Menakar Kesaktian “Cawe-Cawe” Presiden
Dan, yang paling substansial lagi adalah: Sebagai manusia beriman dan beragama, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di akhirat apabila berkhianat pada rakyat dan melanggar sumpah jabatan?
Oleh: Anton Permana, Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute
POLARISASI tiga pasangan kandidat Pilpres hari sesungguhnya cukup surprise bagi banyak pihak. Yang sebelumnya teman menjadi lawan, yang dulunya lawan menjadi teman. Artinya, pepatah tua tentang politik di Indonesia itu memang benar yaitu, “Tidak ada kawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan”.
Di pihak Istana contohnya, yang merasa direndahkan dan sering dipermalukan di hadapan publik sebagai petugas partai politik, malah saat ini seakan memperlihatkan kepada kita semua bahwa dirinya adalah seorang king maker yang full power serta menakutkan bagi semua orang.
Sedangkan di suatu sisi, kelompok merah menganggap pihak istana adalah anak durhaka, penghianat, karena lebih mengutamakan ambisi keluarga dan kelompok “elit minority”nya daripada partai politik yang membesarkannya.
Makanya, dua kelompok ini saling melakukan manuver dan “gigit-menggigit” sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Pihak istana menggunakan infrastruktur kekuasaannya melalui aparat hukum dan intelligent menekan dan memreteli kekuatan merah.
Namun yang merah juga tak kalah sangar, perlahan dan pasti mulai “menguliti” topeng-topeng dan perilaku kelompok istana dalam upaya mendegradasi moral dan legitimasi sosial politik penguasa hari ini di mata rakyat.
Namanya penguasa, tentu dengan kekuasaan “cawe-cawe”nya, mempunyai dampak penetrasi yang luar biasa. Walau ternyata tidak juga cawe-cawe tersebut berhasil semuanya. Sebagai contoh, upaya perpanjangan presiden, kontrol opini media, dan soliditas aparatur negara juga tidak 100 persen bisa dikendalikan.
Memang untuk hasil putusan MK, aturan PKPU, dan isu pelibatan aparat keamanan dan intelligent dalam mobilisasi dan exsisting “kecurangan” sudah merebak menyebar cukup berhasil membuat “keder nyali” para tokoh dan politisi. Sehingga, banyak yang anggap Pilpres sebenarnya sudah selesai dan pemenangnya adalah pasangan nomor 02.
Namun sebaliknya, dengan banyaknya terjadi blunder politik yang dilakukan pihak istana sendiri, termasuk begitu masifnya upaya menguliti “borok-borok” istana di sosial media cukup memberikan efek kejut (deterrent effect) meruntuhkan wibawa penguasa.
Pengakuan mantan Ketua KPK, serta keterlibatan ibu negara dalam cawe-cawe suaminya dalam mengantarkan sang anak menjadi Cawapres, cukup berhasil menjadi gempa tsunami politik bagi pihak istana. Ditambah lagi, dalam beberapa dialog langsung dan terbuka dengan masyarakat, pasangan nomor 2 ini juga melakukan blunder memalukan. Baik ketika dialog dengan Kiai kampung masalah stunting, maupun ketika keseleo “asam sulfat” bagi ibu hamil.
Jadi, kesimpulan yang bisa kita ambil dalam seberapa besar pengaruh kekuasaan cawe-cawe Presiden ini dalam mengontrol dan mengendalikan hasil Pilpres 2024 nanti adalah sebagai berikut:
Pertama; Ternyata tidak semua cawe-cawe Presiden itu ampuh dan berhasil sesuai keinginannya. Dengan catatan, pihak di luar istana mesti punya “nyali” dan effort yang kuat untuk melawannya. Ibarat tanding tinju, istana memang jago dalam memukul lawan, tetapi ternyata istana “sangat lemah” dalam bertahan ketika ada pukulan balasan yang dilakukan.
