Lagi, Akal Bulus KPU Sembunyikan Sumber Data Pemilu dengan SIKAREP
Celakanya, atau boleh kita bilang Akal Bulusnya, terungkap dalam Persidangan di KIP (Komisi Informasi Pusat) berdasarkan Permintaan dari YAKIN (Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia) beberapa hari lalu.
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
SALAH satu kata dalam judul di atas (SIKAREP) bukan Typo atau Salah Ketik, karena sebagaimana pernah saya cetuskan sebulan lalu, kata SIKAREP ini merupakan "plesetan" dari SIREKAP yang bermakna "Sak Karep e dhewe" (Jawa) alias Seenak maunya sendiri.
Kalau dulu yang seenak sendiri hanya soal Mekanisme Teknis di SIREKAP, kini sudah menyangkut Sumber Data yang digunakan dalam Pemilu 2024 yang seharusnya menjadi Hak Publik/Masyarakat sebagai Pembayar Pajak yang Anggarannya digunakan untuk membiayai Sirekap Miliaran Rupiah, bahkan di atas 70 triliun rupiah untuk Pemilu secara keseluruhan.
Saat tulisan ini dibuat, Sabtu (23/3/2024) Sudah ada Dua Paslon yang mendaftarkan Gugatan Hasil Pemilu 2024 ke MK yang berarti Insyaa’ Allah tetap Mahkamah Konstitusi, bukan lagi "Mahkamah Kalkulator" (karena sebelum-sebelumnya hanya bisa mendasarkan kepada Perhitungan Kuantitatif saja) atau apalagi bukan "Mahkamah Keluarga" (karena berdasarkan Putusan MKMK sebelumnya, Paman Anwar Usman tidak lagi diperbolehkan menyidangkan Hasil Pemilu).
Dua Paslon itu adalah 01 (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) yang sudah mendaftar langsung (21/3/2024) dini hari dan 03 (Ganjar Pranowo – Mahfud MD) yang akhirnya mendaftar (23/3/2024) siang kemarin.
Kedua Paslon tersebut tentunya sudah berusaha sebaik mungkin membekali Gugatannya dengan Bukti-bukti yang lengkap dan Ilmiah, karena pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya MK belum pernah sekalipun memenangkan Gugatan di level Pilpres, meskipun dalam Tingkatan Pilkada hal tersebut pernah dilakukannya.
Hal ini karena selalu yang dijadikan patokan dalam Gugatan Pilpres adalah persoalan Kuantitatif, bukan Kualitatif. Demikian juga sulitnya membuktikan gugatan tersebut telah memenuhi syarat TSM (Terstruktur Sistematis Masif) berdasarkan paradigma yang selama ini dianut oleh MK tersebut.
Terlebih bilamana melihat Data Pembanding yang akan diuji nantinya di MK adalah berdasarkan Angka Hasil Pemilu yang diterbitkan oleh KPU berdasarkan Pengumuman Finalnya pada hari Rabu (20/3/2024) pukul 22.19 WIB sebagaimana yang sudah dibacakan oleh Ketua KPU, Sdr HA dengan terbata-bata, bahkan sempat diskors 30 menit lebih yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya, itu sebagai Hal yang sangat Rungkad tersebut, bagaimana bisa sebuah Keputusan Penting masih saja ada Koreksi di Last-Minute saat dibacakan dan bahkan diskors lebih dari setengah jam.
Mengapa Data Pembanding KPU ini perlu dicermati, karena sebenarnya Pemohon Gugatan di MK tidak bisa hanya berdasarkan kepada Hasil yang sudah (di) jadi (kan) KPU tertanggal 20/3/2024 jam 22.19 WIB tersebut, tetapi harus pula mendapatkan Sumber Data yang digunakan untuk membuat "Hasil Jadi" itu.
Ini bukan lagi soal Apakah Angkanya berasal dari Sirekap yang sudah Rungkad semenjak 2 minggu yang lalu atau berasal dari cara Manual Berjenjang yang tidak bisa dimonitor oleh Masyarakat secara terbuka pergerakannya, tapi ini masalah Sumber Data atau File Angka Asli yang digunakan untuk menjumlahkan dari 820.223 TPS di 38 Provinsi di seluruh Indonesia tersebut.
