Memaknai Kemerdekaan dalam Maqashid as-Syariah
Tugas sosial pertama manusia dalam kerangka pengabdiannya kepada sang Pencipta adalah fungsi kekhilafahan. Yaitu menjadi agen samawi dalam menjaga dan membangun bumi ini. Karenanya isu lingkungan menjadi sangat krusial dan maha penting dalam konteks keagamaan.
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Presiden Nusantara Foundation
HARI Sabtu, 17 Agustus 2024, bangsa Indonesia menyambut Hari Ulang Tahun RI yang ke-79 dengan riang dan penuh semangat. Beragam aktivitas dipersiapkan. Dari upacara penaikan bendera Merah Putih hingga berbagai perlombaan menjelang hari peringatan peristiwa terpenting bangsa ini.
Di tengah kegembiraan ini tentu ada baiknya kita semua kembali merenungi makna dan hakikat dari Kemerdekaan yang dirayakan itu. Hal ini menjadi penting agar perayaan itu tidak sekedar menjadi acara seremonial tahunan yang kurang bermakna.
Kemerdekaan dan Maqashid as-Syari’ah
Kali ini saya mencoba menghubungkan kemerdekaan dengan Maqashid As-Syari’ah tujuan-tujuan utama dari pelaksanaan Syariah atau hukum Islam. Dengan memahami Maqashid (the goals) Syariah diharapkan akan mengurangi stigma atau persepsi yang salah tentang Syariah itu sendiri.
Diakui atau tidak, Syari’ah masih sering dipahami secara literal dan sempit, baik oleh sebagian Umat Islam sendiri apalagi non-Muslim. Akibatnya Syariah seringkali menjadi momok yang menakutkan tidak saja bagi non Muslim. Bahkan banyak di antara mereka yang mengaku Muslim juga ketakutan alias Phobia dengan Syariah.
Padahal jika saja kita paham secara benar dan baik, jauh dari tendensi prejudice dan kebencian, pastinya Syariah akan diapresiasi, bahkan akan dirasakan sebagai kebutuhan bagi kehidupan manusia. Syariah akan menjadi pintu bagi terwujudnya nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti HAM, kebebasan, keadilan dan kebahagiaan.
Saya dapat mengatakan bahwa Maqashid as-Syariah dan Kemerdekaan (Al-Istiqlal) merupakan dua entitas yang senyawa. Semua elemen atau ‘anasir Maqashid as-Syariah secara mendasar juga menjadi tujuan utama dari deklarasi kemerdekaan. Yang berbeda hanya pada kisaran teknis dan metode untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia itu.
Sebagaimana disepakati oleh para Ulama Islam, khususnya para ahli di bidang hukum Islam atau Syariah, ada lima tujuan utama (Maqashid) dari hukum Islam sebagai berikut:
Hifzul hayaah (menjaga kehidupan); Hifzu ad-diin (menjaga agama); Hifzul ‘Irdh wa an-nasl (menjaga kehormatan dan keturunan); Hifzul ‘aqal (menjaga akal); Hifzul maal (menjaga harta atau kepemilikan).
Dalam perkembangan selanjutnya, ada kecenderungan untuk menambah satu lagi dari tujuan Syariah. Yaitu Hifzu al-bii’ah atau menjaga lingkungan hidup. Secara umum Syariah juga bertujuan untuk menjaga bumi, rumah bersama manusia. Menjaga lingkungan adalah salah satu tugas utama manusia sebagai khalifah di atas bumi ini.
Jika saja kita renungi lebih jauh tentang makna dan tujuannya akan didapati bahwa Maqashid as-Syariah di atas dan kemerdekaan dalam pandangan Islam pada hakikatnya semakna dan senyawa.
Apalagi jika agama secara umum dan Syariah secara khusus dikaitkan dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan semakin sangat wajar dan relevan jika tujuan Kemerdekaan sesungguhnya memiliki ikatan yang kuat dengan Maqashid as-Syariah itu.
Hidup Itu Merdeka
Maqashid as-Syariah yang pertama adalah “hifzul hayaah” atau menjaga kehidupan. Sejatinya pada konteks ini esensi kemerdekaan merupakan kehidupan itu sendiri. Orang yang tidak merdeka sesungguhnya secara esensi sedang mengalami kematian. Dan karenanya memperjuangkan Kemerdekaan itu adalah memperjuangkan kehidupan.
Dengan sendirinya dapat dipahami bahwa penjajahan sesungguhnya perampasan hak hidup. Itulah yang menjadikan Bilal bin Rabah merasa lebih nyaman dan kuat dengan “Laa ilaaha illa Allah”, bahkan di saat-saat nyawanya sedang terancam.
Kemerdekaan yang dirayakan tersebut hendaknya memperbaharui semangat dan tekad kita untuk membangun kehidupan yang bermartabat dan mulia. Tentu kehidupan yang bermartabat di segala lininya, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan pada aspek moral dan kemanusiaan.
Beragama Itu Merdeka
Maqashid as-Syariah yang kedua adalah memastikan bahwa nilai-nilai agama hidup dan terjaga. Dengan agama kehidupan manusia bermakna dan sesungguhnya. Dengan agamakah kefitrahan hidup akan terjaga. Dan hanya dengan fitrah manusia hidup dengan sesungguhnya.