Seperti contoh, Istana hanya jago karena punya kekuasaan memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan manuver dan penetrasi hukum kepada para lawan politiknya. Tetapi ketika ada serangan balik dari lawan politiknya seperti putusan Majelis Kehormatan MK yang mencopot ketua MK, serta tsunami opini politik membongkar dapur istana, ternyata pihak istana “keok” juga.
Kedua; Saat ini, kekuatan cawe-cawe Presiden memang ada pada “otoritas kewenangannya” dalam memanfaatkan pisau kekuasaan melalui aparat hukum dan inteligent. Ditambah infrastruktur ASN, kementerian dan BUMN.
Namun, kekuasaan ini akan bisa terus memudar dan menipis. Karena lambat laun, para pihak aparatur ini tentu juga akan sadar dan melihat secara objektif bahwa masa kekuasaan istana saat ini ibarat “sunset” (matahari yang akan tenggelam).
Hati nurani mereka juga pasti tak bisa bohong. Bahwa, cawe-cawe Presiden saat ini telah merusak dan meluluhlantakkan bangunan indah demokrasi bangsa ini. Konstitusi dikangkangi, tak ada lagi etika moral dan hukum dalam penyelengaraannya. Negara republik sudah bergeser menuju negara dinasti.
Artinya, kekuasaan cawe-cawe Presiden kalau kita semua objektif adalah kekuasaan semu, ibarat kekuatan sihir yang lucunya, kekuatan tersebut adalah atas mandat dari rakyat itu sendiri.
Seharusnya, sangat mudah mandat kekuasaan itu diambil kembali oleh rakyat. Jika para politisinya di partai politik itu punya nyali dan “otak”. Tapi, sayangnya hampir semua elit parpol sudah kalah mental duluan terhadap istana. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya oleh si gembala. Padahal sekali kibas, si kerbau itu bisa membuat si gembala terpelanting dengan mudah.
Ketiga; Kekuatan utama cawe-cawe Presiden tentu juga ada pada logistik uang. Karena menguasai sumber/resource dan juga bisa memanfaatkan anggaran pemerintah seenaknya. Apakah melalui BLT dan bantuan Sembako atas nama Presiden.
Sedangkan di sisi lain, sesuai pengakuan salah satu Paslon Anies Baswedan, selalu ada penjegalan dan intimidasi terhadap para pengusaha yang ingin berikan donasi.
Kesimpulannya adalah. Dari tiga analisis kesaktian cawe-cawe Presiden tersebut hanya bisa dilawan kalau rakyat dan para komponen kekuatan civil society bersatu. Baik itu partai politik, ormas, tokoh agama-adat-nasional. Termasuk para mahasiswa dan akademisi. Wabil khusus para apartur negara dan TNI/POLRI.
Bagaimana mempunyai kesadaran kolektif, integritas moral dan nyali keberanian untuk bersama melawan segala bentuk cawe-cawe Presiden saat ini dalam upaya membangun ambisi politik dinasti keluarganya.
Jangan korbankan harga diri, dan kehormatan institusi hanya demi “menjilat” pada pengusa yang toh sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Terlalu beresiko apabila kalian kalah dan di-roasting masyarakat.
Apa gunanya lagi pangkat jabatan, kalau akibat prilaku kejahatan berdemokrasi kalian di Pilpres mendapat sanksi sosial dan hukuman sosial dari rakyat. Karena, tidak selamanya kalian menjabat. Suatu saat pasti akan pensiun juga dan kembali kepada rakyat menjadi rakyat biasa.
Dan, yang paling substansial lagi adalah: Sebagai manusia beriman dan beragama, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di akhirat apabila berkhianat pada rakyat dan melanggar sumpah jabatan?
Jabatan dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu kekal dan nyata. Di mana perilaku, kebaikan, dosa dan pahala kita sendiri yang akan menjadi hakim di akhirat kelak. Wallahu’alam. (*)