Bahaya dan Buruknya Demokrasi Manipulatif
Solusinya tentu tidak ada selain kembali lagi kepada rakyat itu sendiri. Apakah akan terus diam, dan berdamai dengan penderitaannya? Apakah tetap diam ketika negara ini sudah sekarat dijarah, dirampok, dijual dengan murah kepada sekelompok elit semata?
Oleh: Anton Permana, Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute
DEMOKRASI yang sejatinya berasal dari kata “demos” (suara) dan “cratos” (rakyat) adalah konsepsi bernegara sebagai antitesa dari sistem monarki absolut dan diktatorian otoriter. Perbedaannya yaitu pada pendistribusian kekuasaan.
Dalam monarki absolute dan diktatorianisme, kekuasaanya bersifat tunggal, private/elite dan terpusat, namun pada sistem demokrasi pendistribusian kekuasaan itu dibagi dalam tiga rumpun (bidang) yaitu: Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif yang lazim kita sebut dengan Trias Politika.
Sedangkan Trias Politika ini, dibentuk berdasarkan proses politik negara yang bersumberkan pada “kehendak mayoritas rakyat” melalui Pemilihan Umum dan proses rekruitmen karier. Dimana sebuah kepemimpinan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan proses politik praktis dan organisasi negara pelaksanaannya berdasarkan politik negara sesuai amanat konstitusi.
Demokrasi sebagai antitesa kekuasaan absolute/private dalam konteks global banyak melahirkan negara berbentuk Republik. Dimana “re” dan “publik” mengisyaratkan bahwa ada kekuasaan yang diberikan kepada “publik/public” bukan lagi “private”.
Namun mirisnya, secara faktual empiris, kontestasi dalam proses politik di dalam sebuah negara, kadangkala kalah oleh design kekuatan “invisible hand” yang konsisten selalu ingin menjadi pemegang tunggal kekuatan hegemoni yang dominan dalam mengendalikan dunia global. Alias elit global atau elite minority.
Buktinya, banyak negara yang meski sudah puluhan tahun merdeka, ketika menjalankan demokrasi justru menjadi negara “bebek lumpuh”. Kemajuan yang didapatkan, justru terdistribusi hanya pada sekelompok elit semata. Kesejahteraan masyarakat di mana negara seharusnya menjadi “walfare state” (negara kesejahteraan), menjadi jauh dari harapan nyata. Negara di balik menjadi alat instrumen kekuasaan para kelompok elit.
Instrumentasi politik demokrasi, melalui proses “social engineering” (rekayasa sosial) yang seharusnya berkedaulatan rakyat dengan mudah berubah menjadi berkedaulatan partai politik. Sedangkan untuk penunjukkan seorang pimpinan partai politik, mesti “berselingkuh” dengan penguasa dan para cukong. Sebagai sponsorshipnya.
Tidak saja hanya sampai di situ, para politisi (produk partai politik) yang seharusnya hadir sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat di legislatif, terpaksa harus tunduk dan patuh kepada pimpinan partai politik. Karena pimpinan partai politik mempunyai kewenangan untuk “me-recall” atau melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap kadernya yang duduk di legislatif.
Artinya, rumpun antara eksekutif dan legistalitif sudah bukan sebagai mitra “check and balance” lagi, namun sudah berkulindan dalam rumpun kepentingan yang sama. Lalu bagaimana dengan rumpun eksekutif ? Hampir sama nasibnya. Ketika rumpun eksekutif dalam proses rekruitmennya melalui kekuasaan presidensial yang dibuat oleh legislatif, secara perlahan namun pasti, terkontaminasi oleh proses politik pragmatis dan praktis.
Buktinya, seorang Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan secara tunggal dan kolektif para calon Kapolri, Panglima TNI, Kejaksaan Agung, bahkan para Hakim MA dan MK. Dimana, pihak legislatif hanya ibarat stempel kosong karena apapun keputusannya sudah pasti berdasarkan perintah pimpinan partai politiknya.
Nah ketika tiga rumpun Trias Politika ini lumpuh, maka demokrasi yang berjalan di sebuah negara tersebut boleh dikatakan dengan istilah demokrasi manipulatif. Karena kekuasaan suara rakyat hanya termanifestasi dalam bentuk euphoria Pemilu semata, alias jadi objek bukan subjek politik.
