Mengaku – Ngaku

Bahkan diperparah saat bicara tentang isu pangan dan food estate-nya, Prabowo tampak seperti menjadi bulan-bulanan. Apalagi ketika bicara tentang penegakkan HAM, Prabowo seakan tak bisa berkutik. Bahkan terkesan Prabowo dikeroyok oleh Anies dan Ganjar.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DALAMNYA laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Peribahasa tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan manusia yang dianggap sulit dimengerti karena mungkin lain di mulut, lain di hati.

Dalam politik kita mengenal dengan istilah panggung depan dan panggung belakang. Di antara keduanya seringkali terlihat berbeda. Perbedaan itulah yang sering disebut kemampuan berbohong tapi tidak terlihat berbohong. Dalam pandangan Baudrillard disebut citra.

Baudrillard sendiri merupakan filsuf postmodern yang mencoba menganalisa mengenai consumer society dalam relasinya dengan sistem tanda. Menurutnya, dalam consumer society yang dikonsumsi bukanlah komoditas, melainkan mengkonsumsi tanda. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan lewat iklan. Di situlah kemudian citra menjadi penting.

Salah satu cara membangun citra adalah dengan jalan memoles prestasi yang tidak baik dengan jalan mencari sudut pandang lain supaya kelihatan baik. Di sinilah kemampuan mencari dan menentukan sudut pandang agar terlihat baik menjadi penting.

Salah satu cara untuk terlihat baik dengan memunculkan prestasi prestasi kebaikan atau yang dianggap baik ke permukaan, tujuannya agar publik tahu dan mengapresiasi kerja kerja yang sudah dilakukan. Media dan media massa menjadi penting.

Pada zaman yang serba cepat dan instan ini, media sosial menempati posisi yang sangat strategis untuk membangun citra. Namun bila tak dikelola dengan baik, akan menjadi sebaliknya, menjadi bumerang.

Bagi mereka yang punya pengalaman melakukan kebaikan, maka citra yang dibangun akan terlihat smooth dan baik serta tidak mengada ada, bagi yang belum punya pengalaman untuk melakukan, maka yang dilakukan adalah mengakui prestasi orang lain sebagai prestasinya atau mencuri prestasi orang lain untuk diakui sebagai karyanya.

Dalam dunia akademis kita mengenal dengan istilah plagiasi, dalam kehidupan sosial kita mengenalnya sebagai pencurian hak intelektual.

Nah itu yang terlihat dalam debat pertama capres, Selasa, 12 Desember 2023, dua capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, bisa bercerita pengalaman yang dilakukan di masing masing daerahnya, terlepas ada yang hanya citra dan ada yang sesungguhnya.

Anies terasa banget ketulusannya bercerita, karena apa yang dia ceritakan adalah apa yang dia lakukan selama memimpin Jakarta. Suatu saat Anies harus bercerita bagaimana menghadirkan keadilan sosial bagi rakyat, Anies dengan lancar dan lugas bercerita, karena Anies punya pengalaman itu.

Sehingga apa yang dia sampaikan terasa sekali ketulusannya. Hal yang sama juga dilakukan Ganjar, dia bisa menceritakan pengalaman di Jateng selama menjadi gubernur. Namun apa yang disampaikan Ganjar ada yang terasa janggal dan datar, ketika bercerita tentang keberpihakan kepada rakyat. Ganjar terganjal persoalan Wadas.

Hal yang tampak berbeda dilakukan oleh Prabowo Subianto, hampir selama debat, Prabowo tak bisa menunjukkan prestasinya, semua yang dia klaim adalah prestasi Joko Widodo, Prabowo hanya mengatakan apa yang dianggapnya berhasil pada era Jokowi akan dia lanjutkan. Sayangnya beliau tak bisa menunjukkan rekam jejak keberhasilan.

Bahkan diperparah saat bicara tentang isu pangan dan food estate-nya, Prabowo tampak seperti menjadi bulan-bulanan. Apalagi ketika bicara tentang penegakkan HAM, Prabowo seakan tak bisa berkutik. Bahkan terkesan Prabowo dikeroyok oleh Anies dan Ganjar.

Ganjar bertanya tentang sanggupkah Pak Prabowo kalau jadi presiden mengantarkan para orang tua korban mengunjungi batu nisan para korban hilang di massa Reformasi 1998?

Dan Anies juga bertanya apakah Pak Prabowo bila menjadi presiden mau mengusut tuntas tragedi pembantaian KM 50? Prabowo pun agak kedodoran, sehingga banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab, kecuali hal hal normatif dan klaim klaim sepihak yang dikerjakan oleh Jokowi sebagai keberhasilannya.

Rekam jejak dan pengalaman seseorang akan menjadi catatan apakah seseorang bisa melakukan hal-hal baik yang diharapkan. Dalam konteks kepemimpinan nasional kita butuh presiden yang punya rekam jejak baik dan memiliki ketulusan.

Sehingga kita tidak disuguhi hal hal palsu, sekedar pencitraan apalagi mengaku ngaku prestasi orang lain sebagai prestasinya. (*)