Meneguhkan (Kembali) Pendidikan Moral Pancasila
Pendidikan Moral Pancasila adalah kunci untuk menjaga integritas dan karakter bangsa di tengah tantangan globalisasi. Tanpa fondasi moral yang kuat, bangsa ini rentan terpecah oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang bertentangan dengan cita-cita Pancasila.
Oleh: Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan
MALU sudah, kalau masih punya malu. Hancur sudah, kalau masih berpikir jernih. Semakin hari, penjaga gawang republik berupa pendidikan diterjang ketidakjujuran akut. Apa tengarainya? Salah satunya adalah temuan riset Vit Machacek dan Martin Srholec dari Republik Ceko (2022).
Menurut penelitian mereka ini, Indonesia menempati peringkat kedua dalam hal "ketidakjujuran akademik" di dunia, dengan persentase 16,73%. Peringkat pertama ditempati oleh Kazakhstan dengan 17%, sedangkan Irak menempati posisi ketiga dengan 12,94%.
Tentu ini memilukan dan memalukan. Bangsa besar dan Negara Pancasila yang dulunya punya kurikulum moral dan etik (PMP) kini makin tertradisi untuk tidak jujur. Lebih ngeri lagi, itu terjadi di dunia pendidikan.Padahal, ketidakjujuran itu pangkal kehancuran. Jika tak cepat diatasi, semua prestasi di masa lalu akan hancur dan hilang. Di sinilah perlu menghadirkan kembali kurikulum Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Kita tahu bahwa pendidikan moral adalah bagian tidak terpisahkan dari pembentukan karakter dan mental suatu bangsa. Terutama bangsa yang memiliki keragaman sosial, budaya dan agama seperti Indonesia. Dan, Pancasila sebagai Dasar Negara itu, bukan hanya sebuah dokumen normatif yang menjadi pedoman konstitusi kenegaraan, tapi juga harus menjadi panduan moral bagi setiap warga negara.
Pentingnya Pendidikan Moral Pancasila dalam membentuk karakter bangsa semakin relevan di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital. Pendidikan moral ini tidak hanya mengajarkan apa yang benar dan salah, tetapi juga mendorong terbentuknya masyarakat yang Pancasilais – beretika, berkarakter dan berdedikasi tinggi pada kemajuan bangsa.
Mahfud MD (2023) dalam sebuah diskusi di Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa banyak pejabat yang tidak merasa malu ketika terlibat dalam pelanggaran hukum. Mereka telah melakukan tindakan yang jelas melanggar moral dan etika, namun merasa tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan.
Hal ini menunjukkan adanya krisis karakter di kalangan elit pemerintahan. Hal ini merupakan hasil dari kurangnya penekanan pada pendidikan moral berbasis Pancasila di tingkat pendidikan dan lingkungan kerja mereka
Landasan Filosofis Pancasila sebagai Moral Bangsa
Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara; ia adalah ideologi yang memiliki nilai-nilai universal dan relevan di berbagai lapisan kehidupan masyarakat.
Soekarno (1946), dalam salah satu pidatonya, menegaskan bahwa Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia, yang menghidupkan dan mengarahkan perjalanan sejarah bangsa.
Kelima sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai fundamental seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Haedar Nasir (2021) menekankan bahwa Pancasila adalah "pedoman moralitas publik" yang memandu segala aspek kehidupan sosial-politik bangsa kita.
Dus, dalam konteks pendidikan moral, Pancasila seharusnya menjadi rujukan etika dan perilaku masyarakat dalam setiap aktivitas kehidupan sehari-hari, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.
Pendidikan Moral Pancasila sebagai Instrumen Pembentukan Karakter!
Pendidikan Moral Pancasila berfungsi sebagai instrumen penting dalam pembentukan karakter bangsa. Yusuf Setyadi (1999) dalam kajiannya, menekankan bahwa pendidikan moral itu adalah "fondasi dasar dalam menciptakan warga negara yang bertanggung jawab". Nilai-nilai seperti gotong royong, keadilan dan toleransi yang terkandung dalam Pancasila seharusnya tidak hanya diajarkan sebagai teori, tetapi diinternalisasi melalui praktik sehari-hari.
Dalam dunia pendidikan formal, Pancasila harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sebagai langkah pendekatan holistik, bukan sekadar pelajaran formal, tetapi juga pembentukan sikap dan perilaku di dalam lingkungan sosial.
