Diatas Kereta Kencana Topengku Tergelincir

Tatapan anak-anak yang menyambutku kini terasa menusuk, bukan lagi tanda penghormatan, melainkan pengingat bahwa aku telah gagal. Gagal sebagai pemimpin, dan lebih dari itu, gagal sebagai ayah.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

ESOK, 20 Oktober 2024, mungkin adalah hari yang menyesakkan bagiku, aku harus pulang ke kampung halaman, kini bukan lagi sebagai raja, tapi hanyalah rakyat biasa, yang selama ini aku takutkan. Aku akan kehilangan semua kemewahan yang aku palsukan. Esok dan lusa akan aku jalani hari-hari yang penuh dengan kecemasan.

Betapa tidak, selama hampir 10 tahun aku berkuasa, bahkan mendekati ajal kekuasaanku, aku juga masih berusaha mengakali sistem dengan banyak dalih agar aku bisa melanjutkan kekuasaanku untuk periode yang ketiga.

Segenap daya dan upaya aku kerahkan, para penjilatku, buzzerku, dan orang orang partai yang selama merasakan kenikmatan akan kebejatanku bahu-membahu membantuku. Tapi, ternyata Tuhan dan alam tak berpihak pada kebejatan yang aku bangun.

Esok bagiku adalah hari yang penuh dengan ketidak pastian dan kecemasan akan diriku sendiri, keluargaku dan orang-orang yang selama ini membangun kebejatan bersamaku. Sosok yang aku dukung agar bisa melanggengkan kekuasaanku, kini juga mulai berupaya keluar dari pengaruhku, aku tak tahu apa yang akan dilakukan kepadaku.

Aku duduk di atas kereta kencana, megah dan berkilauan di bawah sinar matahari senja. Hiasan emas melingkari setiap sudut, kain sutra merah berkibar anggun, menyempurnakan ilusi keagungan yang kutata dengan hati-hati.

Di sepanjang jalan, anak-anak dan pelajar berbaris rapi, melambai-lambaikan bendera kecil sambil tersenyum riang. Mereka menyambutku dengan antusias, seolah-olah aku baru saja menorehkan kemenangan gemilang. Tapi mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik parade ini.

Kereta ini, yang seharusnya membawa kejayaan, justru menjadi panggung bagi kepalsuan yang kutanam. Kekuasaan yang dulu kukendalikan dengan angkuh kini mulai retak. Kekalahan telah menjemputku, namun aku terlalu takut untuk menerimanya.

Maka, kuatur pawai ini, parade sorak-sorai dan senyuman anak-anak untuk menutupi kenyataan pahit. Aku ingin dunia percaya bahwa aku masih sang pemenang. Bahwa kekuasaan itu belum lepas dari genggamanku.

Langkah-langkah kecil anak-anak menghampiri kereta, mata mereka berbinar, mengulurkan tangan penuh harapan. Mereka tak tahu bahwa apa yang mereka sambut bukanlah seorang pahlawan, tapi seorang yang ketakutan.

Mereka tak tahu bahwa senyumku, yang terlihat penuh percaya diri, menyembunyikan keresahan dan kebimbangan yang menggerogoti setiap inci keberanianku. Kekalahan bukan sesuatu yang bisa kulawan lagi, aku belum siap melepasnya. Aku masih terjebak dalam ilusi yang kubangun sendiri.

Sorak-sorai itu semakin nyaring, semakin menusuk telingaku. Dulu, suara-suara ini memberiku satu kekuatan. Kini, hanya menyisakan kehampaan. Aku tahu, mereka bersorak untuk bayangan yang mereka lihat, bukan untuk diriku yang sebenarnya.

Di tengah hiruk pikuk itu, aku merasa semakin jauh dari kenyataan, semakin terperangkap dalam kebohongan yang kubangun. Kekalahan semakin mendekat, namun aku (selalu) terus berusaha mempertahankan apa yang sebenarnya sudah hilang.

Kereta itu tetap terus melaju, mendekati pusat kota, tempat segala kemegahan ini akan mencapai puncaknya. Wartawan menunggu di sana, kamera siap menangkap setiap detik dari "kemenangan" yang kurancang.

Mereka akan menulis tentangku, tentang bagaimana aku berdiri kokoh di tengah badai, tentang kejayaan yang kupertahankan dengan gigih. Tapi mereka tak tahu, di balik semua itu, aku hanyalah seseorang yang ketakutan. Seseorang yang bersembunyi di balik topeng kebesaran yang mulai retak.

Lalu, di tengah keramaian, seorang pelajar melangkah maju. Wajahnya bersih, polos, tapi sorot matanya tajam, menembus segala kepalsuan yang ada di sekelilingnya. Dia tak melambai seperti yang lain, tak bersorak. Dia hanya berdiri diam, menatapku.

