Kurangi Angka Diabetes, Cukai Minuman Berpemanis Tidak Cukup Solutif
Salah satunya menetapkan ukuran penambahan pemanis dengan kadar di bawah batas minimal. Atau yang lebih ekstrim lagi adalah negara melarang peredaran minuman dengan penambahan pemanis, atau perisa lainnya yang jelas berbahaya bagi kesehatan. Namun negara tidak seperti itu.
Oleh: Hermawati, Pemerhati Lingkungan dan Sosial
WACANA akan ada cukai untuk minuman berpemanis yang ada di pasaran menjadi bahasan yang katanya akan mengurangi jumlah kasus diabetes. Karena, konon, penerapan cukai bagi minuman berpemanis ini akan mengurangi daya beli masyarakat, sebab adanya kenaikan harga. Ini menurut Kontan.co.id-Jakarta,
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk membahas mengenai penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Sebagai informasi, pada 2024 ini pemerintah juga ditargetkan segera mengaplikasikan kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan. Pengaplikasian dua cukai baru ini tertahan sejak 2023 dan kembali masuk dalam target penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Dikabarkan Antara, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebutkan, penerapan cukai sebesar 20 persen bisa menurunkan konsumsi masyarakat terhadap Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebesar 17,5 persen.
"Saat cukai MBDK dinaikkan 20 persen, konsumsi rumah tangga rata-rata menurun sebesar 17,5 persen, dan perubahan permintaan MBDK pada rumah tangga bisa menurun, karena terjadi substitusi peningkatan permintaan air mineral dalam kemasan," kata Ketua Riset dan Kebijakan CISDI Olivia Herlinda di Jakarta, Kamis.
“Berdasarkan riset dan penelitian yang kami lakukan, penerapan cukai MBDK minimal sebesar Rp 5.000 per liter diestimasi dapat mencegah 63.000 hingga 1.487.000 kasus diabetes dalam kurang 25 tahun,” ujarnya.
Meningkatnya kasus diabetes, beberapa tahun terakhir naik secara signifikan. Bukan hanya kasus pada orang dewasa dan lanjut usia saja, namun juga menyerang anak-anak. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut penyakit diabetes di Indonesia membuat khawatir.
Sementara itu disebutkan anak yang menderita diabetes meningkat 70 kali lipat sejak tahun 2018, Detik.com. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya merilis data yang menunjukkan bahwa prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibanding 2010, BBC News Indonesia.
Selain itu, Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron juga mengatakan pasien anak yang menderita diabetes meningkat sekitar 1.000 kasus pada 2022 dibandingkan 2018.
Pada dasarnya, langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat memang menjadi usaha yang tidak pernah berhenti oleh negara sebagai pengurus masyarakat.
Penanggulangan kasus kesehatan yang endemi juga adalah urusan yang urgen. Dengan adanya rencana cukai minuman berpemanis seakan nantinya ada mengurangi angka kasus diabetes. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan akses minuman manis karena harga yang naik dari sebelumnya. Jadi masyarakat mampu beralih pada produk yang lebih murah dan terjangkau.
Namun, asumsi itu tidak seluruhnya tepat, sebab kurangnya keterjangkauan minuman berpemanis tidak serta merta membatasi masyarakat dari mengkonsumsinya. Dengan alasan suka bahkan ada yang tergolong adiksi terhadap minuman manis yang bisa menyebabkan orang akan tetap membelinya. Sebab gula merupakan salah satu bahan yang bisa menyebabkan kecanduan jika mengkonsumsinya untuk jangka waktu lama dan intens.
Niat mulia untuk perbaikan kesehatan dan memutus rantai pertambahan kasus diabetes memang harus diapresiasi oleh masyarakat, namun pertanyaan nya adalah seefektif apa kebijakan ini dapat menurunkan kasus diabetes yang ada. Sementara masalah kesehatan masyarakat penanganannya harus menyeluruh.
