ternyata menimbulkan kesengsaraan masyarakat antara lain, di tengah kondisi sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat, pembangunan yang dilakukan melupakan itu semua, sehingga yang terjadi adalah ketimpangan.

Pasar bebas bisa menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan. Ketidakstabilan. Pasar bebas dapat rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Dampak lingkungan. Kegiatan ekonomi juga bisa berdampak negatif terhadap lingkungan, serta tidak aka ada keberlanjutan, karena bersifat jangka pendek.

Pembangunan Seharusnya Menyejahterakan

Kejadian pengusiran warga oleh aparat telah mengubah suasana Rempang menjadi lebih tegang dan mencekam. Warga Rempang masih menunggu kepastian nasib mereka.

Ada baiknya sebelum korban berjatuhan, pemerintah tidak malah menambah kegaduhan dan situasi yang mencekam sebagaimana yang disampaikan Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto dan menteri Menteri Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang hanya melihat pada kepentingan legalitas tanah tanpa memperdulikan aspek masyarakat adat yang sudah mendiami selama turun temurun.

Pembangunan seharusnya menyejahterakan rakyat, bukan hanya mensejahterkan pemilik modal dengan segala kepentingannya, bukankah negara ini merdeka karena berharap rakyatnya bisa sejahtera? Apalagi di sana ada anak-anak yang nerupakan pewaris masa depan bangsa ini. Ke mana lagi mereka akan mengadu kalau negara sendiri menjadi pelaku kekerasan terhadapnya?

Rakyat Rempang kini mulai melawan, anak-anak pun sudah mulai menampakkan wajah kebencian terhadap perilaku kekerasan aparat terhadap bapak, ibu, dan kerabat mereka. Jangan biarkan anak-anak ini tersemai dendam akibat perlakuan negara yang salah.

Terakhir, saya melalui tulisan ini ada baiknya pemerintah menahan diri, aparat ditarik mundur, dan pemerintah melakukan dialog dengan mereka. Masyarakat Rempang adalah masyarakat yang baik, mereka tak pernah berbuat aneh-aneh, tapi jangan pernah usik mereka, dengan mencabut mereka dari tanah leluhurnya, baginya upaya paksa memindahkan dari tanah leluhur adalah sebuah sikap penjajah yang harus dilawan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang mereka bangsa Melayu. Mereka akan melawan penjajah yang mengusik mereka dari tanah kelahirannya. Mereka akan lindungi perempuan dan anak-anak mereka. Oleh karenanya hentikan kekerasan terhadap anak di Rempang! (*)