Dilema Pengelolaan Pendidikan Sekolah Negeri di Surabaya
Dengan sinergi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, diharapkan dilema-dilema yang ada dalam pengelolaan lembaga pendidikan negeri di Surabaya dapat diatasi, dan kualitas pendidikan pun dapat meningkat secara merata di seluruh kota.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Jatim dan Mantan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya
DALAM pengelolaan lembaga pendidikan negeri di Kota Surabaya, muncul beberapa dilema yang seringkali menjadi tantangan bagi pemerintah, pengelola sekolah, dan masyarakat.
Salah satu kendala utama adalah terbatasnya anggaran yang harus dialokasikan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari peningkatan kualitas pengajaran, sarana dan prasarana, hingga persoalan kesejahteraan tenaga pengajar.
Meskipun pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan, sering kali masih ada kesenjangan antara kebutuhan riil di lapangan dan alokasi yang tersedia. Hal ini berdampak pada terbatasnya inovasi dan pengembangan kualitas sekolah negeri, sehingga beberapa lembaga tidak mampu bersaing dengan sekolah swasta dalam hal kualitas pendidikan.
Selain itu, ada tantangan dalam sistem birokrasi yang kaku dan kurang fleksibel, yang membuat pengambilan keputusan menjadi lambat dan sering tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan di lapangan.
Sistem pengelolaan yang terpusat juga dengan mengurangi inisiatif lokal, di mana setiap sekolah seharusnya memiliki otonomi lebih besar untuk menentukan prioritas mereka, terutama dalam pengembangan kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat memperkaya pengalaman belajar siswa.
Dari sisi masyarakat, ada dilema terkait partisipasi dalam pengelolaan sekolah. Meskipun banyak orang tua yang ingin terlibat, namun peran mereka sering kali dibatasi oleh regulasi dan birokrasi.
Ada juga kesenjangan antara sekolah yang berada di wilayah perkotaan dan pinggiran, baik dari segi fasilitas maupun dukungan masyarakat. Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah pinggiran sering kali mengalami ketertinggalan dalam hal akses teknologi, tenaga pengajar berkualitas, dan partisipasi masyarakat.
Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah daerah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dengan lebih merata, sehingga sekolah-sekolah di seluruh wilayah Surabaya bisa mendapatkan dukungan yang memadai.
Di samping itu, reformasi birokrasi diperlukan untuk memberikan lebih banyak ruang bagi otonomi sekolah, dengan tetap menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan. Pengelola dari sekolah juga perlu diberikan pelatihan dalam manajemen dan kepemimpinan agar mereka dapat membuat keputusan yang lebih adaptif sesuai dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekolah.
Masyarakat seharusnya dilibatkan lebih aktif dalam pengelolaan sekolah, misalnya melalui forum diskusi terbuka, komite sekolah, dan kegiatan kolaboratif yang melibatkan orang tua dan siswa. Dengan demikian, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar formal, tetapi juga menjadi pusat kegiatan komunitas yang mendukung perkembangan anak secara holistik.
Salah satu faktor utama yang memperparah dilema pengelolaan lembaga pendidikan negeri di Surabaya adalah belum adanya regulasi yang mengatur secara jelas mengenai partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan.
Hingga saat ini, Kota Surabaya belum memiliki peraturan daerah (Perda) atau peraturan wali kota (Perwali) yang mengakomodasi peran serta masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan di sekolah negeri. Ketiadaan regulasi ini jelas menciptakan stagnasi di berbagai aspek pengelolaan sekolah, terutama dalam hal penggalangan dana tambahan untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan.
Tanpa regulasi yang jelas, sekolah negeri di Surabaya sangat bergantung pada anggaran dari pemerintah yang terbatas. Padahal, berbagai kebutuhan, mulai dari pengadaan fasilitas belajar, perbaikan infrastruktur, hingga pengembangan program ekstrakurikuler, seringkali membutuhkan dana yang lebih besar daripada yang dialokasikan oleh pemerintah.
Akibatnya, banyak sekolah yang terpaksa mempertahankan kondisi yang ada tanpa inovasi atau perbaikan signifikan, sehingga kualitas pendidikan cenderung stagnan.
Lebih parah lagi, tanpa adanya peraturan yang mengatur partisipasi publik dalam pembiayaan untuk pendidikan, ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif juga menjadi terbatas.
Orang tua dan masyarakat mungkin memiliki niat untuk berkontribusi, tetapi mereka tidak tahu jalur legal atau sistematis yang dapat mereka tempuh untuk membantu sekolah. Ini menciptakan kesan bahwa pendidikan di sekolah negeri sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sementara di sisi lain, pemerintah sendiri mengalami keterbatasan sumber daya.
Sebagai solusi, Kota Surabaya perlu segera merumuskan dan mengesahkan peraturan yang mengatur partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan di sekolah negeri. Peraturan ini bisa dalam bentuk Perda atau Perwali yang memungkinkan adanya mekanisme kontribusi dari masyarakat, baik berupa sumbangan, partisipasi dalam penggalangan dana, atau kerjasama dengan sektor swasta untuk mendukung sekolah.
Regulasi tersebut harus bersifat transparan dan akuntabel, sehingga tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan dana dan tetap mendukung prinsip pendidikan yang merata dan inklusif.
