Jejak Diplomasi Pak Natsir: Surat yang Mengubah Nasib Sebuah Bangsa – 3
Ketika Hamada San, dengan matanya yang berkaca-kaca, mengakhiri cerita ini, ruangan itu hening. Agus Maksum, yang menjadi saksi dari kisah yang baru saja terungkap, duduk dalam diam, terpaku, merenungkan peristiwa yang telah menunda ketenangan hati selama lebih dari satu dekade.
Oleh: Agus M Maksum, DDII Jawa Timur, Praktisi IT
DI kedai kopi Hotel Nikko (Pullman) depan Kedutaan Jepang itu, waktu seakan melambat, yang memberikan ruang bagi kedua pria itu untuk menghargai pelajaran yang diberikan oleh sejarah. Hamada San, yang kini telah terbuka, melanjutkan kisahnya dengan lebih mendalam.
Secarik Kertas Penentu Nasib
Agus Maksum, dengan hati yang berdebar, menyimak cerita sang diplomat, sebuah cerita yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang tersimpan selama 10 tahunan. Jepang, yang saat itu terhimpit oleh embargo minyak, menemukan harapan dalam secarik kertas dari Pak Natsir.
Yuks saya ajak membayangkan Agus Maksum menyimak kisah yang di tuturkan Hamada San….
Matahari terbit di ufuk timur, menerangi padang pasir yang luas dan berdebu. Sedangkan Nakajima San, dengan jas hitamnya yang telah menyerap panas matahari, berdiri tegak di bandara Arab Saudi, seorang pria dari negeri Matahari Terbit yang membawa misi berat dalam tas diplomatiknya. Di dalamnya, terdapat sepucuk surat dari Pak Natsir, tokoh yang meski sudah tidak berkuasa, masih dikenang kebijaksanaannya.
Penyambutan Nakajima di negeri minyak ini tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada prosesi yang berlebihan, tidak ada iring-iringan mobil mewah. Namun, kehangatan yang ditunjukkan oleh tuan rumahnya, menembus formalitas dan protokol yang biasa mengiringi kedatangan seorang utusan. Nakajima merasa kejutan itu bagaikan angin segar, memberinya sedikit ketenangan di tengah ketegangan yang ia rasakan sepanjang perjalanan.
Dengan langkah-langkah yang diatur oleh rasa hormat dan harapan, Nakajima diantar menuju ke Istana Kerajaan. Momen itu tiba, pertemuannya dengan Raja Faisal, penguasa yang bijaksana dan berwibawa. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nakajima menyerahkan surat dari Pak Natsir. Raja Faisal, dengan pandangan yang menembus jiwa, membuka amplop tersebut dan membaca isi surat dengan tenang.
Keputusan Bersejarah
Seketika, sebuah keputusan bersejarah terlahir dari ruangan itu. Keputusan yang akan mengubah arah angin sejarah dan mengguncang peta politik dunia: Raja Faisal akan mengakhiri embargo minyak terhadap Jepang. Keputusan itu datang begitu saja, tanpa perdebatan, seolah-olah surat dari Pak Natsir memiliki kekuatan magis yang membuka hati dan pikiran.
Raja Faisal, dengan suara yang penuh otoritas namun tetap lembut, mengumumkan bahwa minyak akan mengalir ke Jepang, namun melalui rute yang tidak terduga – melalui Indonesia. Skema ini, selain mengakhiri isolasi Jepang, juga akan memperkuat ikatan antara tiga bangsa.
Nakajima hanya bisa berdiri terperangah, takjub dengan kekuatan yang terkandung dalam kata-kata dan hubungan diplomatik yang sudah terjalin. Jepang, negara yang telah merana diembargo, akan segera menyaksikan kembali deru mesin-mesin industri mereka. Honda, Toyota, Suzuki, Mitsubishi, dan raksasa industri lainnya akan kembali mengaum, siap mendominasi pasar global.
Inilah Pak Natsir yang membuat namanya abadi dikenang.
Namun, di balik kebangkitan industri Jepang, ada cerita yang lebih dalam dan tidak diketahui banyak orang. Pak Natsir, yang telah berperan sebagai jembatan, tidak pernah mencari pengakuan atau hadiah. Bahkan, ketika pemerintah Jepang mencoba memberikan imbalan, Pak Natsir dengan tegas menolak.
Dan, bahkan beliau menginstruksikan keluarganya untuk mengikuti jejaknya, untuk tidak menerima apapun dari pemerintah Jepang. Kisah ini, yang tersembunyi dari publik selama bertahun-tahun, hanya terungkap setelah kepergiannya yang menyisakan duka mendalam bagi bangsa Jepang, yang terungkap dari ucapan duka Takeo Fukuda.
Ketika Hamada San, dengan matanya yang berkaca-kaca, mengakhiri cerita ini, ruangan itu hening. Agus Maksum, yang menjadi saksi dari kisah yang baru saja terungkap, duduk dalam diam, terpaku, merenungkan peristiwa yang telah menunda ketenangan hati selama lebih dari satu dekade.
Kisah ini bukan sekadar narasi dramatis, melainkan persembahan penghormatan kepada seorang tokoh yang telah mengubah nasib banyak nyawa dengan tindakan yang mulia dan terhormat.
Kemudian, dalam kesunyian yang sama yang pernah menyelimuti kantor Dewan Dakwah Jawa Timur, saya menyadari bahwa kisah-kisah seperti Pak Natsir, sering tersembunyi di balik tirai sejarah.
Mereka tidak selalu tercatat dalam buku-buku teks atau dipelajari di sekolah. Tapi, mereka terpahat dalam ingatan orang-orang yang mereka sentuh, dalam perubahan yang mereka buat, dan dalam legasi yang terus berlangsung, bahkan ketika mereka telah lama pergi. (*)