Kesadaran Spiritual Ketika Musim Material
Kemudian, siapa yang akan mengubahnya, mengembalikan Indonesia kepada jalan revolusi yang sebenarnya dan yang belum selesai itu? Bagaimana memulainya membuat negara itu bisa hadir dan menjawab amanat penderitaan rakyat Indonesia selama ini?
Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI
PENGERTIAN paling sederhana dari Nasionalime itu adalah ketetapan hati dan kebulatan tekad bagi seseorang untuk mempertahankan tanah airnya. Begitu yang kupelajari dari seorang Bagin, Guru Spiritualisku.
Bangsa Indonesia telah mengalami degradasi kehidupan yang begitu dalam. Adanya pergeseran perilaku yang tajam yang mereduksi prinsip-prinsip Ketuhanan dan kemanusiaan. Dari bangsa timur yang terkenal dengan budaya gotong-royong, welas asih dan toleransi yang begitu tinggi.
Warisan adiluhung nenek moyang itu kini mengalami kepunahan seiring jaman. Berbanding terbalik dengan bangsa-bangsa di dunia barat yang dulunya gandrung berburu material dan mulai mencari nilai-nilai. Bangsa Indonesia kekinian malah meninggalkan nilai-nilai dan justru sudah teobsesi pada material.
Keberadaban dikalahkan oleh hasrat kekayaan dan jabatan. Banyak yang tergila-gila pada uang dan menjadikannya sebagai tujuan. Etika dan norma-norma tak berdaya dan tak bermakna dihadapkan pada kebutuhan harta. Realitas kehidupan telah bergeser, keyakinan-keyakinan Ketuhanan dan kemanusiaan telah digantikan oleh nafsu keduniawian.
Pendulum agama dan ideologi tidak lagi mengalami keseimbangan. Kesadaran ideal sipritual telah berhasil dikalahkan oleh kesadaran rasional material.
Kemiskinan dan kebodohan struktural telah menjadi menu utama dari resep dan olahan sistem permodalan besar. Kapitalisme memang terbukti adidaya bisa menghasilkan segelintir orang dan kelompok tertentu yang kaya raya dan berkuasa.
Sayangnya, Bangsa Indonesia telah menganut sistem yang menyuburkan neo kolonialisme dan imperialime itu. Manut pada bangsa asing yang menguasai bahan baku, mengolah secara industri dan memasarkannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Konsekuensi bagi bangsa Indonesia sebagai negara pasar, untuk jangka waktu yang lama telah begitu kenyang mengenyam eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa.
Kekerasan, kesewenang-wenangan, penindasan dan pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan kini marak memenuhi kehidupan kebangsaan Indonesia. Padahal, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang merepresentasikan keinginan para pendiri bangsa dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Itu justru telah dimanipulasi dan dikhianati sebagai alat penjajahan baru. Ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan benar-benar telah dikuasai bangsa asing. Dominasi dan hegemoni bangsa asing yang memanfaatkan penyelenggara negara yang bermental penghianat dan penjahat.
Sepertinya, petuah para pemimpin bangsa terdahulu semakin terbukti. Perjuangan mereka jauh lebih mudah menghadapi penjajahan bangsa asing ketimbang menghadapi penjajahan oleh bangsanya sendiri.
Kekayaan alam dan budaya yang mendunia yang menjadi keunggulan dan potensi menghadirkan negara kesejahteraan. Pada realitasnya telah dirampas oleh kekuatan birokrasi dan oligarki untuk kesenangan sendiri dan bangsa asing. Distorsi kekuasaan tersebut hanya meninggalkan cucuran keringat, darah dan nyawa rakyat yang terpinggirkan.
Para pemimpin politik, pemuka agama, profesesional, pengusaha, stage holder hingga sebagian besar rakyat telah terpapar virus materialisme. Islam menyebutnya sebagai penyakit Wahn (takut mati dan cinta dunia).
Rakyat Indonesia khususnya umat Islam telah dirundung wabah pendangkalan aqidah. Liberalisasi dan sekulerisasi menjadi sangat efisien dan efektif menghancurkan pondasi keagamaan muslim di Indonesia. Dari mulai politik dan ekonomi, memilih pemimpin hingga orientasi dan dan gaya hidup umat Islam tak berdaya. Umat Islam telah menjadi pasar paling potensial, menggiurkan sekaligus korban terbesar dari kekuatan kapitalisme di Indonesia.
Kemudian, siapa yang akan mengubahnya, mengembalikan Indonesia kepada jalan revolusi yang sebenarnya dan yang belum selesai itu? Bagaimana memulainya membuat negara itu bisa hadir dan menjawab amanat penderitaan rakyat Indonesia selama ini?
Apakah Pancasila, UUD 1945 dan NKRI menjadi alat revolusi Indonesia yang mampu mewujudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang adil makmur, yang anti penjajahan dan ikut menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia?
Mampukah semua itu dilakukan bangsa Indonesia ketika semua terbuai dan terlelap menikmati hidup dengan menghirup udara kapitalisme? Terlebih, sangat sedikit kesadaran dan keinsyafan semua anak bangsa pada nasionalisme dan patriotisme. Begitupun umat Islam berebut pada abunya dan lari meninggalkan apinya Islam. Begitu sedikitnya, hingga sulit ditemukan kesadaran spiritual di musim material.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa suatu saat akan ada sebuah bangsa yang tenggelam dan terhapus dari peta dunia, kecuali bangsa itu sendiri yang memperjuangkan dan menyelamatkannya. (*)