Kemenangan Prabowo Subianto, Ibarat "Hamil Anggur"
Pada Pilgub Jakarta Cawe-cawe Penguasa masih sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan Pilpres 2024 di mana Cawe-cawe Penguasa dilakukan blak-blakan terang-benderang. Hanya saja Cawe-cawe Penguasa tidak seimbang dengan yang dilakukan Prabowo Subianto.
Oleh: Hamka Suyana, Pengamat Kemunculan Pratanda
"HAMIL Anggur" adalah istilah kedokteran untuk menyebutkan kehamilan abnormal, yaitu kondisi seorang perempuan yang secara fisik menunjukkan tanda-tanda kehamilan, tetapi secara medis, isi rahim bukan janin, melainkan berupa jaringan seperti buah anggur. Karenanya, hamil anggur tidak akan pernah melahirkan bayi. Hamil anggur adalah sebuah penyakit.
Analogi itulah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kemenangan Paslon 02 yang dielu-elukan oleh Penguasa dan pendukungnya sebagai pemenang Pilpres 2024 yang diyakini akan memimpin negeri ini selalu 5 tahun ke depan.
Mengapa kemenangan Prabowo Subianto tersebut diibaratkan seperti "Hamil Anggur"? Memang secara eksplisit dinyatakan sebagai pemenangnya, tetapi Insha’ Allah berdasarkan pratanda yang sudah bermunculan, ia tidak akan menjadi presiden.
Agar lebih memahami tentang teori ini, disarankan agar membaca ulang narasi tentang kemunculan pratanda dari alam bawah sadar para capres yang secara berkala, alhamdulilah, sudah di-share secara luas.
Sebagaimana proses kelahiran bayi, tidak tiba-tiba lahir ke dunia, tetapi didahului dengan tanda-tanda 9 bulan 10 hari sebelum kelahiran, yakni diawali dengan tanda-tanda kehamilan seorang perempuan.
Demikian juga dengan semua proses kejadian di alam, akan terikat hukum sebab-akibat yang merupakan proses kejadian sesuatu.
Tentang garis nasib para Capres pun terikat oleh hukum sebab-akibat yang berproses dalam kurun waktu relatif lama sebelum jabatan presiden berhasil diraih.
Ada 2 faktor yang menjadi penentu kemenangan maupun kekalahan Capres.
Pertama; Faktor Utama yaitu dari faktor Internalisasi Capres. Adalah kondisi kebatinan atau alam perasaan atau alam bawah sadar sang capres. Unsur Internalisasi memiliki kemampuan hingga mencapai 90%. Jika pada alam bawah sadar seorang Capres sudah terbangun Tekad Unggulan yang akan dilaksanakan setelah mengemban jabatan presiden, dialah yang berpeluang besar sebagai pemenang.
Kedua; Unsur Penunjang yaitu faktor Eksternalisasi Capres yang berkekuatan 10% dari jumlah total kekuatan untuk meraih kemenangan tersebut. Yang termasuk faktor eksternalisasi adalah dukungan keuangan, back up kekuasaan, dan yang sejenis dengan itu.
Karena daya gebrak faktor eksternalisasi cuma 10% untuk membantu meraih kemenangan, maka berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan Pilkada, Cagub yang faktor internalisasi lemah meski didukung kekuatan faktor eksternalisasi (dukungan dana tidak terbatas dan back up kekuasaan) terbukti berakhir dengan kekalahan.
Berikut ini adalah bukti nyata Cagub yang Lemah faktor Internalisasi, tapi Kuat faktor Eksternalisasi berakhir kekalahan.
Pertama; Kader PDI-P Dyah Pitaloka ikut kontestasi politik menjadi salah satu Calon Gubernur pada Pilgub Jabar 2013. Ia mendapat dukungan faktor eksternalisasi, pamor kemenangan Joko Widodo yang terpilih pada Pilgub Jakarta 2012.
Strategi pemenangan, jargon, atribut, simbol kemenangan Joko Widodo diadopsi secara total untuk menyokong elektabilitas Dyah Pitaloka. Namun karena faktor internalisasi lemah, jumlah perolehan suara jauh di bawah target yang diharapkan.
Kedua; Pilgub Jakarta Tahun 2016/2017 diikuti 3 Calon Gubernur, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang disuplai faktor eksternalisasi luar biasa. Cawe-cawe Penguasa, gempuran politik uang unlimited, mesin partai digerakkan secara masif, serta didukung lembaga penyiaran hampir semua stasiun televisi, serta upaya penggiringan opini publik oleh para surveyor lembaga survei yang menempatkan Ahok selalu bertengger di papan atas.
Tapi faktanya, berhasil dikalahkan Anies Baswedan yang memiliki faktor internalisasi sangat kuat berupa Tekad Unggulan yang sudah terpola pada alam bawah sadarnya.
Pengalaman empiris hasil pengamatan itu, bisa dijadikan sebagai pedoman untuk memprakirakan kemungkinan yang akan terjadi pada Pilpres 2024.
Strategi pemenangan yang dilakukan Calon yang didukung Penguasa antara Pilgub Jakarta 2017 dengan Pilpres 2024 sama persis polanya, yang membedakan adalah menyangkut skalanya.
Pada Pilgub Jakarta Cawe-cawe Penguasa masih sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan Pilpres 2024 di mana Cawe-cawe Penguasa dilakukan blak-blakan terang-benderang. Hanya saja Cawe-cawe Penguasa tidak seimbang dengan yang dilakukan Prabowo Subianto.
Suasana kebatinan atau suasana alam bawah sadarnya Kosong Melompong dari Tekad Unggulan yang fungsinya sebagai tiket untuk menebus kemenangan.
"Hamil Anggur" mustahil melahirkan bayi. Kemenangan yang di-setting manusia dengan segala macam tipu daya, secara kodrati akan ditolak Alam dan Allah.
Wallahu a'lam bishshowab. (*)