Dan, di dalam tatapannya yang sederhana itu, aku melihat sesuatu yang mengoyak seluruh ilusi yang kubangun: kebenaran. Anak itu tahu, meskipun dia mungkin tak bisa mengungkapkannya. Dia tahu bahwa apa yang sedang dilihatnya hanyalah sebuah sandiwara besar.

Aku berpaling, berusaha mengabaikan rasa bersalah yang tiba-tiba menghantamku. Sorakan terus menggema, tetapi kini terdengar sumbang. Langkah-langkah kecil di sepanjang jalan terasa seperti derap yang mengiringi kejatuhanku. Aku tahu, seberapa keras pun aku mencoba mempertahankan ilusi ini, kenyataan tak bisa dihindari. Topeng yang kupakai mulai tergelincir.

Kereta ini, yang awalnya kubayangkan akan membawa kejayaan, kini terasa seperti gerbong yang perlahan-lahan menuju jurang. Parade ini, yang seharusnya menunjukkan kekuatanku, justru telah menjadi cermin dari kekalahan yang tak bisa lagi kusembunyikan.

Anak-anak itu, pelajar-pelajar itu, mereka tak tahu bahwa sosok yang mereka sambut ini bukanlah pahlawan, melainkan seseorang yang mencoba kabur dari kenyataan.

Ketika kereta ini pada akhirnya berhenti, dan sorakan itu berakhir, aku tahu tak ada lagi yang bisa kusembunyikan. Kekalahan telah menjemputku, dan topeng yang kugunakan selama ini telah benar-benar tergelincir, memperlihatkan diriku yang sebenarnya – seorang yang kalah, yang mencoba berpura-pura menang.

Kegundahanku semakin membuncah saat aku menyadari bahwa tidak hanya aku yang berada di ambang kehancuran, tetapi juga sang putra – anak yang kupersiapkan dengan hati-hati untuk melanjutkan citra dan kekuasaan yang kubangun selama ini. Rencana besar itu, yang seharusnya membuat transisi kekuasaan terlihat mulus, kini mulai berantakan.

Di atas kereta kencana yang megah, pikiranku berkelana kembali pada jejak digital yang mulai terungkap. Sang putra, yang selama ini kulindungi dan kubimbing agar dapat menggantikan posisiku, tergelincir lebih dalam ke dalam jurang yang kubuat sendiri.

Kebanggaanku kini berubah menjadi kecemasan yang tak bisa kuhindari. Jejak-jejak digital yang berisi penghinaan terhadap sang raja baru, pemimpin yang seharusnya menggantikan posisiku dengan elegan, mulai bermunculan. Komentar-komentar yang tajam, penuh nada merendahkan, menyulut amarah dan memicu pergolakan yang tak bisa lagi kupadamkan.

Bukan hanya penghinaan yang menjadi momok dalam krisis ini. Di sela-sela jejak digital itu, tersebar juga gambar-gambar dan pesan yang telah memalukan, berbau pornografi dan pelecehan terhadap perempuan.

Semua ini menjadi bukti bahwa sang putra telah gagal menjaga kehormatan yang selama ini telah kutegakkan di mata publik.

Skandal ini tak hanya mencoreng citra keluargaku, tetapi juga meruntuhkan semua fondasi yang selama bertahun-tahun kubangun dengan susah payah. Ilusi tentang keturunan yang sempurna, yang akan menjaga dan melanjutkan kejayaan yang kumiliki, runtuh dalam sekejap.

Kereta kencana itu, yang awalnya menjadi simbol kebesaran, kini terasa semakin berat. Setiap langkahnya membawa beban baru – beban kekalahan yang tak hanya menimpaku, tetapi juga anakku.

Anak-anak dan pelajar yang masih bersorak di tepi jalan tak mengetahui skandal yang tersebar di dunia maya, tapi aku tahu bahwa hanya soal waktu sebelum semua ini meledak di tengah publik. Kehancuran ini akan menyentuh semuanya – aku, putraku, bahkan mimpi tentang kekuasaan yang seharusnya berlanjut tanpa cela.

Tatapan anak-anak yang menyambutku kini terasa menusuk, bukan lagi tanda penghormatan, melainkan pengingat bahwa aku telah gagal. Gagal sebagai pemimpin, dan lebih dari itu, gagal sebagai ayah.

Skandal demi skandal menggulung citra keluargaku seperti gelombang pasang menerpa yang tak terbendung. Dan aku tahu, ketika kereta ini akhirnya berhenti, dunia akan melihatku tanpa topeng. Akan terlihat jelas bahwa bukan hanya aku yang kalah, tetapi juga anak yang kupersiapkan dengan penuh harapan untuk meneruskan semuanya.

Topengku tergelincir, dan kini, topeng sang putra pun akan menyusul – semua dalam parade satu kepalsuan yang tak bisa lagi kami sembunyikan. (*)