Selain itu, regulasi ini juga bisa memberikan ruang bagi sekolah untuk mengelola dana tambahan secara otonom, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mengandalkan anggaran pemerintah, tetapi juga bisa lebih dinamis dalam merespons tantangan di lapangan dan melakukan inovasi pendidikan.
Masyarakat, melalui peran orang tua siswa, komite sekolah, serta organisasi masyarakat lainnya, bisa terlibat aktif dalam proses ini. Mereka dapat berkontribusi tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga pemikiran dan tenaga untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan yang berkualitas.
Dalam konteks pengelolaan pendidikan di Kota Surabaya, perlindungan bagi keluarga miskin juga menjadi isu yang krusial dan perlu mendapat perhatian.
Meski partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan penting untuk meningkatkan kualitas sekolah negeri, pemerintah harus memastikan bahwa keluarga miskin tetap terlindungi dari beban biaya tambahan.
Tanpa adanya regulasi yang jelas, keluarga kurang mampu berpotensi semakin terpinggirkan dan kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Saat ini, ketiadaan peraturan daerah (Perda) atau peraturan wali kota (Perwali) yang mengatur partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan menyebabkan ketidakpastian bagi keluarga miskin. Di satu sisi, pembiayaan tambahan dari masyarakat atau sumbangan swasta bisa membantu untuk meningkatkan kualitas sekolah. Namun, di sisi lain, tanpa perlindungan yang jelas, ada risiko bahwa biaya pendidikan akan menjadi beban bagi siswa dari keluarga miskin.
Pemerintah Kota Surabaya perlu menjamin bahwa segala bentuk partisipasi publik dalam usaha pembiayaan pendidikan tidak membebani keluarga kurang mampu.
Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah menetapkan peraturan yang mengatur dengan tegas bahwa kontribusi dari masyarakat untuk sekolah negeri bersifat sukarela dan tidak boleh menghambat akses keluarga miskin terhadap pendidikan.
Regulasi ini bisa menetapkan skema khusus, di mana bantuan pemerintah akan ditujukan secara langsung kepada keluarga kurang mampu, memastikan mereka mendapatkan fasilitas pendidikan secara gratis atau dengan biaya minimal.
Program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa lokal bisa diperkuat lagi dan diperluas cakupannya agar seluruh siswa dari keluarga miskin tetap dapat mengakses pendidikan berkualitas tanpa terbebani biaya tambahan. Selain itu, pemerintah juga bisa menjalin kerjasama dengan sektor swasta untuk mendukung pembiayaan pendidikan bagi siswa kurang mampu melalui dana sosial atau program CSR (Corporate Social Responsibility).
Regulasi ini juga harus memastikan bahwa bantuan bagi keluarga miskin di bidang pendidikan bersifat berkelanjutan. Pemerintah tidak hanya perlu memfasilitasi akses pendidikan gratis atau terjangkau, tetapi juga harus memastikan bahwa kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa dari keluarga miskin tidak kalah dengan mereka yang mampu berkontribusi.
Dengan demikian, kesenjangan pendidikan antar lapisan sosial bisa dikurangi.
Masyarakat juga dilibatkan dalam upaya melindungi keluarga miskin dari beban biaya pendidikan. Melalui forum-forum diskusi di tingkat sekolah atau komite sekolah, masyarakat dapat berperan dalam merumuskan kebijakan lokal yang lebih inklusif dan adil.
Partisipasi masyarakat tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga berupa dukungan dan advokasi bagi keluarga-keluarga yang membutuhkan perlindungan lebih.
Pada akhirnya, regulasi yang mengatur partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan di Surabaya harus bersifat inklusif, dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh Pemkot tetap memperhatikan perlindungan bagi keluarga miskin.
Dengan adanya keseimbangan antara partisipasi publik dan dukungan dari pemerintah, kualitas pendidikan di sekolah negeri dapat meningkat tanpa mengorbankan hak keluarga kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dengan adanya regulasi yang mendukung partisipasi publik, diharapkan stagnasi untuk pengelolaan sekolah negeri di Surabaya dapat diatasi. Partisipasi publik yang dikelola dengan baik bisa menjadi motor penggerak bagi kemajuan pendidikan di kota ini, sekaligus menjadikan masyarakat bagian integral dari solusi dalam menciptakan generasi muda yang berkualitas.
Dengan sinergi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, diharapkan dilema-dilema yang ada dalam pengelolaan lembaga pendidikan negeri di Surabaya dapat diatasi, dan kualitas pendidikan pun dapat meningkat secara merata di seluruh kota.
Memang ada peraturan daerah tentang sistem penyelenggaran di Kota Surabaya, Perda Nomor 16 tahun 2012, tapi perda itu tidak mengatur tentang partisipasi dalam pembiayaan pendidikan, hanya mengatur tentang bagaimana fungsi masyarakat agar bisa terlibat dalam pengawasan.
Sehingga dengan fungsi yang seperti, sekolah menjadi dilema di antara tuntutan peningkatan untuk kualitas dan ketiadaan partisipasi pembiayaan yang dilakukan oleh public, terutama dari stakeholder utamanya, walimurid.
Sudah saatnya perda tersebut diperbaiki disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kualitas dan perlindungan anak. (*)