Dari mulai edukasi secara masif tentang kesehatan, tentang bahan makanan yang berbahaya apa saja yang harus dihindari dan bahan makanan apa saja yang harus dikonsumsi. Di samping itu negara harus memberikan mekanisme keterjangkauan bahan pangan kepada masyarakat dari mulai harga yang terjangkau dan ketersediannya di tengah-tengah masyarakat.
Sementara kenyataannya, masyarakat sulit mendapatkan bahan makanan yang sehat dan bergizi namun terjangkau. Misalnya bahan pangan yang organik harganya juga selangit dan tidak tersedia di setiap tempat. Akhirnya masyarakat lebih memilih minuman manis kemasan daripada membeli buah untuk dibuat minuman jus.
Edukasi terhadap pentingnya kesehatan belum merata sehingga pemahaman akan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat masih belum maksimal. Pentingnya menghindari bahan makanan berpemanis buatan, atau yang alami secara berlebihan menjadi hal yang tidak masuk daftar “penting” saat ini. Kemiskinan membuat pemilihan bahan makanan sehat belum menjadi prioritas, yang penting murah dan terjangkau serta mengenyangkan.
Negara juga harus melihat kenyataan yang lain bahwa adanya cukai minuman berpemanis ini akan menambah biaya produksi dari produsen. Tidak sedikit dari perusahaan ini yang akan mengurangi beban pembiayaan perusahaan dengan mengurangi pekerjanya, atau melakukan PHK karena tingginya biaya produksi.
Kebijakan ini harusnya bisa benar-benar mengurangi kasus diabetes, namun kebijakan ini terasa masih belum tulus untuk menyehatkan masyarakat. Karena pembahasan yang paling kuat adalah income negara yang tinggi jika kebijakan ini terlaksana.
Pajak memang masih mendominasi pendapatan negara, olehnya ada banyak komponen yang bisa dibuatkan aturan untuk diadakan cukai di dalamnya. Dalam cukai minuman berpemanis ini akan menyumbang banyak cuan. Pada Februari 2020, Menkeu Sri Mulyani pernah menyampaikan pada Komisi XI DPR bahwa potensi penerimaan dari cukai MBDK bisa mencapai Rp 6,25 triliun. (CNBC Indonesia).
Negara juga harus memperhitungkan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran dalam mekanisme pemungutan cukainya. Dengan adanya kebijakan ini melibatkan dana yang besar, jadi potensi penyelewengannya besar pula.
Seperti halnya dengan beberapa kasus kecurangan atau korupsi. Atau justru malah perusahaan-perusahaan besar mampu mengajukan pemutihan pajak nantinya, sehingga kebijakan ini tidaklah berpengaruh samasekali. Sistem Kapitalisme dengan mindset mengutamakan keuntungan besar menjadikan cuan adalah tujuan utama.
Penyelenggaraan kesehatan yang sesuai dan menyeluruh, khususnya dalam pengurangan kasus diabetes ini menjadi pertanyaan besar. Apakah benar negara serius dalam hal ini? Jika memang benar serius maka negara bisa saja menetapkan standar minuman berpemanis sesuai baku mutu yang ada.
Salah satunya menetapkan ukuran penambahan pemanis dengan kadar di bawah batas minimal. Atau yang lebih ekstrim lagi adalah negara melarang peredaran minuman dengan penambahan pemanis, atau perisa lainnya yang jelas berbahaya bagi kesehatan. Namun negara tidak seperti itu.
Fitrah manusia dengan organ tubuh yang sehat akan terpenuhi jika pengaturan masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan tercapai. Tidak cukup dengan usaha per individu masyarakat.
Untuk pengaturan kebijakan yang berasal dari pencipta menjadi pilihan terbaik, jika tubuh tidak butuh pemanis tambahan atau pemanis buatan dari bahan kimia maka negara tidak mengedarkan bahan demikian, tidak dijual bebas apalagi ditambahkan ke dalam makanan atau minuman. Maka Islam menyediakan mekanisme pengaturan sesuai fitrah ini.
Bahwa dalam Islam kemaslahatan menjadi prioritas utama pengurusan masyarakat, bukan cuan. Masyarakat harus mulai mempertimbangkan sistem pengaturan ini jika ingin lebih baik. (*)