Jejak Diplomasi Pak Natsir: Surat yang Mengubah Nasib Sebuah Bangsa – 2
Dengan secarik kertas yang berisi kata-kata yang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh Raja Faisal, Nakajima San diterima dengan hangat. Raja Faisal, yang telah mengenal Natsir sebagai seorang sahabat dan saudara seiman, membaca surat itu dengan penuh perhatian.
Oleh: Agus M Maksum, DDII Jawa Timur, Praktisi IT
DI sebuah ruangan yang begitu sunyi, dengan segelintir orang yang masih berdiam, saya menyadari bahwa kisah Pak Natsir adalah lebih dari sekadar narasi, melainkan warisan yang hidup, berdenyut dalam urat sejarah dua bangsa yang terhubung oleh tali-tali tak terlihat yang tak ternilai.
Latar belakang cerita dimulai dari Embargo Minyak Arab Saudi pada Jepang dan Amerika.
Tahun 1973, Jepang dilanda krisis energi. Embargo minyak Arab Saudi yang melumpuhkan industri dan mengancam stabilitas negara, karena mereka telah mendukung Israel selama Perang Yom Kippur.
Di tengah kekacauan ini, muncul secercah harapan dari seorang pria yang tak terduga: Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia.
Misi Rahasia Kaisar Jepang
Laksamana Maeda, seorang penasihat Kaisar Jepang, memiliki ide berani. Dia yakin bahwa Pak Natsir, yang merupakan sahabat Raja Faisal dari Arab Saudi, dapat membantu mencabut embargo Arab Saudi. Misi rahasia pun diluncurkan. Nakajima San, seorang diplomat Jepang, ditugaskan untuk menemui Pak Natsir dan menyampaikan pesan PM Jepang.
Kisah Pak Natsir adalah epik yang tidak terdokumentasi, sebuah legenda yang hidup melalui bisikan dan kekaguman yang tidak terucap.
Hamada San, dengan suara yang kian meningkat dan tatapan semakin tajam, berbagi rahasia sejarah yang hanya diketahui oleh sedikit orang. "Kamu benar-benar pengagum dan bagian dari keluarga besar Pak Natsir," ucapnya, (Keluarga Besar Dewan Dakwah, maksud Hamada San) “Karena tidak banyak yang tahu tentang Ucapan duka ini.
Mendengar Mohammad Natsir meninggal, rasanya lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima. duka yang sangat mendalam dari kami di Jepang
Ucapan itu dikirim hanya untuk keluarga besar Pak Natsir, dan kamu masih menyimpan memori itu hingga sepuluh tahun lamanya."
Saya ingin membuat cerita kecil dulu pertemuan saya dengan Hamada San sang diplomat senior pembuka kotak pandora sejarah itu.
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta yang sibuk, di sebuah kedai kopi yang nyaman, terduduk dua sosok dari dua dunia yang berbeda. Agus Maksum, seorang aktivis muda Dewan Dakwal Islamiyah Indonesia, dan Hamada San, diplomat senior Jepang, saling berbagi kisah dan sejarah kedua bangsa mereka. Dari percakapan ringan, muncul sebuah narasi sejarah yang hampir terlupakan, membawa kita ke masa-masa krusial pasca Perang Dunia II.
Pada suatu sore yang penuh gairah diskusi, Hamada San menyingkapkan kisah dramatis yang selama ini tersimpan dalam lipatan sejarah yang tidak banyak diketahui. Kisah tersebut adalah tentang bagaimana pemerintah Jepang, dalam keadaan terdesak pasca menyerah pada sekutu dan kehilangan akses terhadap sumber daya minyak, melakukan berbagai usaha untuk menyelamatkan industri yang hampir ambruk karena embargo minyak Arab Saudi.
Di tengah keputusasaan tersebut, muncullah sosok Laksamana Maeda, yang pernah dianggap pengkhianat oleh bangsanya karena membantu Indonesia meraih kemerdekaan. Meski sudah dicopot dari dinas militer dan hidup dalam kesedihan tanpa pensiun, Maeda tidak kehilangan kepeduliannya terhadap negeri yang pernah ia layani.
Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas, dia menyarankan pemerintah Jepang untuk mengirim utusan ke Indonesia, untuk bertemu dengan Mohammad Natsir, tokoh yang memiliki pengaruh dan hubungan baik dengan Raja Faisal dari Arab Saudi.
Ditugaskanlah Nakajima San, seorang pejabat yang sebenarnya skeptis namun patuh, untuk menyampaikan pesan pemerintah Jepang kepada Pak Natsir. Pertemuan itu terjadi, bukan dengan pembicaraan panjang lebar, tapi ada hasil nyata yang nantinya menjadi monumental dan dramatis, dengan sebuah surat singkat yang ditulis Natsir dalam bahasa Arab.
Surat misterius itulah yang menjadi kunci bagi Jepang untuk mendekati Raja Faisal dan membuka embargo minyak yang sangat mereka butuhkan untuk menyelamatkan industri Jepang.
Kisah ini, yang tak pernah tercatat dalam lembaran resmi sejarah, terungkap di kedai kopi itu, saat Agus Maksum dengan bangga menceritakan keterlibatannya sebagai kader muda Dewan Dakwah Islam Indonesia, organisasi yang didirikan oleh Natsir. Hamada San, yang terlihat begitu terhormat menjadi terdiam, seakan terhubung kembali dengan masa lalu yang penuh perjuangan dan diplomasi.
Dengan sorot mata yang berbinar dan suara yang bergetar, Hamada San mengajukan pertanyaan demi pertanyaan, mengungkap satu per satu tokoh yang terlibat dalam kisah tersebut. Dan, saat Agus Maksum mengkonfirmasi bahwa ia mengenal dan paham Pak Natsir dan peran pentingnya dalam sejarah, Hamada San tiba-tiba membungkuk dalam, memberikan hormat yang mendalam, seolah ingin menyampaikan rasa terima kasih yang telah lama terpendam.
Dalam pertemuan yang tidak terduga itu, terjalin sebuah ikatan sejarah yang menyentuh, di mana kedua negara, melalui wakil-wakil mereka, saling menghargai dan belajar dari masa lalu yang penuh perjuangan dan kebijaksanaan. Kisah Laksamana Maeda, Nakajima San, dan Mohammad Natsir, yang dulunya hanya dikenal oleh sedikit orang, kini menjadi bagian dari narasi yang lebih besar, sebuah pengingat akan persahabatan dan diplomasi yang dapat mengubah jalannya sejarah.
Di kedai kopi Hotel depan Kedutaan Jepang itu, waktu seakan melambat, memberikan ruang bagi kedua pria itu untuk menghargai pelajaran yang diberikan oleh sejarah. Hamada San, yang kini telah terbuka, melanjutkan kisahnya dengan lebih mendalam.
"Ketika Nakajima San sampai di Arab Saudi dengan surat dari Pak Natsir," kata Hamada San, suaranya penuh dengan rasa hormat, "ia tak tahu apa yang akan terjadi, hanya berbekal sepucuk surat Pak Natsir yang dia sendiri tahu apa isinya. Diplomat-diplomat kami telah berusaha keras untuk mendekati Raja Faisal, namun hasilnya nihil. Namun, surat dari Natsir itu seakan membawa angin segar, secercah harapan bagi Jepang yang kepayahan."
Dengan secarik kertas yang berisi kata-kata yang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh Raja Faisal, Nakajima San diterima dengan hangat. Raja Faisal, yang telah mengenal Natsir sebagai seorang sahabat dan saudara seiman, membaca surat itu dengan penuh perhatian.
Meskipun isi surat itu tidak pernah diungkapkan kepada publik, hasil dari pertemuan tersebut sangat nyata. Tidak lama setelah itu, embargo minyak terhadap Jepang mulai melunak, memberikan napas baru bagi industri yang terancam kolaps. (Bersambung)