Jejak Diplomasi Pak Natsir: Surat yang Mengubah Nasib Sebuah Bangsa – 5

Saya berusaha menggali lebih dalam lagi, mencari tahu bagaimana seorang mantan Perdana Menteri yang pernah dipenjara bisa memiliki dampak sedemikian besar pada konflik internasional yang terjadi jauh dari tanah airnya.

Oleh: Agus M Maksum, DDII Jawa Timur, Praktisi IT

DI balik selubung senja yang beradu dengan riuhnya kota, terdapat kisah yang terpendam dalam bisu sejarah; sebuah narasi yang terlupa yang kini mengembara mencari kebenaran. Itulah kisah Pak Natsir, seorang tokoh yang namanya mungkin tak asing lagi di telinga para penikmat sejarah Indonesia, tetapi yang ceritanya, penuh simpul dan rahasia, jarang terdengar.

Sebagai penulis yang telah menghabiskan tiga dekade merenungi, mengumpulkan serpihan-serpihan informasi, dan merajutnya menjadi sebuah karya tulis, saya merasakan tanggung jawab yang berat untuk membagikan kisah yang tersembunyi ini kepada dunia. Pak Natsir, meskipun telah lama berlalu dari panggung kepemimpinan dan kekuasaan, meninggalkan jejak-jejak yang tidak terhapuskan.

Ketika saya pertama kali menulis tentang kisah beliau yang tersembunyi, saya tidak menyangka bahwa tulisan tersebut akan membangkitkan tanggapan yang begitu luas dan beragam. Ada yang mengapresiasi, ada pula yang menyanggah dengan keras. Setiap tanggapan menjadi catatan kritis yang memperkaya dan terkadang mempertajam sudut pandang saya. Melalui berbagai revisi, cerita ini telah bertransformasi, menjadi lebih mendalam dan detail.

Seri ke-5 ini akan mengungkap latar belakang dan situasi yang mengilhami saya untuk membagikan kisah yang telah lama terkubur. Kisah yang semula hanya ada di benak pikiran bawah sadar dan ketika menuliskannya telah mengalami empat kali revisi hanya dalam waktu empat hari, seiring dengan berbagai masukan yang saya terima dari berbagai penjuru dunia.

Dari Mekkah hingga Hawaii, Jakarta hingga Surabaya, dan dari Padang hingga Jepang, suara-suara tersebut bersatu, membentuk harmoni yang kini telah saya sajikan di depan anda. Setiap kritik, juga setiap catatan, setiap koreksi menjadi bagian tak terpisahkan dari naratif ini.

Terutama, catatan dari Sekretaris Pribadi Pak Natsir, Pak Lukman Hakiem, dan Cak Rosdiansyah yang mendapatkan data dari Mas Reza, mahasiswa S2 di Hawaii University, telah mengklarifikasi banyak hal yang sebelumnya terasa janggal.

Dari ucapan duka yang hampir sama dengan kata-kata Takeo Fukuda, mantan PM Jepang, hingga fakta bahwa embargo minyak yang dialami Jepang bukanlah dari Amerika, melainkan Raja Faisal dari Arab Saudi.

Pikiran saya sejak menerima cerita dari Hamada San mengenai Embargo minyak terhadap Jepang dilakukan oleh Amerika dan ini kejanggalan cerita awal yang membuat saya menunda hampir 20 tahun untuk menuliskannya, tapi setelah mendapatkan data dari Mahasiswa S2 di Hawai bahwa Embargo minyak pada Jepang tahun 1973 oleh Raja Faisal Arab Saudi langsung Klop, Pak Natsir sudah bersahabat baik dengan Raja Faisal sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Dan kemudian adanya artikel yang ditulis oleh Nakajima pada saat Pak Natsir meninggal, lalu adanya kontak kepada saya dari seseorang yang pernah diutus oleh Pak Natsir untuk bertemu Nakajima di Jepang (nanti akan saya tulis dalam satu seri), walau sepucuk Surat yang dibuat lalu dilipat, dan diserahkan kepada Nakajima San untuk diantar kepada Raja Faisal – tanpa salinan sampai sekarang tak pernah diketahui bahkan oleh orang-orang terdekatnya, namun konfirmasi serta cerita itu justru datang dari pihak Jepang yang menyimpan cerita tersebut sebagai pembuka kotak pandora.

