Jongos Oligarki Sedang Mimpi di Siang Bolong
Keberadaan entitas family office di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, yang jauh dari tujuan mengangkat dan memberdayakan ekonomi rakyat yang terjadi justru ekaploitasi kekayaan oleh segelintir orang keturunan Tionghoa.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PEMERINTAH berencana membentuk family office di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengumpulkan sejumlah menteri dalam rapat internal di Istana Negara Jakarta, Senin (1/7).
Family office adalah perusahaan swasta yang menangani manajemen investasi dan manajemen kekayaan untuk keluarga kaya. Ini bertujuan untuk menumbuhkan dan mentransfer kekayaan secara efektif antar generasi.
Ini bukan hal yang baru, di Indonesia ide ini diusulkan Luhut Binsar Pandjaitan. Ia mengusulkan pembentukan family office agar orang kaya dari luar negeri mau menaruh uangnya di Indonesia.
Begitu menyederhanakan masalah, Luhut mengklaim keluarga kaya di luar negeri tertarik untuk menyimpan uangnya di Tanah Air. Dengan begitu, devisa negara menjadi kian kuat.
Bahkan dengan enaknya Luhut cuap-cuap membayangkan kalau kita bisa dapat (dari family office) awal-awal sebesar US$ 100 juta, US$ 200 juta sampai US$ 1 miliar, kan bagus. Gak ada ruginya.
Dengan membandingkan negara lain yang stabilitas politik dan ekonominya sudah stabil: Singapura, Hong Kong, London (Inggris), Monako, Dubai (Uni Emirat Arab), Abu Dhabi, dijadikan rujukan atas mimpi-mimpinya.
Hampir sama dengan mimpi dari pikiran melompat (by pass) seperti mimpi membangun IKN akan mendatangkan investasi dari para hantu yang gentayangan di IKN.
Terus menghitung bahwa keluarga sangat kaya di luar Indonesia, umumnya memiliki setidaknya US$ 50 juta-US$ 100 juta atau setara Rp 800 juta-Rp1 triliun aset yang bisa diinvestasikan dengan tujuan untuk mengembangkan dan mengalihkan kekayaan secara efektif dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pura-pura tidak paham bahwa orang sangat kaya di Indonesia, telah dikuasai oligarki kecil yang kemunglinannya mau menanam atau menyimpan kekayaanya di dalam negeri (DN).
Apakah family office akan dirancang agar generasi oligarki lebih kuat dan kokoh menguasai ekonomi di Indonesia. Harus diingat bahwa modal keuangan perusahaan sebuah family office merupakan kekayaan keluarga itu sendiri.
Terus larut dalam hayalannya bahwa family office dapat menghabiskan biaya lebih dari US$ 1 juta atau Rp 16,4 miliar per tahun untuk beroperasi. Sehingga kekayaan bersih keluarga yang dilayani biasanya sangat besar.
Dua racun (toxic) Jokowi dan Luhut yang akan berakhir kekuasaannya seolah-olah bisa membidik potensi pengelolaan dana US$ 500 miliar atau sekitar Rp 8.178,8 triliun (asumsi kurs Rp 16.357 per dolar AS) dari pembentukan family office.
Banyak ekonom mengingatkan dampak negatif atau mudarat jika pemerintah memberikan insentif kepada para orang kaya tersebut berupa pembebasan pajak melalui kebijakan family office.
Di beberapa negara, seperti Swiss, Jerman, dan Amerika Serikat (AS), tetap mengenakan jenis pajak tersebut. Baik itu di tingkat korporasi atau di tingkat orang pribadi.
Rancang bangun memperdayakan ekonominya hanya bermental jongos pada pemilik modal (sangat kaya) di Indonesia, siapa lagi kalau bukan oligarki.
Keberadaan entitas family office di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, yang jauh dari tujuan mengangkat dan memberdayakan ekonomi rakyat yang terjadi justru ekaploitasi kekayaan oleh segelintir orang keturunan Tionghoa.
Para jongos oligarki yang sedang mimpi dan akan berakhir masa kekuasaannya, masih tetap ingin berkuasa hanya akan menyusahkan dan menyisakan sampah berserakan dan akan tercatat dalam sejarah hitam di Indonesia. (*)