Dari Diskusi Kominfo: "AI, Sebuah Keniscayaan"
Kesimpulannya, AI adalah Keniscayaan yang harus dihadapi manusia dan terjadi sesuai dengan Perkembangan teknologi itu sendiri, di mana pada era Society 5.0 semuanya terjadi, mulai dari era Robot, IoT (Internet of Thing), hingga AI (Artificial Intelligence).
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika dan Multimedia Independen, Dewan Pakar Penyusun UU ITE
SENIN Siang (29/1/2024) saya menghadiri Forum Diskusi Media yang diselenggarakan Museum Pers Nasional dalam Rangka HPN tahun 2024 di Hotel Grand Sahid. Acara yang menghadirkan DirJen IKP Kominfo Usman Kansong, Ninuk Pambudy dari Kompas, Dahlan Dani Tribun, Wahyu Dhyatmika Tempo, dan Agus Sudibyo Dewas TVRI yang dimoderatori oleh Prita Laura tersebut mendiskusikan topik "AI (Artificial Intelligence) dan Keberlanjutan Media".
Diskusi yang bisa diikuti juga secara Hybrid melalui YouTube itu berlangsung cukup menarik karena sangat related dengan nasib Media yang saat ini mulai "digempur" dengan Teknologi AI di sana-sini. Bukan hanya ChatGBT yang mulai populer digunakan, tapi Algoritma Teknologi Kecerdasan Buatan/ AI ini mulai "mengambil jatah" posisi dan peran Pekerja Media sesungguhnya dalam melaksanakan tugasnya.
Oleh karena itu ketika saya sebut nama-nama seperti Anya, Devano, Nadira, Sasya, Bhomi dan kawan-kawan yang mana mereka ini adalah Presenter AI yang sekarang sering ditampilkan di salah satu TV swasta dan secara tidak langsung sudah "mengambil alih" tugas Penyiar sesungguhnya, masyarakat mulai terbiasa dengan Naskah yang sebelumnya masih diketik Reporter Berita, namun selanjutnya diolah dengan "Text-to-Voice Synthesizer" dan digeneralisasikan ke Model Penyiar 3, sehingga tampak lancar bisa berbicara seperti Penyiar sesungguhnya.
Tentu ini berbeda dengan teknologi Audio-Feeding yang sering digunakan oleh Presenter sekarang di hampir semua stasiun TV untuk memandu kata-katanya sesuai naskah yang sudah disiapkan, karena meski sempat saya tunjukkan secara langsung bentuk dari "alat canggih" yang bisa dipasang di balik Krah Baju (atau Jaket) yang digunakan agar tidak tampak, tapi kalau sekedar "Neck Bone-conducted Speaker" tersebut masih belum tersambung dengan AI, alias masih bisa dibimbing orang biasa dengan koneksi Bluetooth/WiFi agar kalimat-kalimat Presenter (atau Peserta Debat) tampak "pintar" dalam berkata-kata, padahal dia sebenarnya hanya "dibisikin" alias dipandu dari jauh.
Karena besok-besoknya jika teknologi AI-pun sudah bisa mengambilalih peran pembisik tersebut, maka tidak lagi diperlukan Wireless Receiver (yang dimasukkan dalam "Bantal Kesehatan" alias Pempers 5.0). Dalam diskusi juga terungkap bahwa sekarang sudah mulai digunakan hal tersebut untuk pembuatan sebuah berita, karena cenderung makin memudahkan Redaktur untuk mengolah sebuah pemberitaan dibandingkan dengan masa-masa semuanya masih harus digunakan cara-cara manual atau tradisional.
Saat ini teknologi AI memang sangat memangkas proses atau mekanisme pemberitaan, bahkan dimungkinkan bahwa Redaktur tinggal "mengarahkan" saja berita yang akan dibuat, karena AI bisa "mengisi" redaksi yang harus ditulis tanpa repot-repot lagi menuliskannya.
Meski demikian saat ini mulai muncul kesalahan-kesalahan AI yang ternyata bisa mencuplik data yang meleset, dan bahkan salah orang sebagaimana kasus-kasus di Australia dan Amerika baru-baru ini. Di mana sampai bisa terjadi "berita" yang dibuat ternyata memang terbukti tidak pernah benar-benar terjadi secara Fakta, alias HoaX sesungguhnya yang diproduksi secara otomatis menggunakan AI.
Inilah yang harus segera diantisipasi oleh (Pemerintah) Indonesia, karena ketertinggalan regulasi tentang AI seperti ini bisa jadi sangat merugikan untuk Masyarakat nantinya, karena sebagaimana keterlambatan UU-ITE (2008) kala itu, tapi saat ini meski sudah 3x direvisi malah banyak merugikan masyarakat karena sering salah menerapkannya
Dan, bahkan menjadi "alat penguasa" untuk membungkam pendapat kritis mayarakat. Belum lagi kalau AI digunakan secara nir-etika alias tanpa menggunakan Norma yang ada, misalnya kemarin digunakan untuk kepentingan politik guna "menghidupkan kembali" sosok yang telah Wafat untuk Kampanye Partai dan membuat "Suara Palsu" yang seolah-olah Ketua Partai sedang "memarahi" salah satu Capres yang jelas-jelas HoaX.
Saat ini, menurut DirJen IKP, sedang ada Pembuatan Strategi Nasional 2020-2045 tentang AI yang diusulkan oleh BRIN, yang setidakya ini bisa untuk membuat Keppres khusus untuk mengantisipasi kemajuan AI tersebut dan (kemungkinan) Revisi atas UU yang saat ini belum ada pengaturan soal AI di dalamnya, misalnya UU Hak Cipta di mana di dalamnya banyak soal Copyright dan Publishing right yang bisa terkait dengan penggunaan AI. Intinya memang Negara harus cepat bergerak dan jangan abai karena adanya perkembangan AI yang bisa mengimbas Masyarakat ini.
Kesimpulannya, AI adalah Keniscayaan yang harus dihadapi manusia dan terjadi sesuai dengan Perkembangan teknologi itu sendiri, di mana pada era Society 5.0 semuanya terjadi, mulai dari era Robot, IoT (Internet of Thing), hingga AI (Artificial Intelligence).
AI akan menjadi hal yang disebut "Frienemy" alias Friend sekaligus "Enemy", alias Kawan sekaligus Lawan, di mana sisi positif dan negatif akan bisa terjadi secara bersamaan dan sekaligus dialami oleh manusia. Suka tidak suka pasti akan terjadi, ini "Keniscayaan AI" yang saya sebutkan dalam Acara Diskusi. (*)