Kisah yang terkandung dalam surat itu, yang saya dapatkan dua puluh tahun kemudian dari sumber di Jepang, adalah sepotong teka-teki yang sulit untuk disatukan. Penjara yang seharusnya menjadi tempat pertemuan yang dramatis antara Pak Natsir dan utusan Jepang, ternyata tak relevan, karena pada saat embargo terjadi, Pak Natsir sudah bebas dari tahanan.

Namun, pada suatu Kamis yang sunyi, 10 Agustus 2023, ketika saya terdampar dalam kekosongan pikiran di sebuah kafe, di mana saya pernah ngopi-ngopi dengan Hamada San sekitar 20 tahun lalu, sebuah video tentang Pak Natsir menggugah kenangan lama.

Video tersebut memicu aliran kenangan dan, tanpa pikiran yang panjang, saya kemudian memulai menuliskan cerita yang telah lama terpendam; cerita yang, meskipun dipenuhi kejanggalan dalam pikiran awal saya, akhirnya menemukan tempatnya dalam kebenaran yang lebih luas.

Saya, yang sebelumnya tak sadar akan dampak yang akan terjadi, kini berdiri di tengah hiruk-pikuk pertanyaan dan keriuhan dunia, menanti untuk melanjutkan cerita Pak Natsir – sebuah kisah yang tidak hanya milik masa lalu, tapi juga kisah yang akan terus hidup dan bernapas dalam ingatan kita semua. Kisah yang tidak hanya mengungkap fakta-fakta yang hilang di balik berita, tetapi juga bisa menyingkap nilai-nilai yang mungkin telah kita lupakan.

Lanjutan kisah ini membawa kita pada sebuah perjalanan di mana masa lalu dan masa kini tersebut bertautan, di mana kebenaran bukan hanya hitam putih, melainkan terdiri dari berbagai nuansa yang rumit dan sering kali tidak terduga.

Kita menyelami lebih dalam lagi ke dalam kehidupan Pak Natsir, seorang tokoh yang sempat di lupakan oleh sejarah walaupun seringkali hanya menjadi catatan kaki dalam buku-buku sejarah resmi, ternyata memiliki peran yang begitu penting dalam membentuk jalannya sejarah.

Saya duduk di kafe itu, ditemani secangkir kopi yang hampir dingin, sambil menatap layar Gadget yang menyala. Jari-jari saya menari di atas keyboard maya, mengetikkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf yang menyusun kisah yang telah lama terpendam dalam benak saya.

Dengan setiap pukulan keypad maya, saya merasa seolah-olah saya sedang memecahkan kode dari masa lalu, membuka pintu menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang seorang tokoh yang begitu merakyat namun misterius.

Saya membayangkan Pak Natsir, yang meskipun telah kehilangan kekuasaan politiknya, tetap memiliki pengaruh yang kuat lalu menulus sepucuk surat berbahasa Arab. Surat yang ditujukan kepada Raja Faisal, yang akhirnya mengubah jalannya sejarah, dan ketokohan Pak Natsir juga kemampuan beliau memang mumpuni, saya membayangkan bunyi suratnya, surat yang menjadi bukti dari kekuatan kata-kata dan diplomasi yang halus namun efektif.

Saya berusaha menggali lebih dalam lagi, mencari tahu bagaimana seorang mantan Perdana Menteri yang pernah dipenjara bisa memiliki dampak sedemikian besar pada konflik internasional yang terjadi jauh dari tanah airnya.

Saya mendapatkan banyak pertanyaan, tidak hanya tentang detail dokumen atau kebenaran historis, tetapi juga tentang motivasi dan keinginan Pak Natsir itu sendiri.

Apakah dia dipandu oleh kesetiaan pada prinsip-prinsipnya, oleh kecintaannya pada tanah air, atau oleh keinginan untuk melihat dunia yang lebih adil dan damai? Atau mungkin juga semuanya itu bersamaan? (Bersambung)