Karenanya, Kemerdekaan yang dirayakan harus memberikan jaminan dan kebebasan dalam kehidupan beragama. Pengakuan kemerdekaan seraya memarjinalkan agama dan pemeluknya akan menjadikan kemerdekaan seolah pengakuan palsu. Mungkin di sinilah salah satu letak kedunguan ketika paskibraka putrì yang berhijab diminta melepaskan jilbabnya.
Syariah hadir untuk menjaga agama (hifzud diin). Maka wujud Kemerdekaan tersebut hadir untuk memberikan jaminan dalam kehidupan beragama bagi semua warga negara.
Merdeka Itu Menjaga Keturunan
Maqashid as-Syariah yang ketiga adalah hifzun ‘irdh wan nasal (menjaga kehormatan dan keturunan). Pada aspek ini disyariatkan pernikahan dan diharamkannya perzinahan. Dengan demikian kemerdekaan bangsa harus memastikan penegakan hukum demi menjaga karakter dan moralitas bangsa.
Selain memastikan terjaganya karakter dan moralitas anak-anak bangsa, kemerdekaan juga hendaknya dimaknai dengan terwujudnya jaminan masa depan generasi. Jaminan masa depan dalam semua aspeknya, termasuk jaminan pendidikan dan kemakmuran yang berkeadilan.
Merdeka Itu Memuliakan Akal Sehat
Maqashid as-Syariah keempat adalah menjaga akal (hifzul aql). Tentu kata akal (aql) di sini bermakna luas. Termasuk di dalamnya pemikiran, ilmu, bahkan opini atau pendapat. Maka pada kaitan ini Kemerdekaan itu harus menghadirkan jaminan untuk berkembangnya kecendikiawanan dan intelektualitas manusia.
Kemerdekaan bahkan tidak sekedar menjamin kebebasan berpikir dan mengekspresikan opini dan pikiran. Tapi memastikan jika kebebasan berpikir itu terjaga dalam kemuliaan. Bukan atas nama kemerdekaan akal sehat direndahkan. Manusia tidak lagi mengindahkan akal sehat dalam melihat baik-buruknya sebuah masalah.
Merdeka Itu Menjamin Kepemilikan
Maqashid as-Syariah ke-5 adalah menjaga harta (hifzul maal). Saya lebih cenderung menyebutnya “right to ownership” atau hak kepemilikan. Dalam Syariah mencuri itu diharamkan. Bisnis dimotivasi. Riba diharamkan. Semua ini menjadi jaminan bagi semua untuk memiliki.
Kemerdekaan itu harus membangun rasa kepemilikan (sense of ownership). Jangan sampai kemerdekaan dirayakan tapi kepemilikan rakyat dirampok. Konstitusi negara menjamin hak milik warga. Jangan sampai pwnggusuran terjadi di mana-mana atas nama Pembangunan. Apalagi jika pembangunan itu lebih berpihak kepada pemilik modal dan asing.
Syari’ah dan Menjaga Lingkungan
Sebagian Ulama menambahkan Maqashid Syariah dengan memasukkan pentingnya menjaga lingkungan (environment). Isu lingkungan hidup menjadi isu global yang sangat serius. Karenanya agama mengambilnya secara sangat serius pula.
Tugas sosial pertama manusia dalam kerangka pengabdiannya kepada sang Pencipta adalah fungsi kekhilafahan. Yaitu menjadi agen samawi dalam menjaga dan membangun bumi ini. Karenanya isu lingkungan menjadi sangat krusial dan maha penting dalam konteks keagamaan.
Kemerdekaan juga harusnya menjadi momentum untuk kesadaran kolektif akan tanggung jawab lingkungan. Dengan kemerdekaan negara harus memastikan bahwa proses pembangunan tidak boleh mengesampingkan keselamatan bumi.
Jangan sampai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi justeru menghancurkan lingkungan hidup. Karena hal itu mengancam kehidupan (tujuan pertama Syariah) dan generasi (tujuan ketiga Syariah).
Dalam konteks ini saya ingatkan kepada semua ormas Islam yang telah memutuskan menerima tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah. Jangan sampai keinginan untuk memperkuat basis perekonomian, apalagi atas nama perjuangan agama dan umat, tapi melanggar tanggung jawab kekhilafahan (menjaga bumi).
Demikian saya sampaikan makna-makna Kemerdekaan dalam relevansinya dengan Maqashid as-Syariah. Semoga catatan ini bisa mengurangi tendensi alergi dan phobia Syariah. Sekaligus juga membangun kembali kesadaran bangsa bahwa Syariah hadir untuk mewujudkan maqaashid (tujuan-tujuan) yang sejalan dengan tujuan Kemerdekaan itu.
Karenanya jangan lagi ada tendensi pemisahan, bahkan pembenturan antara hukum-hukum agama (syariah) dan negara (Pancasila, UUD, NKRI). Karena bagi bangsa Indonesia, umat Islam itu pada khususnya, komitmen keagamaan (religiositas) dan kebangsaan (nasionalitas) adalah dua entitas yang menyatu.
Dirgahayu RI ke 79. Merdeka! (*)