Sekolah, universitas dan lembaga pendidikan lainnya harus menjadi tempat di mana siswa-siswi tidak hanya menghafal sila-sila Pancasila, tetapi juga memahami, merasakan, dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka. Jika hal ini diterapkan, maka kasus-kasus bullying dan kasus-kasus pelanggaran moral di institusi pendidikan tidak seharusnya terjadi, dan generasi muda kita menjadi generasi Pancasilais.
Pentingnya Keteladanan dalam Pendidikan Moral Pancasila
Salah satu prinsip penting dalam pendidikan moral adalah adanya keteladanan. Guru, orang tua, pemimpin masyarakat dan pejabat publik harus mampu menjadi contoh konkret dalam pengamalan Pancasila. Tanpa keteladanan, pendidikan moral akan kehilangan esensi dan relevansinya. Di sini tesisnya, para nabi pun (Muhammad dll) diperintahkan untuk "memberi teladan ahklakul karimah". Ini catatan vitalnya.
Soekarno (1947) dalam banyak kesempatan sering menekankan pentingnya "revolusi mental" sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa, di mana seluruh pemimpin bangsa harus menjadi pionir dalam penerapan nilai-nilai Pancasila.
Keteladanan menjadi kunci dalam menjembatani teori dan praktik dalam pendidikan moral, dan tanpa itu, upaya pendidikan moral akan sulit diterima oleh generasi muda.
Belakangan kita lihat ada pejabat kita yang juga sering manggaungkan istilah "revolusi mental". Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan "mental keteladanan" dari para pejabat itu sendiri. Kita bisa saksikan justru masih banyak pejabat yang tersangkut kasus pelanggaran moral dan hukum, hingga hari ini.
Penerapan Pendidikan Moral Pancasila di Era Digital
Era digital membawa tantangan baru dalam pendidikan moral. Informasi yang tak terbatas dan akses terhadap berbagai budaya dan ideologi asing membuat masyarakat, terutama generasi muda, rentan terhadap pengaruh negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Karenanya, Pendidikan Moral Pancasila harus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Franz Magnis-Suseno (2000) mengingatkan, “Pancasila harus menjadi filter dalam menghadapi arus globalisasi dan teknologi yang kerap kali tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia". Dengan demikian, integrasi nilai-nilai Pancasila dalam teknologi pendidikan sangat penting, baik melalui media sosial, konten digital, hingga platform pendidikan berbasis teknologi lainnya.
Generasi digital harus didorong untuk memahami bagaimana nilai-nilai kebangsaan bisa diterapkan dalam dunia virtual. Kita harus sediakan platform-platform digital yang mengusung tema-tema Pancasilais. Kita harus sediakan alat-alat ideologis dalam dunia digital sehingga tidak ada ruang publik yang rawan dari kooptasi ideologi asing.
Pendidikan Moral Pancasila untuk Menciptakan Masyarakat Pancasilais
Tujuan utama Pendidikan Moral Pancasila adalah untuk membentuk masyarakat yang Pancasilais. Yaitu, masyarakat yang mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan mereka. Masyarakat Pancasilais tidak hanya memahami apa itu Pancasila secara teoritis, tetapi juga bisa menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkungan keluarga hingga komunitas yang lebih luas.
Yusuf Setyadi (2009) menegaskan, "Pendidikan moral adalah proses berkelanjutan yang bertujuan membentuk generasi berkarakter, dengan nilai-nilai yang berakar pada Pancasila". Dalam hal ini, Pendidikan Moral Pancasila tidak hanya berlaku di sekolah (formal, informal dan non formal), tetapi harus dipraktikkan di setiap sektor kehidupan, termasuk dalam urusan ekonomi, politik dan sosial.
Pendidikan Moral Pancasila adalah kunci untuk menjaga integritas dan karakter bangsa di tengah tantangan globalisasi. Tanpa fondasi moral yang kuat, bangsa ini rentan terpecah oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang bertentangan dengan cita-cita Pancasila.
Untuk itu, pendidikan moral harus diperkuat di segala lini, dengan melibatkan semua pihak—mulai dari pendidik, pemimpin, hingga masyarakat luas. Melalui pendidikan moral yang holistik dan berbasis Pancasila, kita dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beretika dan berkarakter.
Dengan begitu, negara akan kuat, berwibawa, martabatif, berdaulat di semesta. Semoga saja pemerintahan baru segera bergerak melaksanakannya. (*)