Jadi mau angkanya berasal dari SIREKAP (yang sudah RUNGKAD, meski sekali lagi saya tetap mengusulkan kepada pihak-pihak terkait untuk menuntut Pertanggungjawaban KPU dengan Audit Forensik dan Audit Investigatif akan hal tersebut), atau Manual Berjenjang, semua harus ada "Sumber Angka" yang bisa dipertanggungjawabkan dan dibuka pada Publik bilamana diperlukan, sesuai UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Artinya sumber angka ini harus dalam Format Umum yang bisa dibuka dengan Program yang Lazim digunakan oleh Masyarakat, bukan Program khusus, apalagi di-Enskripsi atau disandikan karena merupakan Hak Publik untuk mengerti data yang biasa disebut "babon" atau Mentah tersebut.
Data "babon" atau Induk Data ini lazim disimpan dalam Format CSV atau singkatan dari "Comma Separated Values" yang kadang bisa disebut "Character Separated Values" atau Comma Delimited files. File CSV adalah file teks biasa yang berisi daftar data dan sering digunakan untuk bertukar data antara aplikasi yang berbeda. Pada umumnya file CSV tersebut menggunakan karakter koma untuk memisahkan (atau membatasi) antar data, tetapi terkadang menggunakan karakter lain, seperti titik koma.
Artinya, dengan menggunakan file CSV kita dapat memindahkan data dari satu sistem ke sistem lainnya dengan lebih mudah, dan tanpa melakukan input manual satu-persatu. Idenya adalah bahwa kita dapat mengekspor data kompleks dari satu aplikasi ke file CSV, dan kemudian data itu bisa di impor/upload ke aplikasi lain.
Jadi file CSV lazim digunakan, misalnya di Program MIcrosoft Excel. File CSV menyimpan informasi yang dipisahkan koma, bukan menyimpan informasi dalam kolom. Saat teks dan angka disimpan dalam file CSV, mudah untuk memindahkannya dari satu program ke program lain.
Celakanya, atau boleh kita bilang Akal Bulusnya, terungkap dalam Persidangan di KIP (Komisi Informasi Pusat) berdasarkan Permintaan dari YAKIN (Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia) beberapa hari lalu.
Ternyata KPU sudah berusaha untuk menghindar (baca: menutup Akses Publik) terhadap File-file CSV Data Babon TPS-TPS itu dengan menerbitkan Keputusan (Internal) Nomor 345 Tahun 2024 pada 17/3/2024 ("baru saja diterbitkan" untuk mengantisipasi Sidang di KIP) yang ditandatangani langsung, lagi-lagi oleh Ketua KPU, Sdr HA dan – ini anehnya – menetapkan File-file CSV tersebut adalah Hal yang "dikecualikan" alias tidak bisa dibuka ke Publik dan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun lamanya sampai tahun 2027.
Ini benar-benar hal "Ajaib bin Sikarep" alias seenaknya sendiri membuat sebuah Keputusan yang menabrak Logika Akal Sehat.
Bagaimana bisa Data Babon Hasil Pemilu yang seharusnya merupakan 100% Hak Publik tersebut minta untuk dikecualikan dan dirahasiakan dari Akses Masyarakat? Belum lagi Kurun waktunya – selama 3 tahun – yang sangat tidak masuk akal, karena masa jabatan KPU sekarang juga berakhir tahun 2027, sehingga bisa jadi modus untuk lari dari tanggungjawab.
Seharusnya KIP tidak mengabulkan atau bahkan menganulir Keputusan Irasional KPU tentang Pengecualian Data Babon CSV tersebut.
Kesimpulannya, semakin jelas bahwa Pemilu 2024 dikhawatirkan bisa dianggap oleh Masyarakat sebagai "sangat tidak transparan Data-datanya", karena Publik bisa berpendapat "Bagaimana Masyarakat bisa percaya dengan Hasil Data yang hanya dibacakan langsung hasilnya kemarin, tanpa bisa mendapatkan Sumber Data atau Data Babon CSV-nya?"
Wajar sampai-sampai disebut "1001 alasan atau Akal Bulus" digunakan untuk menutupi hal tersebut dengan alasan Kerahasiaan Data yang membuatnya sebagai "Informasi yang dikecualikan". Selain Sirekap yang sudah Rungkad, Akal Bulus Menyembunyikan Data Babon ini memang benar-benar sudah Sikarep namanya ... (*)