Hujan Desember
Bila saatnya turun, hujan jatuh memberi berkah pada segala makhluk tanpa kecuali. Jika terpaksa turun, elit negeri membawa kutuk, dengan menyandera masa depan atau menyokong kerabat-kroni tak layak untuk naik.
Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SAUDARAKU, entah mengapa, saat wanci memasuki bulan berakhiran "ber", terlebih Desember, curah hujan kembali mengguyur.
Fluktuasi cuaca memang kian ekstrem. Sebabnya adalah ulah manusia melampaui batas. Al-Qur'an menyebutnya sebagai berahi "al-takastur".
Johann Wolfgang von Goethe melukiskannya dalam perjanjian Faust dengan iblis Mephistopheles, yang menawarkan kekuasaan, pengetahuan, dan kenikmatan duniawi tak terbatas dengan tumbal pengorbanan jiwanya.
Pengorbanan jiwa itu kini mengancam keselamatan dan keberlanjutan bumi manusia sendiri, karena kerusakan alam yang mengganggu tertib kosmis. Pergantian musim tak lagi teratur. Pemanasan global menerpa. Pergeseran temperatur bumi kian beringas.
Namun, sekacau-balaunya alam, hujan tak pernah lupa turun. Tetap setia mempersembahkan rindu langit pada bumi, kasih basah pada kering, darma subur pada tandus.
Desember ini, mendinginnya cuaca negeri dihangatkan residu tensi kontestasi. Kembalinya musim Pemilu dan Pilkada ini sungguh kontras dengan kosmos alam. Tertib politik di negeri ini baru saja berjalan beberapa putaran, arus balik centang perenang kembali pasang.
Tak seperti alam yang tahu, kapan uap air harus bergerak meninggi menjadi gumpalan awan, dan kapan harus turun menjadi curah hujan. Elit negeri ini hanya ingat cara naik, namun lupa rela turun.
Bila saatnya turun, hujan jatuh memberi berkah pada segala makhluk tanpa kecuali. Jika terpaksa turun, elit negeri membawa kutuk, dengan menyandera masa depan atau menyokong kerabat-kroni tak layak untuk naik.
Setiap hujan turun, dengan hanyutan air yang diteruskan sungai ke hilir, mengingatkan manusia ke hulu kenangan dan hilir impian nan jauh. Tertib hukum alam memberi pelajaran bahwa setiap kita adalah penumpang perahu penghubung yang mengantarkan manusia berjelajah dari hulu masa lalu ke samudera masa depan, melalui aliran sungai masa kini.
Di sepanjang perlintasan sungai sejarah tersebut, mitra keberadaan kita bukan hanya untuk sesama penumpang perahu saat ini, tetapi juga leluhur pada masa lalu dan keturunan pada masa datang.
Setiap orang adalah mata rantai penghubung berkah bagi kesinambungan penyempurnaan dalam kehidupan. Maka, janganlah demi penghidupan, kita korbankan kehidupan. (*)