Menelan Pil Pahit Demokrasi, Pemilu Curang dan Pemimpin Korup

Ketidakpercayaan rakyat dapat memicu demonstrasi dan kerusuhan, yang dapat membahayakan stabilitas politik. Maka akan lahir pula pemimpin yang tidak kompeten, pemimpin yang dipaksakan, pemimpin yang tidak memiliki basi dukungan yang riil.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DEMOKRASI bagaikan sebuah pohon rindang yang menaungi rakyat. Akarnya adalah konstitusi, batangnya adalah pemilu, dan rantingnya adalah pemimpin yang dipilih rakyat. Namun, apa jadinya jika pohon demokrasi ini dirusak oleh praktik curang dan kotor dalam proses pemilu?

Pemilu yang curang, diwarnai dengan manipulasi suara, penyuapan, dan intimidasi, dipastikan akan menghasilkan pemimpin yang berpotensi melanggar etika dan aturan hukum. Pemimpin yang lahir dari kecurangan ini akan lebih mementingkan keuntungan pribadi dan kelompoknya daripada untuk kesejahteraan rakyat.

Ibarat menelan pil pahit, rakyat dipaksa untuk menerima pemimpin yang tidak memiliki integritas dan moralitas. Kepercayaan rakyat terhadap demokrasi pun terkikis, digantikan oleh rasa frustrasi dan kekecewaan. Pemilu yang curang dan pemimpin yang korup adalah racun bagi demokrasi. Kita harus bersama-sama menjaga demokrasi dengan memastikan pemilu yang bersih dan jujur, dan memilih pemimpin yang berintegritas dan moralitas tinggi.

Fakta di lapangan menunjukkan pelaksanaan Pilpres 2024 banyaknya praktik-praktik kotor dalam proses pemilu sebagai jalan mulia demokrasi.

Misalnya, di beberapa daerah yang digambarkan dalam video-video yang beredar, kertas suara dicoblos oleh petugas dan diarahkan pada salah satu paslon yang juga memiliki kekuasaan dan dukungan logistik yang tak terbatas, dan bahkan rumor yang beredar juga dikatakan parktik kotor yang dilakukan itu bila lolos maka akan ada hadiah bagi siapa saja yang bisa membantu meloloskan keculasan tersebut.

Hal lain yang bisa dijumpai adalah beredarnya video hasil rekapitulasi suara antara yang ada di website resmi penyelenggara pemilu dengan form C-1 yang ada di TPS, sehingga diduga terjadi manipulasi suara, penggelembungan suara, penghitungan suara yang tidak akurat, dan terjadi penyalahgunaan surat suara.

Fakta lain adalah adanya serangan fajar dan politik uang yang tertangkap tangan di beberapa tempat, seperti di Surabaya, yang digunakan untuk memilih paslon tertentu.

Adanya intimidasi dan ancaman kepada pejabat tertentu dengan menggunakan instrumen hukum untuk melakukan mobilisasi suara kelapangan dengan cara melakukan intimidasi dan ancaman dengan menakut-nakuti pemilih agar tidak memilih calon tertentu atau golput, beredar kabar pula para kepala desa yang bermasalah akibat penyalahgunaan dana desa didatangi aparat agar mau memobilisasi perolehan suara paslon tertentu dengan menghalalkan segala cara yang melanggar etika berdemokrasi.

Fakta lain adalah menjadikan media sebagai alat menyebarkan informasi bohong dan fitnah tentang calon tertentu yang dianggap mengancam kekuasaan serta memobilisasi media untuk keuntungan paslon tertentu.

Data quick count dan survei yang mestinya ilmiah dan netral, kini tak lagi bisa dipercaya, karena diduga telah diarahkan ke paslon tertentu karena memang hasil survei dan quick count tak lebih memenuhi pesanan dari si pemilik kepentingan untuk memenangkan pilpres.

Hilangnya rasa malu berakibat adanya pelanggaran berlapis-lapis dalam proses penyelenggaraan pemilu yang seharusnya berlangsung jujur dan adil. Hal inilah yang menyebabkan rakyat tidak percaya lagi pada proses-proses demokrasi. Tentu ini juga akan sangat merugikan masa depan demokrasi yang sudah dibangun bersusah-payah dengan darah dan air mata rakyat, buruh, tani, seniman, akademisi dan mahasiswa.

Sebagai pejuang demokrasi yang mencintai NKRI tentu semua akan terpanggil bagaimana semua bisa menyelamatkan masa depan demokrasi ini dan masa depan Indonesia.

Kita tahu bahwa dampak dari praktik kotor berdemokrasi ini akan menghasilkan pemimpin yang korup. Pemimpin yang akan menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi, menghambat pembangunan dan memperparah kesenjangan sosial. Pemimpin yang seringkali menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat dan membungkam kritik. Maka, rakyat yang kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya, akan menjadi apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam demokrasi. Masa depan demokrasi akan semakin suram.

Suramnya masa demokrasi akan ditandai dengan lahirnya pemimpin yang tidak dipercaya oleh rakyat. Rakyat tidak lagi percaya bahwa suaranya berarti dan bahwa pemilu dapat menghasilkan pemimpin yang legitimate. Selain itu akan muncul Ketidakstabilan politik.

Ketidakpercayaan rakyat dapat memicu demonstrasi dan kerusuhan, yang dapat membahayakan stabilitas politik. Maka akan lahir pula pemimpin yang tidak kompeten, pemimpin yang dipaksakan, pemimpin yang tidak memiliki basi dukungan yang riil.

Kita tak ingin akan lahir gerakan massa yang akan lahir kembali sebagaimana yang terjadi tahun 1998 akibat otoritarianisme, kolusi, korupsi dan nepotisme akibat demokrasi diamputasi oleh rezim orde baru.

Lemahnya demokrasi adalah sebuah ancaman. Demokrasi menjadi lemah dan tidak efektif karena tidak didasarkan pada kehendak rakyat yang sesungguhnya. Dan tentu yang paling membahayakan adalah Munculnya tirani dan pemerintahan otoriter.

Bayangkan sebuah negara di mana pemilu selalu dicurangi. Rakyat tidak memiliki suara dan para pemimpin yang terpilih tidak mewakili kepentingan mereka. Ketidakpercayaan dan frustrasi rakyat memuncak, memicu demonstrasi, dan kerusuhan. Negara tersebut terjerumus dalam kekacauan dan demokrasi runtuh.

Kisah ini mungkin terdengar fiktif, tapi bukan mustahil terjadi. Setidaknya, kecurangan pemilu bisa mengantarkan sebuah negara ke jurang kehancuran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa suara rakyat didengar dan dihormati.

Masih ada harapan dalam rangka menyelamatkan demokrasi, pengawasan rakyat terhadap perhitungan dan rekapitulasi suara yang sedang berproses di KPU, kita percayakan bahwa KPU tidak akan bermain-main dengan suara rakyat dan masa depan demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Semoga! (*)