Makan Bergizi Gratis Hanya Mengejar Tujuan Antara, Bukan Tujuan Utama
Pada era Prabowo Subianto nantinya, program mencari, merekrut, dan menyekolahkan anak-anak terbaik bangsa ke luar negeri juga tidak menjadi prioritas. Prabowo justru mengedepankan Program “Makan Bergizi Gratis” dengan anggaran Rp 450 triliun per tahun.
Oleh: Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI
PRABOWO Subianto baru saja merevisi nama program andalannya selama pemilu 2024 lalu, yaitu makan siang gratis menjadi makan bergizi gratis. Alasannya tidak ada yang signifikan. Sehingga, pergantian judul program itu mencerminkan bahwa program tersebut tidak matang.
Setelah pergantian nama, akankah terjadi pergantian waktu pelaksanaannya, pergantian alokasi anggarannya pada APBN dan pergantian kementrian yang akan melaksanakannya? Bila itu terjadi menunjukkan bahwa program tersebut tidak dirancang dengan baik.
Namun ada yang membuat program tersebut menjadi tidak jelas yaitu apa sebenarnya tujuan dari program makan bergizi gratis ini? Bila Prabowo mengatakan bahwa 25 persen anak Indonesia kekurangan gizi sehingga perlu diperbaiki. Itu hanyalah tujuan antara, bukan tujuan utama. Tujuan utamanya justru sengaja tidak diperhatikan Prabowo. Apa itu?
Mark Zukerberg berkunjung ke Indonesia menerima undangan Presiden Jokowidodo mengatakan; “Dari jumlah penduduk Indonesia yang besar seharusnya persentase orang pintarnya banyak. Tapi saya tidak melihatnya di Amerika. Saya hanya melihat orang China, India, dan Jepang.”
Sudah menjadi rumus pasti, ketika penduduk yang besar persentase kemunculan anak-anak cerdas akan besar juga. Anak itu bisa lahir dari orang kaya yang berkecukupan gizi ataupun dari orang miskin yang tidak cukup gizi. Karena kejeniusan seorang anak itu berkah dari Tuhan, bukan proses usaha manusia.
Sukarno tahun 1960 sudah membuat program untuk mencari, merekrut, dan menyekolahkan putra-putri terbaik dari berbagai daerah untuk dikirim ke negara maju di Eropa Barat maupun Eropa Timur dan Jepang. Ada dua program beasiswa Sukarno, yaitu Beasiswa Ikatan Dinas dan Beasiswa Pampasan Perang atau Baisyo Ryugakusei, dana beasiswa dari pemerintah Jepang.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno lebih memilih mengeluarkan banyak biaya untuk menyekolahkan anak-anak terbaik bangsa daripada membuka selebar-lebarnya pintu investasi asing. Hal itu dilakukan agar kelak kekayaan alam bumi pertiwi bisa sepenuhnya diolah dan dimanfaatkan oleh putra-putri bangsa untuk kemajuan negeri.
Sayang tidak semua hasilnya bisa dipanen, karena Prahara ’65. Salah satu hasil yang bisa dipetik adalah Profesor BJ Habibie. Selain Habibie, program Sukarno sebenarnya menghasilkan banyak orang jenius Indonesia yang sukses di luar negeri. Namun pemerintahan militeristik Suharto telah membuat mereka tidak berminat kembali.
Pada era Suharto, program beasiswa mengirimkan anak Indonesia belajar ke luar negeri sangat digalakkan. Tentunya dikirimkan ke negara blok barat saja. Jerman menjadi negara tujuan belajar utama. Kedua adalah Amerika Serikat. Sayang hasilnya juga tidak bisa dipanen karena Krisis ’98. Mahasiswa cerdas lebih betah bekerja di luar negeri.
Pada Era Reformasi program mencari, merekrut, dan menyekolahkan anak-anak cerdas bangsa ke luar negeri sudah tidak menjadi prioritas. Puncaknya, Jokowi yang mengaku Sukarnois justru telah membuka selebar-lebarnya investasi asing. Bahkan pekerja asing. Untuk mengeruk dan menghabisi sumber daya alam Indonesia.
Pada era Prabowo Subianto nantinya, program mencari, merekrut, dan menyekolahkan anak-anak terbaik bangsa ke luar negeri juga tidak menjadi prioritas. Prabowo justru mengedepankan Program “Makan Bergizi Gratis” dengan anggaran Rp 450 triliun per tahun.
Program boros yang tidak dituntun oleh sejarah sama sekali.
Ibarat dalam dunia militer, Prabowo sedang mempersiapkan prajurit kuat dan hebat agar Indonesia disegani pihak agresor. Tapi Prabowo tidak mencari, merekrut, dan menyekolahkan calon ilmuwan ke luar negeri. Agar Indonesia dapat menciptakan senjata nuklir. Sehingga tidak ada satu negara pun yang berani menyerang. (*)