Ketika Lagu Indonesia Raya Terdengar Fals
Pemilu sebagai instrumen demokrasi, suara rakyat dimuliakan, kini diamputasi, direkayasa dengan ambisi kekuasaan yang berselingkuh dengan oligarki. Pemilu hanya digunakan legitimasi seolah-olah demokrasi, padahal sejatinya suara rakyat sudah dimanipulasi.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
SETIAP tiba bulan Maret adalah bulan yang identik dengan perjuangan paska kemerdekaan. Meski bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, namun penjajah Belanda tak rela dengan kemerdekaan itu.
Penjajah Belanda berkampanye ke seluruh dunia bahwa NKRI sudah tidak ada, sudah menyerah dan bergabung dengan pemerintahan Belanda. Upaya Belanda tersebut tidak berhasil, ketika terjadi Serangan Umum, 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Kolonel Soeharto. Serangan itu, meski hanya beberapa jam, namun mampu memberi pesan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih ada dan masih berdaulat mempertahankan kemerdekaannya.
Rabu, 7 Maret 2024, pagi ini, saya yang sempat hadir di acara DHC 1945 Surabaya dalam acara diskusi membedah kembali Serangan Umum 1 Maret, mengapa dan bagaimana peristiwanya di Fakultas Sosial Politik dan Hukum Unesa Surabaya.
Pembukaan acara diiringi dengan lagu Indonesia Raya. Sebagaimana upacara-upacara kenegaraan yang diiringi dengan dentuman musik yang menggema, bendera merah putih yang berkibar gagah di angkasa. Ribuan pasang mata tertuju, khidmat menyanyikan lagu kebangsaan. Namun, yang ada di balik lantunan melodi nan megah, terselip rasa getir yang tak tertahankan.
Ketika nada Indonesia Raya terdengar fals, hati rakyat pun teriris pilu. Fals bukan hanya soal nada sumbang, tapi juga simbol ironi, refleksi kenyataan pahit yang menyelimuti negeri.
Di tanah air yang kaya-raya, rakyatnya masih terbelenggu kemiskinan. Jeritan kelaparan dan jeruji besi menjadi kenyataan pahit bagi sebagian anak bangsa.
Korupsi merajalela, bagaikan benalu yang menggerogoti fondasi negara. Harapan pupus, digantikan rasa frustrasi dan amarah yang membara.
Keadilan bagaikan pisau bermata dua. Tajam bagi rakyat kecil, tumpul bagi para penguasa. Suara mereka terbungkam, tergantikan oleh arogansi dan kesewenang-wenangan.
Di tengah gemerlapnya pembangunan, nestapa tersembunyi di balik tembok-tembok megah. Kesenjangan sosial kian melebar, memicu kecemburuan dan perpecahan.
Lingkungan dirusak, alam dieksploitasi tanpa henti. Kerakusan manusia menggerogoti bumi pertiwi, meninggalkan luka yang tak terperi.
Demokrasi sebagai sebuah nilai yang dianut dengan falsafah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, kini diamputasi, menjadi negeri milik dinasti yang berasal dari keluarga dan kelompok.
Pemilu sebagai instrumen demokrasi, suara rakyat dimuliakan, kini diamputasi, direkayasa dengan ambisi kekuasaan yang berselingkuh dengan oligarki. Pemilu hanya digunakan legitimasi seolah-olah demokrasi, padahal sejatinya suara rakyat sudah dimanipulasi.
Lagu Indonesia Raya seakan merintih, menyaksikan kenyataan pahit yang melanda bangsa. Ironisnya, diiringi melodi nan megah, para pemimpin berjanji, berkoar tentang kemajuan dan kesejahteraan.
Namun, rakyat sudah muak dengan janji-janji kosong. Mereka mendambakan perubahan nyata, bukan sekadar retorika dan pencitraan semata.
Ketika lagu Indonesia Raya terdengar fals, itu adalah alarm bagi bangsa. Sebuah teguran keras bahwa negeri ini sedang sakit, terjerat dalam lingkaran masalah yang tak kunjung usai.
Saatnya rakyat bangkit, bersatu padu untuk membenahi negeri. Membangun Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, bukan hanya mimpi, tapi kenyataan yang harus diperjuangkan.
Mari kobarkan semangat juang, demi Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang bersatu, Indonesia yang tangguh, Indonesia yang merdeka seutuhnya.
Ketika lagu Indonesia Raya kembali terdengar merdu, tanpa nada fals, barulah kita bisa merasakan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan yang bukan hanya di atas kertas, tapi terukir nyata dalam kehidupan rakyatnya. (*)