Bagaimana suara rakyat akan berdaulat pada negara, sedangkan pemerintahannya hanya dikendalikan oleh sekelompok elit politik yang mencengkram kuat masing rumpun Trias Politika sebagai mesin utama demokrasi.
Misalnya, seorang Presiden satu kelompok politik dengan pimpinan legislatif dan menguasai mayoritas kursi di dalamnya. Dan dengan kekuasaannya bersekutu untuk menempatkan orang-orang “dalamnya” menjabat di posisi strategis jabatan yudikatif.
Atau lebih konkritnya lagi sebagai contoh yang sedang terjadi saat ini pada negara kita. Ketika Presidennya dengan pimpinan legislatif satu kelompok partai politik, lalu untuk Kapolri dan Panglima TNI nya adalah diambil dari para mantan Sespri Presiden, kemudian untuk para hakimnya dari saudara ipar, dan pejabat di Kejaksaan Agung dan jajarannya adalah hasil penunjukan dari kerabat tokoh partai politik penguasa.
Bagaimana masyarakat dan kekuatan civil society akan percaya kepada integritas penyelenggara pemerintahan hari ini yang dipimpin Joko Widodo? Ditambah perilaku otoritarianisme antikritik dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, menjadikan gaya kepemimpinan Joko Widodo saat ini mirip fasisme diktatorian.
Buktinya, tak terhitung berapa banyak para tokoh, ulama, aktivis yang dipenjarakan secara sewenang-wenang hanya karena perbedaan pendapat dan berasal dari satu kelompok agama tertentu yang kritis pada pemerintahannya.
Reformasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh para mahasiswa dan aktivis 1998, saat ini dikangkangi dan dikhianati Joko Widodo bersama keluarganya. Faktanya lagi, permasalahan KKN, anti perbedaan dan krisis kedaulatan akan sumber daya negara semakin parah dan rusak dalam pemerintahan saat ini, menurut para ahli seperti Begawan Ekonomi Rizal Ramli, Faisal Basri, bahkan mantan ketua KPK Agus Rahardjo.
Ini semua terjadi tentu saja akibat, keberhasilan seorang Joko Widodo bersama antek-anteknya mengkonsolidasi kekuasaan rumpun Trias Politika menjadi tersentralistik kembali di bawah ketiak istana. Ada yang berani melawan? Maka akan dimutasi dan dibongkar dosa-dosanya terdahulu melalui tangan aparat hukum.
Inilah hasil dari sebuah kamuflase negara otokrasi berbaju demokrasi manipulatif. Tampilan seolah berdemokrasi, padahal negara sudah di kuasai oligarki melalui para proxy-nya.
Akan lebih parah lagi dalam hal Pilpres saat ini. Seorang anak Presiden dengan mudah lenggang kangkung menabrak benteng sakral konstitusi, untuk bisa maju sebagai Cawapres.
Belum lagi mutasi besar-besaran di tubuh TNI/Polri, Kementrian, yang tentu saja hal ini wajar menjadi kecurigaan besar bahwa sebuah skenario akan terjadinya intervensi kekuasaan dalam proses Pemilu di tahun 2024 nanti dari sekarang.
Belum lagi dalam hal perekrutan KPU, KPUD, Panwaslu, seluruh Indonesia, plus penunjukan Pj kepala daerah sebanyak 272 di seluruh Indonesia yang tendensius dan juga bertentangan dengan konstitusi serta azas hukum otonomi daerah.
Beginilah dampak buruk dari sebuah negara apabila sudah dikuasai oleh sekelompok elit kekusaan yang ambisius dan rakus. Jangan harap akan ada kepentingan rakyat di dalam dada mereka. Kepentingan rakyat hanya jadi bahasa lip service masa kampanye. Rakyat hanya jadi objek pencitraan manipulasi.
Solusinya tentu tidak ada selain kembali lagi kepada rakyat itu sendiri. Apakah akan terus diam, dan berdamai dengan penderitaannya? Apakah tetap diam ketika negara ini sudah sekarat dijarah, dirampok, dijual dengan murah kepada sekelompok elit semata?
Atau bersama bangkit berdiri melawan dan bersatu, secara konkrit melalui hak suaranya memilih pemimpin yang jauh dari lingkar kekuasaan hari ini dan senantiasa mengawasi prosesnya, agar negeri yang indah dan kaya raya ini memang menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi kita, Pancasila dan UUD 1945. Insya’ Allah. (*)