Catatan Debat Kedua Cawapres Segmen Dua, Prioritas Anggaran (3)

Tanggapan Gibran kepada Cak Imin sangat menyedihkan. Gibran menyindir Cak Imin tidak konsiten, dulu mendukung IKN tapi sekarang tidak. Jawaban tidak bermakna seperti ini tidak perlu dipertontonkan kepada publik pada saat debat cawapres.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

MASIH segmen kedua debat cawapres, Jum’at (22/12/2023).

Pertanyaan terakhir pada segmen kedua ditujukan kepada Gibran Rakabuming Raka, tentang Keuangan, Pajak dan tata kelola APBN dan APBD, dengan subtema infrastruktur. Hanya satu per tiga APBN dapat digunakan untuk membiayai pembangunan.

Sedangkan janji kerja program paslon memerlukan biaya tinggi. Pertanyaannya, mana yang menjadi pilihan prioritas anggaran: pembangunan infrastruktur fisik atau pembangunan kualitas SDM dan ekonomi rakyat.

Gibran menjawab panjang lebar. Pertama, pembangunan (infrastruktur) tidak harus dibiayai APBN, dengan mencontohkan IKN. Katanya, hanya 20 persen dari total biaya pembangunan IKN tersebut menggunakan APBN. Sisanya dari investasi swasta dalam dan luar negeri.

Gibran menambahkan, pembangunan infrastruktur fisik juga bisa dari swasta, atau CSR (maksudnya “sumbangan” perusahaan). Gibran juga mengatakan, akan meningkatkan penerimaan APBN, menaikkan tax ratio (rasio pajak), untuk membiayai pendidikan, kesehatan dan lainnya. Untuk itu, akan dibentuk Badan Penerimaan Negara yang langsung di bawah presiden.

Jawaban Gibran menunjukkan yang bersangkutan tidak mengerti pertanyaan dan permasalahan.

Pertama, selama dua menit Gibran hanya menyampaikan jawaban ngalor-ngidul, melancong ke mana-mana, tanpa menjawab substansi pertanyaan yang sangat sederhana, yaitu pilihan prioritas anggaran: apakah pembangunan infrastruktur fisik atau kualitas SDM dan ekonomi rakyat.

Pertanyaan pilihan prioritas anggaran ini sangat penting. Karena permasalahan ekonomi selalu terkait pengalokasian sumber daya yang terbatas (scarce resources). Dan APBN tentu saja merupakan sumber daya yang sangat terbatas, sehingga perlu ada pilihan prioritas belanja APBN, yang pada gilirannya akan menunjukkan politik anggaran keberpihakan: infrastruktur fisik atau meningkatkan kualitas SDM dan ekonomi rakyat?

Kedua, Gibran hanya bicara hal yang sudah menjadi pengetahuan umum, dan itupun salah. Gibran menegaskan beberapa kali, pembangunan infrastruktur fisik tidak selalu harus dibiayai APBN. Ini penjelasan yang ngawur. Karena, belanja APBN hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik non-komersial, seperti jalan, jembatan, irigasi, bendungan, di mana swasta tidak mungkin membiayai pembangunan infrastruktur fisik non-komersial, atau tidak berbayar, tersebut.

Swasta hanya mau membangun infrastruktur fisik komersial seperti gedung perkantoran, perumahan, jalan tol, dan proyek komersial lainnya. Tetapi, Infrastruktur komersial seperti itu bukan yang dimaksud pertanyaan prioritas anggaran APBN.

Karena itu, jawaban Gibran menunjukkan yang bersangkutan tidak paham peran APBN dalam pembangunan infrastruktur fisik komersial versus non-komersial.

Ketiga, Gibran menekankan akan meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Ini merupakan jawaban blunder besar. Terkesan, kalau tax ratio tidak naik maka berarti tidak ada anggaran pendidikan dan kesehatan?

Lagi-lagi, Gibran mencoba menjelaskan banyak hal, tetapi tidak relevan dan terkesan asal bicara: Kenaikan penerimaan pajak tidak ada relevansinya dengan prioritas anggaran!

Artinya, tax ratio naik berapapun, permasalahan APBN tetap sama, sebagai sumber daya terbatas yang memerlukan prioritas alokasi penggunaan anggaran: untuk pembangunan infrastruktur fisik versus pembangunan kualitas SDM dan ekonomi rakyat.

Keempat, pernyataan Gibran menaikkan tax ratio harus dielaborasi lebih dalam, bagaimana cara menaikkan rasio pajak? Kalau hanya bicara saja memang sangat mudah. Setiap orang bisa. Sama seperti Joko Widodo. Waktu mau memberlakukan tax amnesty, Jokowi juga bilang, rasio pajak akan naik menjadi 14,6 persen pada 2019. Kenyataannya, rasio pajak turun dari 10,7 persen (2015) menjadi 9,8 persen (2019). Apakah pernyataan Gibran ini akan mengulang pernyataan Jokowi, yang asal janji saja?

Dalam tanggapannya, Mahfud MD menyoroti pembiayaan IKN yang disampaikan Gibran. Mahfud minta Gibran menjelaskan lebih lanjut, investor mana yang sudah investasi di IKN. Menurut Mahfud, belum ada investor swasta yang sudah merealisasikan investasi di IKN, apalagi asing.

Tanggapan Mahfud sebenarnya juga kurang relevan. Yang perlu disoroti seharusnya, berapa besar anggaran APBN yang sudah dikeluarkan untuk IKN, berapa besar dalam persentase dari total pembangunan infrastruktur fisik, dan dari anggaran pembangunan SDM dan ekonomi rakyat.

Kemudian Cak Imin (Muhaimin Iskandar) menanggapi. Sangat bagus. Cak Imin perlu dikasih kredit pada sesi ini. Cak Imin mengembalikan diskusi ke inti pertanyaan, yaitu prioritas anggaran. Cak Imin menegaskan, dalam alokasi anggaran yang terpenting adalah bisa membaca prioritas kebutuhan infrastruktur, yang kemudian akan menentukan prioritas anggaran. Sangat masuk akal. Luar biasa.

Tanggapan Gibran kepada Cak Imin sangat menyedihkan. Gibran menyindir Cak Imin tidak konsiten, dulu mendukung IKN tapi sekarang tidak. Jawaban tidak bermakna seperti ini tidak perlu dipertontonkan kepada publik pada saat debat cawapres.

Mungkin cukup di warung kopi. Karena tidak ada relevansi dengan pertanyaan sesi ini dan dengan jawaban Cak Imin.

Gibran kemudian menambahkan bahwa pembangunan IKN bukan hanya membangun bangunan pemerintah tetapi juga sebagai simbol pemerataan pembangunan. Lagi-lagi, Gibran offside.

Bukan menjawab prioritas anggaran APBN, tetapi klaim “pemerataan pembangunan” yang pasti akan menjadi debat panjang. Seperti klaim Jokowi, tax ratio akan naik menjadi 14,6 persen, tetapi tidak pernah terbukti.

Kesimpulannya, jawaban Gibran tidak bermakna, dan tidak menjawab permasalahan “prioritas anggaran” yang menjadi inti pertanyaan terakhir dari segmen kedua ini. (*)