Hanya Orang Terhina yang Minta Dihormati dan Dipuja
Tapi, Mulyono, dengan egonya yang menuntut pengakuan, justru menunjukkan kelemahan yang mendalam. Keinginannya untuk dihormati mencerminkan betapa ia menyadari bahwa selama ini, kebijakan yang dijalankannya bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya ia pegang.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
MENJELANG akhir masa kekuasaannya, Mulyono tak henti-hentinya menunjukkan kerinduan akan kehormatan dan pujian. Ia berharap namanya dikenang sebagai pemimpin besar, diiringi ucapan terima kasih dan penghargaan dari rakyatnya. Namun, ironinya semakin kentara: semakin keras ia meminta, semakin jauh ia dari penghormatan yang sejati.
Mulyono terjebak dalam bayang-bayang semu kepemimpinan. Kecemasan membayangi, karena pujian itu akan semakin tenggelam dan yang ada adalah hujatan dan pengadilan rakyat.
Betapa tidak, di detik-detik menjelang ajal kekuasaanya, Mulyono mengerahkan segala daya upaya yang ia masih genggam untuk melakukan mobilisasi pujian dan penghormatan, dengan harapan dia akan dikenang sebagai orang yang berjasa.
Memang ada yang dia lakukan, tapi selama memimpin, Mulyono banyak melakukan kebohongan dan ketidak jujuran, kesan merakyat dan sederhana, hanyalah pencitraan, karena dalam berbagai kebijakan yang dia lakukan rakyat dimanfaatkan untuk kepentingan oligarki dan kroninya.
Para buzzer dan media massa bayaran kini dikerahkan untuk menuliskan pujian dan ucapan terima kasih yang berisi pujian akan “prestasi” selama 10 tahun memimpin. Termasuk larangan memuat dan membahas akun Fufufafa yang berbau pornografi dan diduga milik Samsul sang putra mahkota.
Untungnya tak semua media mau dijadikan alat dengan imbalan yang tidak kecil tersebut. Kemudian pertanyaannya, menggunakan anggaran siapa Mulyono dan kroninya melakukan itu semua?
Cerita upaya Mulyono membangun citra pada akhir masa kekuasaannya tak ubahnya seperti cerita ini.
Di sebuah kerajaan yang makmur, ada seorang raja yang bernama Prabu Jokowiyono. Pada awal pemerintahannya, ia dicintai oleh rakyatnya. Ia sering berbicara tentang keadilan, kebenaran, dan kepemimpinan yang tulus.
Tapi, seiring dengan waktu, nafsu kekuasaan mulai menguasai hatinya. Prabu Jokowiyono mulai berbohong, menyembunyikan kebenaran, dan membuat janji-janji kosong demi mempertahankan kedudukannya.
Pada suatu ketika, terjadi krisis pangan di seluruh negeri. Rakyat mulai kelaparan, dan banyak yang datang ke Istana menuntut kejelasan.
Raja Jokowiyono, dengan liciknya, menyalahkan para penasihatnya dan menuduh pejabat-pejabat di bawahnya mencuri kekayaan kerajaan. Ia memberikan pidato besar yang meyakinkan rakyat bahwa ia tidak bersalah dan bahwa ia akan segera memperbaiki situasi.
Namun, di balik layar, Jokowiyono telah menimbun emas dan bahan makanan untuk dirinya sendiri, sementara itu rakyatnya menderita. Kalau ditanya oleh rakyatnya, Jokowiyono mengelak dengan mengatakan “jangan tanya saya”.
Kebohongan itu terus berlanjut, namun seperti api yang menyala, tidak ada rahasia yang bisa terus disembunyikan. Suatu hari, seorang pejabat Istana yang jujur menemukan bukti tentang kecurangan raja dan membawa dokumen-dokumen itu ke hadapan para pemimpin rakyat. Dalam sekejap, maka kebenaran tersebar luas, dan kebohongan Jokowiyono terungkap.
Rakyat yang dulu mempercayainya, kini marah dan kecewa. Mereka merasa dikhianati. Dus, Raja Jokowiyono yang dulu dihormati, kini menjadi bahan cemoohan di seluruh negeri. Ia dipaksa turun dari tahtanya dan hidup dalam pengasingan.
Jokowiyono yang dulunya dipuja-puja kini terhina di depan semua orang. Tak ada satu pun yang mengingat kebaikannya, hanya kebohongan dan ketidakjujurannya yang terus menjadi buah bibir.
Pemimpin sejati tidak membutuhkan pengakuan, karena kehormatan dan pujian datang secara alami dari perbuatan baik yang tulus dan tidak penuh dengan tipu daya.
Mulyono, di sisi lain, tampaknya terjebak dalam paradoks kepemimpinannya sendiri – keinginan untuk dihormati muncul bukan dari prestasi cemerlang, melainkan dari bayangan akan dosa-dosa kekuasaannya.
Kebijakan-kebijakan yang penuh kontroversi, penyelewengan yang terselubung, hingga keretakan moral di kalangan orang-orang terdekatnya telah menciptakan jurang dalam antara dirinya dan rakyat.
Seorang pemimpin yang berprestasi tidak pernah meminta pujian, ia bekerja tanpa pamrih untuk kebaikan bersama.
Tapi, Mulyono, dengan egonya yang menuntut pengakuan, justru menunjukkan kelemahan yang mendalam. Keinginannya untuk dihormati mencerminkan betapa ia menyadari bahwa selama ini, kebijakan yang dijalankannya bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya ia pegang.
Sejarah akan menilai bukan dari seberapa banyak ia meminta penghormatan, tetapi dari seberapa besar kerusakan yang ditinggalkannya. Ketika kehormatan harus diminta, sesungguhnya hanya kehinaan yang tersisa.
Selamat jalan kebohongan, selamat tinggal ketidak jujuran, jangan kembali lagi, semoga Indonesia tanpamu akan lebih baik lagi. (*)