Melawan Main Kayu

Resolusi Jihad yang lahir di Surabaya dan pertempuran 10 Nopember 1945 yang dikomandani oleh Bung Tomo adalah contoh baik, bagaimana perlawanan rakyat, kegotong-royongan, keberpihakan rakyat tak bisa dikalahkan.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

MAIN kayu artinya bermain dalam sebuah pertandingan yang tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada. Main kayu biasanya dilakukan oleh mereka yang tak yakin menang. Sehingga agar bisa menang semua cara dilakukan, tidak peduli melanggar aturan atau tidak.

Inilah yang disebut dengan Machiavellian. Sebuah paham yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertandingan.

Praktik main kayu dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah dengan memberikan uang atau fasilitas kepada pemilih agar memilih kandidat tertentu. Selain itu, main kayu juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan instrumen negara dan mengancam atau membujuk pemilih agar memilih calon tertentu.

Main kayu dalam kontestasi demokrasi pilpres 2024 setidaknya menjadi indikator bahwa demokrasi telah lumpuh dan sekarat, apalagi negara yang seharusnya menjaganya, justru menjadi pelaku utamanya. Negara mempertontonkan praktik culas mengangkangi demokrasi. Mendukung calon tertentu dan tak malu membenamkan etika atas nama hukum. Dampaknya, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah.

Apa yang dilakukan Joko Widodo dalam pilpres 2024 dengan memaksakan dukungan kepada Prabowo Subianto serta menyandingkan dengan sang putra mahkota Gibran Rakabuming Raka adalah sebuah potret main kayu, melanggar etika dan memaksa hukum untuk melegalkan.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi adalah hak politik, tapi ketika memaksakan sang putra menjadi cawapres Prabowo dengan memperkosa hukum adalah sebuah pelanggaran etik, karena hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang memberantas kolusi, korupsi nepotisme.

Perilaku main kayu ini tentu akan membuat lawan politik dalam kontestasi pilpres harus berhati-hati dan cermat agar tidak terpancing dalam permainan itu. Perilaku main kayu ini juga harus dipahami sebagai cermin kegelisahan Jokowi dan kawan kekuasaannya. Tentu tujuannya adalah menciptakan ketakutan lawan dan lawan akan sibuk merespon dan menjadi tersandera dengan ketakutan yang ditimbulkan.

Pasangan Ganjar Pranowo – Mahmud MD yang didukung oleh PDIP serta Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar yang didukung oleh partai Nasdem, PKS dan PKB serta partai Ummat, akan menjadi pihak-pihak yang dipaksa untuk meladeni permainan itu, agar suasana menjadi semakin gaduh dan keras.

Dalam suasana itulah akan mudah bagi pemegang kekuasaan menghentikan permainan. Lalu yang akan rugi kita semua rakyat Indonesia, sementara yang diuntungkan adalah mereka yang menikmati kekuasaan selama ini. Bukankah memang itu yang diharapkan Jokowi selama ini, perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu.

Sikap Tim AMIN dan Tim GM berbeda dalam menyikapi permainan keras itu, Tim GM lebih berhati-hati, karena sikap tim GM masih sangat bergantung dengan ceruk suara Jokowi, juga setidaknya PDIP masih tersandera dengan masa lalunya ketika bersama Jokowi.

Berbeda dengan sikap tim Amin yang tegas mengusung perubahan dan perbaikan, terasa tak ada beban, karena Anies sendiri tak punya beban dan dosa masa lalu terhadap rakyat. Meski PKB dan Nasdem pernah menjadi bagian dari masa lalu Presiden Jokowi, namun keberanian kedua partai itu mengambil sikap berlawanan menyelamatkan demokrasi, patut diacungi jempol.

Kapten Timnas AMIN Muhammad Syaugi Alaydrus, justru bersikap lebih tegas dalam meladeni permainan itu, ladeni permainan itu, dan tetap berada dalam koridor aturan yang ada. Tim Amin bermain cantik dan tegas mengatur ritme permainan.

Bukan hanya tim lapangan yang diajak untuk mengawal permainan, tapi para pendukung di luar lapangan juga diajak terlibat dalam mengawal permainan yang diperagakan itu. Sebuah kolaborasi apik antara tim yang terdiri dari pemain dan pendukung.

Pernyataan Syaugi agar rakyat melawan bila terjadi kecurangan dan selesaikan di TPS adalah sebuah sikap yang patut diacungi jempol, sebuah sikap tegas mengembalikan kewibawaan rakyat dan demokrasi di tengah melemahnya kepercayaan terhadap aparat hukum dan pemerintahan.

Pasangan Amin yang mengusung perubahan tentu akan lebih massif dalam mendorong rakyat terlibat dalam pengawasan, sehingga menyiapkan pasukan berani mati menyelamatkan demokrasi dan NKRI harga mati adalah sebuah keniscayaan.

Genderang perlawanan rakyat sudah ditabuh, sebagaimana yang pernah terjadi ketika para pahlawan mengalahkan penjajah, para ulama dan kiai serta tokoh-tokoh perlawanan, berbaur, berjibaku untuk bergandengan tangan saling menguatkan.

Resolusi Jihad yang lahir di Surabaya dan pertempuran 10 Nopember 1945 yang dikomandani oleh Bung Tomo adalah contoh baik, bagaimana perlawanan rakyat, kegotong-royongan, keberpihakan rakyat tak bisa dikalahkan.

Semoga 14 Pebruari 2024 adalah bentuk lain perlawanan rakyat sebagaimana yang pernah terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945 dan menghasilkan kemerdekaan dan melepaskan Indonesia dari cengkraman penjajahan oligarki. (*)