Kepemimpinan Baru, Prabowo – Gibran: Sinergi Inovasi atau Potensi Konflik?
Namun, perbedaan latar belakang dan usia mereka juga membawa tantangan signifikan yang harus diatasi melalui komunikasi efektif dan visi yang terintegrasi. Jika kedua gaya kepemimpinan itu tidak mampu disatukan, ketidakstabilan politik yang terjadi dapat merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Oleh: Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber
PERALIHAN kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih periode 2024-2029, Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan manifestasi dari proses demokrasi yang diatur oleh UUD 1945.
Terlepas pemilihan umum dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam pelaksanaan lima tahunan, pemilu pada akhirnya akan dianggap sebagai cerminan pelaksanaan hak kedaulatan rakyat.
Prabowo Subianto, lahir pada 1951, membawa pengalaman panjang dari karir militernya hingga politik, termasuk sebagai Komandan Jenderal Kopassus dan Menteri Pertahanan. Fokusnya pada keamanan nasional dan strategi pertahanan dibangun melalui disiplin yang ketat.
Gibran Rakabuming Raka, lahir pada 1987, mewakili generasi milenial dengan pendekatan yang lebih segar dan inovatif. Pengalamannya sebagai pengusaha sukses dan Walikota Surakarta memberikan pemahaman mendalam tentang ekonomi digital dan dinamika masyarakat urban.
Regenerasi dan Tantangan
Kombinasi Prabowo dan Gibran menggambarkan peralihan dari generasi yang lebih tua dengan pendekatan konvensional ke generasi yang lebih muda dengan pendekatan modern. Gibran sebagai wakil presiden berpotensi menjadi figur sentral dalam mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih muda dan inovatif di masa depan.
Kombinasi pengalaman dan inovasi dapat menciptakan kebijakan yang komprehensif dan adaptif. Gibran bisa membawa ide-ide segar dan inovatif, mendorong modernisasi kebijakan pemerintah, terutama dalam bidang teknologi dan ekonomi digital. Namun, perbedaan dalam pendekatan dan gaya kepemimpinan bisa menimbulkan konflik dalam pengambilan keputusan. Perbedaan usia dan latar belakang dapat menghambat komunikasi yang efektif dan kohesif antara keduanya.
Pendekatan tegas Prabowo dalam keamanan nasional bisa meningkatkan stabilitas, namun perlu diimbangi dengan kebijakan sosial-ekonomi yang inklusif dan adaptif. Di sisi lain, kebijakan pro-inovasi dan ekonomi digital yang didorong oleh Gibran diharapkan mempercepat transformasi ekonomi Indonesia.
Pendekatan tegas Prabowo dalam diplomasi pertahanan dapat memperkuat posisi Indonesia di arena internasional, sementara pendekatan bisnis Gibran dapat menarik lebih banyak investasi asing.
Pandangan Ahli Psikologis Dunia
Ahli psikologi Amerika, Erik Erikson (1902-1994), yang terkenal dengan teori perkembangan psikososial, mengemukakan bahwa perbedaan usia dan tahap kehidupan individu berpengaruh signifikan terhadap cara mereka memimpin dan membuat keputusan. Erikson menyatakan bahwa setiap tahap kehidupan memiliki fokus dan prioritas yang berbeda, yang dapat mempengaruhi dinamika kepemimpinan.
Sebagai contoh, pada tahun 1963, di Amerika Serikat, Presiden John F. Kennedy yang muda dan inovatif seringkali mengalami ketegangan dengan pejabat militer dan birokrat yang lebih tua dan konservatif, seperti Jenderal Curtis LeMay. Konflik ini mencerminkan perbedaan dalam pendekatan kepemimpinan dan prioritas kebijakan yang bisa menimbulkan gesekan dalam pemerintahan.
Tantangan Transformasi
Kombinasi antara gaya hierarkis dan tegas Prabowo dengan gaya kolaboratif dan fleksibel Gibran bisa menimbulkan friksi. Keselarasan dalam pengambilan keputusan menjadi tantangan utama. Perbedaan usia dan cara pandang membutuhkan mekanisme komunikasi yang efektif untuk menghindari miskomunikasi dan memperkuat kerjasama.
Transformasi digital memerlukan kebijakan yang adaptif dan responsif, di mana Gibran harus memastikan bahwa kebijakan ini diterima dan diimplementasikan dengan baik dalam struktur pemerintahan yang mungkin lebih konservatif di bawah Prabowo.
Jika kedua gaya kepemimpinan tersebut tidak mampu disatukan dalam konteks kenegaraan yang diikuti oleh ketidakstabilan politik di kalangan partai pendukung yang terbelah saat jelang pilpres 2024 dan pasca keputusan KPU atas hasil pilpres 2024, maka Indonesia akan menghadapi suatu persoalan yang lebih rumit terkait peran dan fungsi wewenang presiden dan wakil presiden.
Hal ini akan membawa persoalan dalam berbagai kebijakan yang ujungnya merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Analisis, Fakta, dan Pandangan Filsuf Dunia
Ketidakstabilan politik yang terjadi akibat terbelahnya partai-partai pendukung serta perbedaan mendasar antara Prabowo dan Gibran bisa mengganggu efektivitas pemerintahan. Konflik internal bisa mengakibatkan stagnasi kebijakan dan melemahkan kepemimpinan nasional di saat yang dibutuhkan ketegasan dan kesatuan.
Niccolo Machiavelli berpendapat bahwa konflik dalam kepemimpinan dapat melemahkan kekuasaan dan efektivitas pemerintahan, yang pada akhirnya merugikan negara dan rakyat. Karl Marx lebih menekankan pentingnya kesatuan kelas penguasa untuk memastikan stabilitas dan kelangsungan kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, John Dewey berargumen bahwa pendidikan berkelanjutan dan adaptasi terhadap perubahan adalah kunci untuk mengatasi perbedaan dalam kepemimpinan.
Menghindari Kerusakan Demokrasi dan Penegakan Hukum
Secara empiris, perbedaan antara Prabowo dan Gibran harus dikelola dengan baik agar tidak merusak demokrasi, penegakan rule of law, jurnalistik yang berimbang, serta profesionalitas aparatur negara.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa ketidakstabilan politik sering kali merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Misalnya, krisis politik di Venezuela dan beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa konflik internal dalam pemerintahan dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia dan penurunan standar hidup.
Penutup
Peralihan kekuasaan ini membawa kombinasi yang unik antara pengalaman dan inovasi, yang dapat menjadi kekuatan besar bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi. Kolaborasi antara Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menawarkan peluang untuk menciptakan kebijakan yang seimbang antara keamanan nasional dan inovasi ekonomi.
Namun, perbedaan latar belakang dan usia mereka juga membawa tantangan signifikan yang harus diatasi melalui komunikasi efektif dan visi yang terintegrasi. Jika kedua gaya kepemimpinan itu tidak mampu disatukan, ketidakstabilan politik yang terjadi dapat merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Dengan dasar konstitusi yang kuat, pemerintahan ini diharapkan dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih stabil dan berdaya saing tinggi di kancah internasional, sambil mendorong regenerasi kepemimpinan yang inovatif dengan keterlibatan rakyat secara luas. (*)