Meneropong Cagub Jakarta Versi Prabowo

Dengan analisa di atas, kemungkinan besar Prabowo sedang melakukan suatu strategi besar dan tersendiri, yakni melihat pilgub bukan sebagai ajang kompetisi terhadap dirinya. Sehingga cagub Prabowo tidak perlu terasosiasi lagi pada dirinya.

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

BUDI Djiwandono telah membantah pencalonan dirinya sebagai Cagub Jakarta (Daerah Khusus Jakarta) sebagaimana telah menajadi spekulasi beberapa saat lalu, yang dipasangkan dengan Kaesang Pangarep, putera Joko Widodo.

Apalagi manuver Partai Garuda mengubah batas usia kepala daerah untuk calon gubernur, minimal usia 30 pada ketika pendaftaran, menjadi usia 30 pada saat pelantikan, telah disetujui Mahkamah Agung. Bantahan ini telah disampaikan Budi, melalui Kompas, tadi malam, ketika media lainnya belum mengetahui/memberitakan informasi bantahan ini.

(Lihat: https://nasional.kompas.com/read/2024/05/30/20533211/budi-djiwandono-nyatakan-tak-maju-pilkada-jakarta-ditugaskan-prabowo-tetap).

Dalam bantahannya, Budi mengatakan bahwa arahan tentang dirinya dia dapatkan langsung melalui pamannya, Prabowo Subianto. Hal ini menegasi pernyataan Waketum Gerindra sebelumnya bahwa alur informasi pencalonan Budi akan diumumkan ketua hariannya.

Lihat Kompas, 30/5/24, "Muncul Foto Budisatrio Djiwandono dan Kaesang for Jakarta, Gerindra: Itu Aspirasi Masyarakat" setelah mendapat persetujuan Prabowo. Selain mendapatkan informasinya itu langsung dan mengumumkan langsung ke publik, Budi mengatakan bahwa cagub versi Prabowo dan koalisinya sudah ada namanya, cuma belum diumumkan.

Mengapa Prabowo menolak upaya pencaguban Budi, yang berpasangan dengan Kaesang, di Jakarta? Lalu siapakah calon gubernur versi Prabowo? Ini menjadi bahan kajian menarik tentunya.

Pertama, soal munculnya nama Kaesang yang disertai perubahan syarat batas umur telah membuat keresahan di masyarakat.

PKS menganggap MA melanggar UU. Nasdem, melalui Sugeng Suparwoto, menilai tidak perlu membuat instabilitas baru dengan mengulangi cara-cara mirip di MK terkait Gibran Rakabuming Raka yang lalu. Sugeng yang semula mengapresiasi pencalonan Budi dan siap bersinergi dengan Gerindra terlihat kritis dengan isu yang diperkirakan untuk meloloskan Kaesang ke pilgub Jakarta.

Demokrat sendiri, yang menjadi bagian koalisi Prabowo, ragu dengan keputusan MA tersebut. Herman Khaeron, PD, mengatakan seharusnya urusan perubahan terkait UU dilakukan oleh MK, bukan MA. PDIP, melalui jubirnya, Chico Hakim, mengkritik keputusan MA tersebut. Disamping partai, berbagai kelompok masyarakat sipil mengkritik keputusan MA tersebut.

Penjelasan Budi yang bersumber langsung dari Prabowo bahwa sudah ada calonnya Prabowo mungkin berusaha meredam gejolak yang berkembang saat ini. Mungkin pula dia sendiri tidak ingin dimasukkan dalam bagian kemarahan rakyat yang disinggung di atas.

Kedua, konstruksi kekuasaan Prabowo ke depan sangat berhubungan dengan pilihan Prabowo dalam menentukan calon kepala daerah nantinya. Jika Prabowo melihat kekuasan daerah sebagai eksistensi tersendiri dalam bagian kekuasaannya, maka pertarungan atau kompetisi di daerah perlu dilakukannya secara serius. Namun, jika Prabowo menganggap dirinya akan menjadi "penguasa tunggal" ke depan, maka kepala daerah bukanlah sosok pemilik "power" terpisah dari dirinya.

