Rintihan Seorang Anak: Hancurnya Pendidikan di Indonesia

Keluguan anak tersebut sangat mendalam "dengarkan apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan". Pidato seorang presiden, pemimpin partai, seorang tokoh besar, isinya justru hanya ngibul, berbohong dan menyesatkan masyarakat.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PENDIDIKAN itu nyawa bagi suatu bangsa. Sebagian petinggi negara ini justru berpikir kalau pendidikan itu tidak penting. Mungkin dalam pikirannya bahwa pendidikan itu tidak menghasilkan profit, kekayaan atau ini disengaja dilakukan oleh penjajah gaya baru saat ini.

Proses pendidikan justru dijadikan alat kepentingan politik kekuasaan semata. Lepas dalam benak pikirannya bahwa pendidikan akan menentukan kualitas suatu bangsa, dan nasib bangsa ini akan terbentuk baik atau buruk

Pendidikan adalah aset jangka panjang yang efeknya bukan hanya untuk dirasakan saat ini. Pendidikan berpengaruh pada cara pandang/cara berpikir seseorang terhadap banyak hal yang terjadi dalam hidup.

Pendidikan yang sukses akan menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berpikir jauh ke depan. Mampu melihat berbagai prospek baik dari segala kemungkinan dan kesempatan, berpikiran terbuka, dan adaptif terhadap perubahan.

Pendidikan yang baik juga akan menghasilkan manusia yang bijak, cerdas dalam sikap hidupnya, serta toleran dalam kuatnya karakter dan idealismenya.

Tiba-tiba kita dikejutkan tampilnya seorang anak perempuan di media sosial yang mencurahkan isi hatinya tentang kekecewaannya terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Mungkin karena sudah merasakan betapa pendidikan di Indonesia benar-benar sudah diinjak-injak, dianggap sampah dan diabaikannya.

Semua sudah tercebur dan tergilas di alam pragmatis, hedonis, kapitalis, individualis dan sikap i. Bahkan terus-menerus dipertontonkan dengan vulgar oleh para pemimpin dan politisi kita.

Anak perempuan kecil itu dengan bertutur urut mencurahkan isi hatinya, begitu fasih memberikan gambaran perilaku para pemimpin dan politisi yang sudah liar, bahwa:

Para pemilik stasiun TV tidak banyak menggunakan kuasanya sebagai media mendidik masyarakat, justru terus-terusan memertontonkan apa saja yang menghasilkan profit bagi mereka. Seperti drama percintaan, perselingkuhan, dendam, dan pertikaian, acara gosip dari pagi, siang, dan malam. Apa yang bisa dipelajari anak-anak kita dari semua itu? Persentase tontonan edukatif dan yang non edukatif jauh tertinggal.

Memertunjukkan kebohongan dan kepentingan partainya masing-masing. Mereka tidak peduli apakah mereka menjadi tokoh publik yang pantas dilihat dan ditiru. Yang penting agenda mereka tetap berjalan, elektabilitasnya naik dan terpilih pada tahun-tahun mendatang.

Banyak pejabat pemerintah dan pejabat publik yang menjadi koruptor. Namun, sama sekali tidak memperlihatkan rasa malu, mereka tidak berpikir dan tidak sadar bahwa, yang dilakukannya bisa menghancurkan generasi ini dan generasi mendatang.

Lebih banyak public figure memilih untuk memamerkan lamborghini, barang-barang bermerek, dan memerlihatkan harta-hartanya, mereka tidak mau menyuarakan tentang pentingnya pendidikan dan menggunakan ketenaran untuk memperbaiki negerinya. Hasilnya generasi kita berlomba menjadi viral, terkenal, dan kaya saja.

Karena, selama ini masih banyak orang tua berpikir bahwa kewajiban mereka menjadikan anaknya berpendidikan dan menjadi manusia yang luhur cukup dengan mengantar dan menjemput anak mereka dari sekolah saja.

Keluguan anak tersebut sangat mendalam "dengarkan apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan". Pidato seorang presiden, pemimpin partai, seorang tokoh besar, isinya justru hanya ngibul, berbohong dan menyesatkan masyarakat.

Keluhan anak tersebut adalah gambaran hancurnya proses pendidikan di Indonesia dan negara sedang menuju arah yang salah dan menyesatkan. (*)