Untuk alasan kedua ini kita perlu pemahaman utuh. Pertama, presiden yang berasal dari mantan tentara akan mempunyai kekuatan super ketika menjadi presiden. Mengapa? Karena dia akan menjadi panglima tertinggi militer. Meskipun sejak era demokrasi hal ini bersifat ambigu, namun faktanya ketika militer menjadi presiden, kekuatan militer solid dan tunduk total pada presiden tersebut.

Kedua, implikasi dari hal di atas, merujuk pada berbagai teori yang menganalisa hubungan militer dan politik di dunia ketiga, presiden tersebut akan memanfaatkan kekuatan militer tersebut sebagai tulang punggung kekuatan dan kekuasaannya.

Pada masa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), yang dibantu 3 eks militer utama, Syamsir Siregar di bidang intelijen, Sudi Silalahi di Istana dan M. Yasin di kalangan sipil, konsolidasi militer dalam menjalankan stabilitas dan pembangunan, khsususnya ketika penanganan Tsunami Aceh dan perundingan dengan GAM, dapat berjalan mulus.

Hanya saja, karena SBY dianggap terlalu dipengaruhi ide-ide demokrasi barat, SBY memberi ruang yang sangat besar untuk sistem politik demokrasi. Sehingga, isu kepala daerah dan desentralisasi, tetap dianggap sebagai eksistensi tersendiri.

Prabowo yang lebih berlatar belakang komando, dibandingkan SBY, tentu saja akan berbeda sekali. Dengan konsolidasi melalui kekuatan dan kekuasaannya atas militer, efektifitas kekuasaannya lahir bukan dari partai politik dan derefatifnya, melainkan dari militer itu sendiri.

Kekuatan dan kekuasaan Prabowo yang cenderung absolut hanya membutuhkan kaum teknokrasi, sebagaimana Pak Harto dulu, dalam menjalankan pembangunan.

Spekulasi Prabowo akan menentukan calon-calon kepala daerah berdasarkan keinginan parpol dan demokrasi murni mulai mengalami keraguan sejak Prabowo ingin menjalankan ide-ide besar seperti makan siang gratis, pendidikan gratis, pertumbuhan ekonomi 8%, pengentasan kemiskinan secara tuntas, dlsb. Ide besar ini hanya bisa berjalan dengan cara pak Harto dahulu, dan sulit dengan cara paska reformasi selama ini.

Prabowo mungkin hanya melihat pilkada hanya salah satu sarana mencari ajang pencarian kepala daerah yang mampu merealisasikan cita-cita besar dia di daerah.

Sebagai "back up", rencana perubahan UU TNI, yang membolehkan TNI bekerja dalam ruang lingkup sipil, seperti kepala daerah atau seksa, boleh jadi akan merupakan "plan B" jika pilkada tersebut gagal seperti yang dia harapkan.

Spekulasi lainnya seperti Prabowo membenci Anies Baswedan dan kecewa dengan PDIP karena belum menyatakan dukungannya sulit untuk dipahami.

Pertama, kita melihat tema persatuan nasional yang kerap digembar-gemborkan Prabowo, lebih khususnya lagi doktrin tentara orde baru bahwa mereka di atas semua golongan, jelas ini akan mengarahkan pada konsolidasi total anak bangsa. Ini terlihat pula Prabowo kurang tertarik lagi dengan mempersoalkan orang-orang yang dulu menghina dia psikopat maupun memecatnya dari militer.

Kedua, bahwa Anies dan Andhika Perkasa, misalnya jika dicalonkan PDIP, pasti akan tunduk pada kekuasan dan kekuatan Prabowo sebagai eks militer yang menjadi presiden, sebagaimana dibahas di atas. Sehingga, siapapun pemenangnya di Jakarta dan pilgub lainnya hanyalah yang terbaik untuk melayani kekuasan Prabowo kelak.

Dengan analisa di atas, kemungkinan besar Prabowo sedang melakukan suatu strategi besar dan tersendiri, yakni melihat pilgub bukan sebagai ajang kompetisi terhadap dirinya. Sehingga cagub Prabowo tidak perlu terasosiasi lagi pada dirinya.

Itu pula mungkin yang melatarbelakangi penolakan dia terhadap pencalonan Budi Djiwandono, sang ponakannya, yang kelak diperkirakan sebagai penggantinya dalam waktu dekat.

Lalu siapa cagub Prabowo di Jakarta? Mungkin Prabowo akan membiarkan siapapun bertarung dan tidak memihak. (*)